, ,

Ganti Rugi Belum Selesai, Rajawali Sudah Tanam Sawit di Papua

RAJAWALI Grup berencana membuka kebun sawit di Kampung Yetti, Kriku, dan Skorpo, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua, seluas 26.300 hektar. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari warga yang merasa tak mendapatkan informasi jelas, bahkan ganti rugi belum selesai tetapi perusahaan sudah mulai menanam. Di lokasi kebun, ribuan kayu tampak bertumbangan di areal kebun.

Kebun sawit sudah dibuka sejak 2010. Ribuan bibit sawit sudah ditanam, kini berusia satu tahun lebih.  “Kami sudah berusaha supaya tidak ada lahan baru dibuka tapi perusahaan dan pemerintah bersikeras. Padahal, urusan pembayaran hak ulayat tanah dari pemilik belum tuntas. Ganti rugi dari perusahaan rendah,” kata Serafina Kaigere, Tokoh Perempuan Arso Timur kepada Mongabay.co.id, Kamis (1/11/12).

Ketua Dewan Adat Papua wilayah Keerom, Hubertus Kwambre mengaku, perusahaan membayar uang muka Rp2,5 miliar langsung kepada pemilik lahan. Namun, belum ada kesepakatan mengenai ganti rugi, kompensasi dan peluang dari perusahaan bagi masyarakat sekitar.

Korneles Kwambre, warga Arso timur mengatakan, perusahaan dan pemerintah memaksa pembukaan kebun sawit. Masyarakat berupaya menggagalkan namun tak berhasil. “Perusahaan masuk paksa dan membuka lahan. Belum ada kesepakatan pembukaan lahan saja, tiga eksavator sudah ada di lahan yang direncanakan dibuka,” ucap Korneles.

Kepala Kampung Yetti, Frans Putuy menuturkan, Rajawali masuk melalui Pemerintah Papua dan Kabupaten Keroom serta beberapa masyarakat, tanpa mengajak duduk bersama sembilan klen besar di tiga kampug. Sejak perusahaan berencana masuk, mereka berusaha membujuk dua tokoh masyarakat dibawa ke Jakarta lalu Medan untuk melihat perkebunan serta kondisi masyarakat sekitar.

“Proses ini hanya memperlihatkan sisi baik di sana tanpa masyarakat mengetahui efek negatif. Masyarakat hanya dikasih iming-iming perubahan hidup baik.” Dalam proses pelepasan hak ulayat antara perusahan dan masyarakat, kata Frans, perusahaan membayar uang muka Rp2, 5 miliar untuk sembilan klen di tiga kampung dengan lahan seluas 26.300 hektar.

Menurut Frans, perusahaan hanya memberikan uang jaminan dengan istilah uang tali kasih Rp2,5 miliar untuk sembilan marga pemilik hak ulayat. Sedang masyarakat kurang memahami pembayaran ganti rugi lahan, tak ada penjelasan dari pemerintah maupun perusahaan.  “Perusahaan berjanji memberikan uang dalam jumlah sama tahun berikutnya hingga 2013. Perusahaan berjanji membayar sisa lahan selama empat tahap.”

Agustina Woi, pekerja bagian pembibitan dan penanaman sawit mengatakan, upah perusahaan kadang tidak sesuai yang dikerjakan. Mereka selalu diberi upah dengan perhitungan yang tidak dipahami. “Upah satu bulan Rp500.000, kadang Rp300.000 bahkan ada menerima Rp250.000 sebulan.”

Upah ini, jauh lebih kecil dari pengeluaran rumah tangga sebulan. Perusahaan juga tidak memberikan uang makan. Agustina berharap, ada kebijakan perusahaan memperbaiki sistem penggajian hingga kesejahteraan masyarakat membaik.

Sawit yang baru ditanam di kebun Rajawali. Foto: Musa Abubar

Koordinator Greenpeace, Charles Tawaru mengatakan, dari investigasi sejak 11-12 Desember 2010, perusahaan sudah mulai menanam sawit sebagian dari rencana 26,300 hektar. Temuan di lapangan, pembabatan hutan mengorbankan ribuan kayu produksi antara lain, merbau, matoa, dan kayu besi. Perusahaan membayar kayu yang ditebang ke masyarakat seharga Rp150 ribu per kubik.

Lukman, orang kepercayaan perusahaan mengatakan, harga segitu karena transportasi mahal. Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Papua, Marthen Kayoi mengaku Rajawali mengantongi izin beroperasi. Bupati Keerom, Jusuff Wally mengatakan, pembukaan dan penanaman sawit baru itu berkaitan dengan promosi Keerom menjadi kota industri. “Perusahaan boleh beroperasi, tapi harus memperhatikan hak-hak masyarakat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,