, ,

Ribuan Hektar Sawah Desa Nusantara Terancam Sawit

“Kami tak perlu bantuan pemerintah. Cukup jangan lakukan kerusakan di desa kami. Jangan ganggu sawah kami untuk jadi kebun sawit.”

LAHAN sawah Desa Nusantara, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) seluas 1.200 hektar terancam keberadaan kebun sawit PT Selatan Agro Makmur (SAM). Perkebunan sawit ini mendapat izin prinsip dari Bupati OKI Nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, seluas 42.000 hektar terletak di 18 Desa di Kecamatan Air Sugihan.

Warga di desa lumbung padi di OKI ini dibujuk menyerahkan lahan mengikuti jejak 17 desa lain. Warga desa terus bertahan meskipun mendapatkan intimidasi berbagai pihak, dari aparat pemerintah daerah sampai aparat keamanan.  Bahkan, tanpa sepengetahuan mereka BPN Sumsel mengeluarkan hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan di atas lahan desa ini.

Mereka ke Jakarta ingin mengadu, tetapi sampai saat ini masih kesulitan bertemu pejabat Kementerian Pertanian.  Mereka juga ingin mengadu ke wakil rakyat di Senayan. Sukirman Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB),  mengatakan,  awalnya lahan pertanian di Kecamatan Sugihan ada di 18 desa. Kini, tinggal Desa Nusantara yang bertahan tak mau menyerahkan lahan kepada perusahaan untuk menjadi kebun sawit.

Sampai saat ini, warga Desa Nusantara terus didekati. Pemerintah daerah menilai mereka salah, karena tak bersedia menyerahkan lahan menjadi kebun sawit. “Kami dianggap tak mau mematuhi program pemerintah,” katanya di Jakarta, Jumat(23/11/12).  Bahkan, camat menakut-nakuti, jika warga tak menurut akan ditangkap.  “Kami tak perlu bantuan pemerintah. Cukup jangan lakukan kerusakan di desa kami. Jangan ganggu sawah kami untuk jadi kebun sawit.”

Kini, lahan sawah mereka berada di tengah-tengah kebun sawit yang sudah mulai ditanam. Tak hanya ancaman lahan dicaplok, wargapun menghadapi dampak buruk kehadiran kebun sawit itu. “Hutan yang sudah tidak ada, menyebabkan babi masuk kampung. Tak hanya merusak tanaman juga menyerang manusia,” katanya. Hama lain seperti belalang pun mulai datang. Belum lagi pasokan air berkurang karena perusahaan membangun kanal-kanal setiap 200 meter. Air pun tersedot kanal yang digunakan sawit, si tanaman rakus air ini.

Kondisi ini, kata Sukirman, berujung pada hasil panen mulai menurun. Dulu, sebelum sawit datang, petani bisa panen empat sampai tujuh ton per hektar.  “Saat ini berkisar tiga ton.”

Dia benar-benar tak habis pikir, pemerintah bisa bertindak seperti ini.  Satu sisi gerakan swasembada pangan digembar-gemborkan, tetapi warga yang berusaha memenuhi pasokan pangan, bahkan desa ini menjadi lumbung padi OKI,  memasok beras sekitar 4.800 ton, malah diumpankan ke perusahaan sawit.

Ahmad Rusman Sekretaris FPNB menambahkan.  Menurut dia,  kekhawatiran mereka saat ini tentang HGU perusahaan sudah keluar dengan memasukkan Desa Nusantara. “Padahal, warga desa tak pernah ada yang setuju.” Saat mengetahui HGU keluar 2009, mereka lalu mendatangi BPN provinsi. “BPN bilang kalau HGU keluar karena sudah  ada pernyataan Kades. Lalu, kami tanyakan ke Kades dan dia membantah. Tapi kami yakin Kades beri pernyataan itu, terbukti HGU keluar.”

