,

Tanpa Pelestarian Serius Dalam 20 Tahun Elang Jawa Bisa Punah

Kerusakan habitat, perburuan dan penjualan elang Jawa, makin marak hingga menyebabkan satwa dilindungi ini terdesak. Dalam lima tahun, populasi satwa ini hilang sekitar 110 pasang, atau 22 pasang setiap tahun. Untuk itu, jika tak ada upaya pelestarian serius, dalam waktu 20 tahun kemungkinan besar burung ini sudah punah.  Demikian diungkapkan Zaini Rakhman, Ketua Raptor Indonesia (RAIN), di Bandung, Sabtu(10/11/12).

“Berkurangnya populasi elang Jawa bisa disebabkan beberapa faktor diantaranya kerusakan habitat baik karena deforestasi maupun degradasi fungsi hutan, perdagangan juga penggunaan pestisida,” katanya kepada Mongabay.co.id.

Namun, dampak pestisida terhadap penyusutan populasi masih harus dikaji lagi. “Perburuan sekaligus perdagangan elang Jawa, menjadi penyumbang terbesar berkurangnya species ini,” ujar dia,

Investigasi mengenai perdagangan elang Jawa pernah dilakukan para peneliti, Vincent Nijman dkk, tahun 2004. Dalam enam bulan, sekitar 20 ekor diperdagangkan di beberapa kota di Jawa. Dalam tahun sama, 10 ekor dikirim melalui Jakarta menuju Korea Selatan dan 11 ekor ke Singapore serta ke Taiwan lewat Surabaya. Dari investigasi itu, diperkirakan sekitar 53,2%  populasi satwa ini berkurang karena perburuan untuk perdagangan.

“Kerusakan habitat karena pengaruh bencana alam, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau perburuan dan perdagangan, jelas ini kejahatan,” ucap Zaini. Kondisi ini, menjadi dilematis karena banyak yang tertarik memelihara elang Jawa. Penjualan pun tidak lagi dengan cara konvensional. Bahkan, makin banyak situs-situs di internet menawarkan jual-beli berbagai jenis raptor.

Data dari Sibley and Monroe (1990), setidaknya ada 311 jenis raptor di dunia. Dari 90 jenis ada di Asia, 75 di Indonesia. Data ini menunjukkan betapa Indonesia kaya keragaman spesies raptor.

Ke-75 spesies itu tersebar antara lain, Sumatera(36), Jawa(28), Kalimantan(29), Sulawesi(30), 24 species di kepulauan Nusa Tenggara, Maluku(18) dan Papua(25).

Namun, kekayaan itu tidak sebanding dengan upaya penyelamatan. “Elang dalam dua tahun hanya mampu bertelur satu. Itu pun belum tentu berhasil. Jika pasangan tidak mampu menghasilkan telur baik, akan sulit karena elang jenis binatang setia terhadap pasangan.”

Dari 28 jenis raptor di Jawa terdiri dari  16 species resident, enam raptor migran, enam sub-species resident and migran. Dua jenis endemik Jawa yaitu Javan Hawk-Eagle dan Bawean Serpent-Eagle. Dua jenis terancam punah Grey-headed Fish-eagle (hampir terancam) dan  Javan Hawk-Eagle (terancam). “Populasi elang Jawa tersebar di 62 kantung kawasan hutan, 40 kantung di kawasan konservasi, 22 di luar kawasan konservasi,”  ucap Zaini.

Data Gjershaug et.al tahun 2004, menyebutkan, populasi elang jawa pada kisaran 270-600 pasang atau angka tengah 435 pasang. Data populasi dilansir kembali enam tahun kemudian oleh Syartinilia et.al dengan kisaran 108-542 pasang atau angka pertengahan 325 pasang.

Perburuan dan perdagangan elang Jawa makin marak terlebih dengan makin tren falconry. Foto: Raptor Indonesia

Dari peta persebaran kawasan hutan alami, setidaknya ada 40 kantung populasi elang Jawa  di kawasan konservasi, namun  hanya 33 kawasan masih terawat baik. Sedang, 22 kantung sangat riskan. “Jadi, sekitar 46,7% populasi elang Jawa terjadi karena kerusakan habitat.”

Saat ini, RAIN berupaya melestarikan populasi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar konservasi, mengumpulkan data dan informasi, memberikan pendidikan lingkungan dan penyadartahuan kepada masyarakat serta upaya konservasi dan pelepasliaran ke alam.

Saat ini, ada beberapa rehabilitasi satwa liar untuk melatih kembali hewan yang disita agar liar dan dilepas kembali ke alam seperti Pusat Penyelamat Satwa Cikanangan, PPS Jogja, Suaka Elang, Pusat Rehabilitasi Elang di Pulau Kotok (Jakarta) dan Panaruban (Jawa Barat).

Negatif Falconry

Sementara itu, Tedi Setiadi, aktivis Bicons menyoroti maraknya kehadiran club ‘pecinta’ raptor yang justru mengancam kelestarian populasi ini. Makin banyak klub-klub yang menyatakan diri pecinta raptor, sebenarnya tidak,” katanya.

Habitat raptor itu seharusnya di alam liar. Dengan alasan apapun, manusia tidak boleh menjadikan raptor sebagai binatang peliharaan. “Banyaknya klub justru menjadi pemicu makin meningkatnya perburuan dan perdagangan raptor. Karena minat memelihara raptor jadi meningkat.”

Senada dengan Tedi, Budi Harto dari PPS Cikananga mengatakan kegagalan pelepasliaran raptor ke alam karena satwa itu menjadi jinak. Bahkan metode falconry yang biasa dipraktikkan “pecinta”, menjadikan raptor sangat tergantung pada “tuan.” Metode falconry,  akan menjadikan raptor jauh dari habitat asli. “Raptor dilatih sedemikian rupa agar manut kepada pemiliknya,” ujar Tedi.

Lebih mengherankan, pertunjukan raptor ini diperlihatkan di muka umum. Keadaan ini, sangat memprihatinkan karena mendorong minat orang memelihara raptor. Di habitat asli, raptor seharusnya takut pada manusia. Dengan falconry justru elang menjadi jinak dan takluk pada manusia. “Falconry adalah kejahatan terhadap raptor,” ucap Budi.

Bagaimanapun, kehidupan paling baik satwa ini di alam bebas. Foto: Raptor Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,