Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, rumah dari gajah, orangutan dan badak Sumatera yang kini berada dalam kondisi kritis, kini nampaknya semakin menyempit setelah seratus ribu petani kopi, pembalak liar dan para pencari keuntungan lainnya merambah taman nasional ini. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan yang dimuat dalam jurnal Conservation and Society. Isu ini sebenarnya adalah isu lama yang mendera Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, namun dalam studi ini untuk pertamakalinya terungkap jumlah perambah hutan baik yang tinggal maupun bertani di sekitar lokasi taman nasional, yang merupakan salah satu Warisan Dunia UNESCO. Dari hasil sensus, sekitar 100.000 penduduk tinggal di tempat ini. Angka yang sangat mengejutkan bagi para peneliti.
“Di beberapa wilayah di sekitar taman nasional ini, jumlah perambah begitu padatnya sampai-sampai tak ubahnya pedesaan di Jawa,” ungkap penulis utama penelitian ini, Patrice Levang dari Center for International Forestry Research (CIFOR) kepada Mongabay.com. “Hal lain yang mengejutkan adalah banyaknya jumlah petani yang hidup diluar taman nasional dan bertani di dalam taman nasional.”
Berdasar data tahun 2006, sekitar 55.000 hektar lahan di dalam taman nasional sudah dirambah. Penggusuran penghuni liar pada 1980-an telah menumbuhkan sekitar 8.000 hektar hutan regenerasi, tapi wilayah perambahan keseluruhan mencapai sekitar 15 persen dari taman, yang mencakup 3.568 kilometer persegi.
Tidak seperti taman nasional lain yang memiliki sejarah konflik antara perambah dan status kawasan lindung, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan tidak pernah dijamah oleh manusia secara signifikan dalam sejarahnya.
“Sejak tahun 1960-an sejumlah besar transmigran dari Jawa memasuki Lampung dan mengubah hutan menjadi perkebunan kopi, dan secara cepat bergerak dari sisi timur ke sisi barat taman nasional ini,” jelas Levang. Pada kenyataannya, sekitar 80% penghuni liar di sekitar taman nasional ini adalah penduduk dari Jawa.
“Sebagian besar perambah ini hanya memiliki pendidikan yang rendah dan kemampuan yang terbatas. Mereka mencari lahan yang murah untuk hidup mereka. Mereka lebih memilih lokasi yang memiliki akses yang baik ke sekolah dan kebutuhan lainnya, namun akrena lokasi seperti itu tidak ada disini, maka mereka melakukan perambahan ke taman nasional, dan hal itu adalah pilihan terbaik yang mereka miliki saat itu,” sambung Levang.
Dia menmbahkan bahwa perambah liar ini sadar bahwa dengan bercocok tanam, menebang hutan dan tinggal di sekitar taman nasional ini adalah melanggar hukum. Namun dalam sepuluh tahun belakangan, sangat sedikit sanksi dan tindakan dari aparat yang berwenang.
“Terkait dengan adanya demokratisasi dan otonomi daerah, banyak politisi lokal kemudian membela para perambah liar ini untuk mendapat dukungan,” jelas Levang. “Kemudian aparat lokal menghindari tindakan kekerasan kepada mereka karena takut dianggap melakukan pelanggaran.”
Kondisi Aparat yang tutup mata ini kemudian menyebabkan sikap keras kepala dari orang-orang lokal. Misalnya, dalam studi ini adalah kasus meningkatnya pembalakan liar yang dilakukan oleh preman-preman setempat.
“Preman biasanya memiliki modal mereka sendiri dan peralatan sendiri seperti mobil dan truk, memiliki tim kecil untuk melakukan penebangan dan jaringan yang baik dengan aparat dan otoritas lokal. Menganggap preman seperti gangster, dianggap terlalu kasar, kendati pada kenyataannya perbedaannya sangat tipis,”tulis laporan tersebut. ‘Banyak preman lokal ini kemudian sukses meraih posisi politik di kancah lokal, akibatnya hal ini kemudian mengaburkan perbedaan antara politisi, preman dan gangster.”
Penanganan yang lamban dari kasus Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini terkait erat dengan harga kopi dunia. Di tahun 1977, saat harga kopi melonjak dan menjadi pemicu transmigrasi massal ke wilayah pegunungan di selatan Sumatera dan menyebabkan penggundulan hutan yang masif di sisi timur taman nasional ini,” seperti diungkap dalam laporan ini.
Sejak saat itu, deforestasi di dalam taman nasional ini terkait erat dengan harga kopi dunia. Misalnya, devaluasi terhadap mata uang rupiah di tahun 1997-1998 kirisis finansial di Asia menyebabkan deforestasi yang melonjak.
“Devaluasi menyebabkan harga kopi menjulang tinggi di tahun 1998, sementara harga kopi di pasar dunia tetap lemah. Kenaikan yang tiba-tiba ini menarik transmigran ke wilayah ini, sementara banyak pekerja non-tan lainnya menjadi kuli sambilan untuk mendapatkan uang cepat dari harga kopi yang melonjak ini,” ungkap penulis David Gaveau, yang juga bersama CIFOR. “Secara keseluruhan, kondisi ini mengindikasikan bahwa harga komoditi yang tinggi di level petani menyebabkan meningkatnya deforestasi karena petani akan mengejar keuntungan dengan memperluas perkebunannya untuk menaikkan keuntungan, singkatnya kenaikan harga komoditi pertanian akan membawa dampak negatif pada hutan tropis”
Dalam penelitian Gaveau sebelumnya di tahun 2009 juga menunjukkan, penegakan hukum bisa efektif menekan deforestasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kesempatan meraih pendapatan, diluar pertanian dan pendidikan yang lebih baik juga bisa mencegah deforestasi dalam jangka panjang.
Namun Levang mengatakan bahwa tak ada win-win solution untuk konflik ini.
“Menyeimbangkan kebutuhan manusia dan menjaga taman nasional itu bukan sebuah pilihan. Jika manusia butuh untuk mengubah hutan menjadi perkebunan kopi, dan di sisi lain, menjaga taman nasional berarti menyelamatkan harimau, gajah dan badak. Kita tidak bisa memilih, namun kita harus tegas menentukan antara perambah atau harimau. Karena keduanya tidak bisa hidup berdampingan.”
Sekitar 40 ekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), dari 400 ekor yang hidup di alam liar, diyakini ada di taman nasional ini. Selain itu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga rumah bagi sekitar 60 sampai 80 ekor badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), yang merupakan satu dari tiga habitat yang ada di pulau Sumatera. Di seluruh dunia, kurang dari 250 ekor badak Sumatera tersisa. Yang juga penting, adalah sekitar seperempat dari jumlah gajah Sumatera yang tersisa di dunia, hidup di taman nasional ini.
CITATIONS: Gaveau, D.L.A. et al., Three decades of deforestation in southwest Sumatra: Effects of coffee prices, law enforcement and rural poverty, BIOLOGICAL CONSERVATION (2009), doi:10.1016/j.biocon.2008.11..024.
Patrice Levang, Soaduon Sitorus, David Gaveau and Terry Sunderland. Landless Farmers, Sly Opportunists, and Manipulated Voters: The Squatters of the Bukit Barisan Selatan National Park (Indonesia). Conservation and Society 10(3): 243-55, 2012.