, ,

Dari Eksploitasi Kerang Raksasa sampai Konservasi Gonggong

DUA contoh kontras. Di Pulau Enggano, Bengkulu, masyarakat adat yang mendiami pulau itu menolak eksploitasi kerang kima (Tridacna gigas) atau kerang raksasa karena khawatir merusak ekosistem perairan itu. Namun, dengan dalih pemanfaatan kerang mati, Dinas Perikanan dan Kelautan setempat memberi izin pengusaha mengambil cangkang.

Di Kepulauan Riau (kepri), Dinas Perikanan dan Kelautan, tahun lalu, baru mengonservasi siput gonggong karena makin langka dampak eksploitasi besar-besaran. Masyarakat pun dilibatkan dalam upaya konservasi ini.

Iskandar Kauno, Koordinator Kepala Suku atau disebut Pa`abuki Pulau Enggano, di Bengkulu, akhir Oktober, seperti dikutip dari Antara, mengatakan, enam suku di Pulau Enggano menolak keras eksploitasi kerang kima karena bisa merusak terumbu karang yang menjadi penyangga pulau.

Pernyataan ini terkait kegiatan pengambilan kerang kima oleh pengusaha dari Magelang, Jawa Tengah. Pengusaha itu meminta masyarakat setempat mengambil cangkang kerang kima dari laut lalu dijual seharga Rp1.000 per kilogram (kg).

Dengan mengandalkan izin dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkulu Utara, pengusaha itu meminta masyarakat mencari kerang kima hingga ke wilayah konservasi di Cagar Alam Kioyo.

Alasannya, yang diambil limbah karena kima sudah mati dan tinggal kerang. “Persoalannya, mereka mencongkel kerang di antara terumbu karang yang hidup hingga itu merusak,” katanya.

Pa`abuki didampingi Kepala Suku Kaitora Raffli Zen Kaitora mengatakan, hasil eksploitasi oleh pengusaha itu mencapai 20 ton kerang, namun belum diangkut dari Pulau Baai.

Masyarakat adat terdiri dari enam suku di pulau itu mendesak pemerintah mencabut izin pengambilan kerang kima karena jelas merusak perairan Pulau Enggano.”Setahu kami, kima itu jenis biota laut yang dilindungi, tapi kenapa Dinas Kelautan dan Perikanan Bengkulu Utara memberi izin?”

Penolakan masyarakat adat terhadap eksploitasi kerang kima, baik yang masih hidup maupun yang mati sudah disampaikan kepada camat setempat. Camat membuat surat bahwa kerang yang sudah terkumpul tidak dapat diangkut dari Pulau Enggano hingga ada izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Kepala Suku Kaitora, Raffli Zen Kaitora mengungkapkan, eksploitasi besar-besaran terhadap kerang kima pernah dilakukan pada 1983. Pemerintah pun mengeluarkan larangan pengambilan spesies yang berperan vital dalam keseimbangan ekosistem laut dangkal itu. “Saat ini, eksploitasi besar-besaran dan menjadi awal kerusakan ekosistem terumbu karang Pulau Enggano,” ujar dia.

Raffli mengatakan, jangankan mengambil kima atau oleh warga setempat disebut “ame horar” atau kima raksasa, masyarakat Enggano juga memiliki aturan untuk melindungi terumbu karang dari eksploitasi untuk bahan bangunan.

“Masyarakat adat sudah komitmen melindungi terumbu karang karena 3.000 jiwa warga kami di Pulau Enggano bergantung pada kelestarian terumbu karang yang jadi penyangga pulau.”

Di Kepri, guna mengatasi makin menyusut populasi siput gonggong (Strombus canarium), tahun lalu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau melakukan konservasi hewan ini.

Eddiwan, Kepala Bidang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri, di Jakarta, seperti dikutip dari Antara,  awal Oktober mengatakan, ada dua wilayah konservasi yakni di Lingga dan Bintan.  “Tahun ini, kami akan menambah satu lagi di Tanjung Pinang,” katanya.

Menurut dia, dulu, ukuran gonggong cukup besar, di atas 10 centimeter. “Saat ini, sulit menemukan gonggong dengan ukuran itu.” Jumlah dan ukuran makin menurun, katanya,  karena eksploitasi besar-besaran. Terlebih, permintaan makin naik.

Masyarakat juga dilibatkan dalam konservasi hewan mollusca itu. Ada dua jenis gonggong, di perairan Bintan, gonggong berwarna merah dengan rasa daging lebih enak, kenyal, gurih dan harga pun lebih mahal dibandingkan di Lingga berdaging putih.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,