Warga terus berjuang menolak kebun sawit.  Sejak 2007, alat berat perusahaan masuk desa untuk menggusur warga. Warga bertahan, alat beratpun ditahan. Bahkan, ada satu eksavator menjadi besi tua.

Warga bersama Walhi Sumsel, mendatangi BPN Pusat menanyakan proses HGU keluar tanpa persetujuan warga. “BPN Pusat menyatakan HGU cacat hukum, tetapi akan melakukan cross check ke daerah. Saat itu, mereka ditemui Direktur Konflik BPN,” kata Dede Chaniago, dari Walhi Sumsel.

Kondisi miris pun kini dialami warga desa yang bersedia menyerahkan lahan. Mereka mendapat  ganti rugi Rp1 juta. “Kini, warga yang mau bertani, bisa menyewa dengan perusahaan, dengan sewa Rp2 juta!” Bukan itu saja, produktivitas merekapun turun drastis. “Kalau dulu satu hektar bisa empat ton, sekarang mau lima kuintal saja susah,” ucap Sukirman.

Sukirman dulu Kepala Urusan Umum di kecamatan tetapi dipecat karena dianggap tidak bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah. “Tahun 2005 diberhentikan. Tahun itu, kebun ini mulai dibahas di desa, saya sudah berseberangan. Lalu dipecat.”

Dia menceritakan, perjuangan warga menjadikan kawasan transmigrasi itu lumbung padi begitu berat. Upaya itu sejak 1981 kala pemerintah menempatkan mereka di daerah ini. “Kelompok kami ini sisa petani yang bertahan dari bencana kekeringan 1982 dan 1992. Saat itu, banyak mengalami kelaparan dan kematian. Banyak pula pulang kampung karena tidak kuat membuka lokasi transmigrasi.”

Menyikapi masalah ini, Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi, menilai pengeluaran HGU di atas tanah hak milik warga indikasi BPN tidak melalui proses benar. Ada dua kemungkinan. Pertama, BPN tidak mengkaji kelayakan pengeluaran HGU ini, kedua, praktik suap mewarnai proses pengeluaran keputusan HGU ini.

“BPN bertanggung jawab menghormati dan mematuhi UU dimana tanah garapan warga harus dilepaskan dari HGU pihak lain.”  Dalam surat izin lokasi Bupati OKI yang menjadi dasar pengeluaran HGU menyebutkan, bagi warga yang tanah, tanaman dan rumah yang tak bersedia dilepaskan, wajib dikeluarkan alias di-enclave dari  kawasan perkebunan.

Tak hanya itu, kata Zenzi, untuk membatasi wilayah perusahaan dan masyarakat harus ada buffer zone guna mencegah hama masuk. “Kalau sekarang produksi sudah menurun karena ada hama padi. Buffer zone harus dibuat.”

Menurut M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Eksekutif Nasional Walhi, konversi lahan pertanian pangan sudah menjadi tragedi nasional. Paling tidak konversi lahan pertanian mencapai 100 ribu-150 ribu hektar per tahun.

Dia berharap,  pemerintah bisa membuka mata, jangan memberi ruang perusahaan besar masuk dengan menyingkirkan petani-petani kecil yang sudah mandiri. “Jadi lebih baik buka pertanian berbasis rakyat daripda perusahaan skala besar dengan dampak besar bagi lingkungan dan tak memberi kontribusi pada petani,” ujar Islah.

Namun hingga kini, belum ada  langkah nyata pemerintah melindungi lahan petani dari konversi bagi peruntukan selain pertanian, maupun perampasan lahan oleh perkebunan skala besar.

Dengan kondisi ini, kata Islah, kerja sama antara Kementrian Pertanian dengan Kementerian Transmigrasi,  dan Kementrian Kehutanan, menjadi tidak ada artinya jika lahan pertanian pangan transmigran tidak dilindungi.

Sawah warga Desa Nusantara. Foto: Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,