,

Tak Perlu Keluarkan Masyarakat dari Kawasan Konservasi

PEMERINTAH menggaung-gaungkan upaya konservasi, di darat sampai laut. Namun, upaya ini kerap dibarengi dengan mengeluarkan masyarakat dari kawasan konservasi, padahal mereka sudah turun menurun di sana menjaga alam lewat kearifan lokal.

“Jadi, pameo yang mengatakan hutan perawan, tidak ada manusia, itu tidak ada. Di hutan sudah ada manusia, dan bisa menjadi kawasan konservasi tanpa mengeluarkan mereka,” kata Jatna Supriatna, biolog terkemuka, di Jakarta, Senin(5/11/12).

Dia berbicara pada jumpa media usai kuliah umum di LIPI. Doktor biologi antropologi dari Universitas New Meksiko, Amerika Serikat ini,  bersama Prof Dr Sri Widiyanto, pada hari itu, dikukuhkan menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Di Indonesia, kata Jatna, pemerintah malah bertindak sebaliknya, menganggap konservasi itu tak ada orang di dalamnya. “Padahal, orang-orang itu yang sudah turun menurun ada.”

Dia mencontohkan, penerapan sasi di Maluku dan Papua. “Dengan sasi, masyarakat tahu kapan waktu buka atau tutup untuk mengambil ikan. Kalau yang tidak tahu, jadi tidak banyak hasil tangkap ikan.”

Sasi bisa diartikan larangan mengambil hasil sumber daya alam tertentu untuk pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya alam .

Untuk itu, upaya konservasi ini, tak bisa juga hanya berdasarkan ilmu pengetahuan, harus memasukkan unsur sosial (baca:manusia). “Karena hubungan alam dan manusia sudah lama bersatu,” ucap Jatna.

Bukan hanya itu. Menurut dia, upaya konservasi juga harus dengan langkah tepat. Dia menilai, konservasi di negeri ini terkesan asal-asalan. “Seringkali konservasi tanpa tahu ada apa di dalamnya.” Padahal, dengan ilmu biologi konservasi, sudah bisa diketahui lokasi-lokasi mana yang bernilai keragaman hayati tinggi dan tidak.

Dalam pidato inagurasi berjudul Biologi Konservasi: Melestarikan Keragaman Hayati Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jatna memberikan contoh bagaimana ilmu biologi konservasi dapat memecahkan masalah. Dia mengambil contoh konservasi orangutan (Pongo pygmaeus dan Pongo abeli), sebagai spesies endemik Kalimantan dan Sumatera.

“Langkah pertama melestarikan orangutan adalah mengerti status taksonomi, ekologi, genetika yang dibarengi penelitian terapan mengenai kebijakan, sosial, manajemen konservasi dan lain-lain,” katanya.

Untuk itu, setidaknya ada tiga kriteria dalam menentukan prioritas implementasi konservasi spesies dan habitatnya. Pertama, kekhasan. Suatu komunitas  hayati diberi prioritas tinggi dalam rencana aksi bila spesies endemik seperti orangutan daripada spesies umum yang tersebar.

Kedua, keterancaman. Spesies yang menghadapi ancaman kepunahan akan lebih penting dibanding yang tidak. “Seperti orangutan Sumatera sangat terancam, masuk dalam critical endangered.”

Ketiga, kegunaan atau manfaat. Spesies yang memiliki kegunaan nyata atau potensial bagi manusia perlu diberi nilai konservasi tinggi. Orangutan, katanya, mempunyai kedekatan biologis dengan manusia selain sebagai pemencar biji hutan dan regulator yang mengontrol jumlah serangga perusak di hutan seperti rayap.

Akhirnya, kata Jatna, biologi konservasi harus dinilai berdasarkan kemampuan melindungi keragaman hayati. “Kala ahli biologi konservasi yakin menyatakan satu spesies dilindungi, barulah biologi konservasi dikatakan sukses.”

Sayangnya, di Indonesia, telah diakui sebagian ahli konservasi gagal mendorong pemerintah memperhatikan kelestarian alam dengan tidak mengkonversi hutan, ekosistem pantai dan terumbu karang.  Penurunan populasi biota dan kerusakan ekosistem terus melaju cepat. Sebab, pemerintah daerah tetap mengeluarkan izin kebun sawit yang luas, pertambangan di hutan alam.

Artikel yang diterbitkan oleh
,