Gelombang protes terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit Indonesia oleh aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam berbagai LSM nasional maupun internasional, dituding sebagai upaya menjatuhkan citra dari perkebunan kelapa sawit Indonesia. Tudingan miring itu disampaikan Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joefly Bahroeny usai menutup “The 8th Indonesia Palm Oil Conference and 2013 Price Outlook” di Nusa Dua Bali, Jumat (30/11/12).
Ia menyebut keberadaan NGO tersebut sebagai provokator untuk merusak citra perkebunan sawit Indonesia, yang pada gilirannya diharapkan dapat menjatuhkan daya saing kepala sawit Indonesia di pasar internasional. “Kadang, memang ada perusahaan-perusahaan yang (berpraktik) tidak benar. Tapi juga ada provokator. Provokator itu yang membuat suasana tidak kondusif. Mungkin saja di belakangnya ada NGO NGO tertentu yang sengaja membuat supaya imej dari perkebunan Indonesia tidak baik,” ujar Joefly,
Dikatakan, kepentingan NGO-NGO yang memprotes sawit sangat terkait persaingan bisnis sawit dunia. “Kepentingannya jelas, karena kita kompetitor terbesar daripada Eropa dan Amerika yang memproduksi biji bunga matahari dan lain lain,” kata Joefly.
Joefly menegaskan bahwa GAPKI tidak pernah tinggal diam, membiarkan konflik sosial dan lingkungan yang terjadi pada aktivitas perkebunan kelapa sawit. Berbagai upaya menurutnya sudah dilakukan untuk meminimalisir konflik yang ada, salah satunya dengan menggaet masyarakat kecil sebagai mitra guna menyejahterakan masyarakat sekitarnya.
“Kita jalani itu semua (upaya menyejahterakan masyarakat). Tapi yang paling penting, bagi semua masyarakat Indonesia, mesti tahu kita ini bukan eksklusif. Perkebunan Indonesia itu, sekitar 43 sampai 46 persennya adalah kebun rakyat. Tapi selama ini yang hanya dilihat adalah perusahaan perusahaan yang besar. Padahal perusahaan-perusahaan besar ini sudah banyak melakukan kerjasama dengan rakyat, karena itu adalah kewajiban,” jelas Joefly.
Joefly juga menyebut sebagian besar dari 500 pengusaha kelapa sawit anggota GAPKI telah menaati aturan-aturan yang disyaratkan guna meminimalisir konflik dengan masyarakat. “Sebenarnya kalau kita bilang, semua ada orang baik, ada juga orang tidak baik. Di manapun. Tapi rata rata perkebunan yang dalam anggota GAPKI sudah dalam kategori yang baik karena sudah kategori perusahaan-perusahaan yang sudah establish.
“Kampanye positif di luar negeri perlu untuk meng-counter kampanye negatif oleh NGO (non government organization) di luar negeri. Perlu kerjasama antara NGO dan pemerintah untuk menangkal kampanye negatif yang skalanya makin meningkat. Kami perlu komitmen pemerintah untuk ini,” tegas Joefly.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pertanian Suswono juga sempat menanggapi maraknya kampanye aktivis dunia yang menentang bisnis kelapa sawit ini. Ia menuding aksi aksi tersebut hanyalah kampanye negatif yang murni didasari oleh kepentingan bisnis. “Black campaign itu murni untuk kepentingan bisnis. Sampai saat ini belum ada satu pun hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kelapa sawit tidak baik untuk kesehatan,” ungkapnya.
Menanggapi tudingan miring GAPKI, Deputi Internal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali Suriadi Darmoko balik mempertanyakan. “Faktanya di Indonesia, perkebunan kelapa sawit menjadi perusak utama hutan Indonesia. Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Perambahan hutan lebih banyak dilakukan perusahaan skala besar,” jelas pria yang akrab disapa Moko ini.
Walhi merupakan salah satu NGO yang juga banyak melakukan protes atas kerusakan lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit. “Suara yang kami sampaikan, murni dari gerakan kami. Bukan pengaruh pengaruh dari luar. Kalaupun segala proses advokasi yang kami lakukan dimanfaatkan oleh orang lain, kami tidak bisa menutup kemungkinan atas hal itu. Tetapi yang pasti, perusahaan perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerusakan lingkungan skala besar. Mereka hanya berusaha mencari pembenaran atas kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi, terutama di kawasan hutan Indonesia,” tegasnya.
Moko mengungkap bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia tidak hanya telah melakukan perusakan terhadap lingkungan. “Mereka juga banyak melakukan perampasan hak masyarakat adat atas ruang kelola hutan mereka. Perkebunan kelapa sawit skala besar, banyak yang merebut hak masyarakat adat atas hutan. Dan itu masih terjadi sampai hari ini,” tegasnya.
The Indonesia Palm Oil Conference yang setiap tahun selalu diselenggarakan di Bali, kata Moko, juga merupakan cermin dari ketidakpedulian perusahaan perusahaan kelapa sawit Indonesia terhadap berbagai konflik sosial dan lingkungan yang diakibatkan dari usaha mereka. “Ini memperlihatkan bahwa mereka sengaja menjauhkan diri dari realitas terkait apa sih kerusakan yang disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hak masyarakat adat apa yang telah dilangkahi selama ini. Mereka menjauh karena konflik tidak bisa dielakkan lagi karena ada perebutan ruang hidup di lahan lahan sawit itu,” tambah Moko.
Dalam kesempatan yang sama, Walhi meminta pemerintah untuk menyetop selamanya pemberian izin baru bagi perkebunan kelapa sawit Indonesia. Hal ini terkait dengan segera berakhirnya masa penerapan moratorium (penundaan) pemberian izin baru bagi perkebunan kelapa sawit pada Mei 2013 mendatang, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011. GAPKI sudah secara tegas meminta pemerintah agar penerapan moratorium itu tidak diperpanjang sehingga ekspansi lahan perkebunan kepala sawit kembali dilaksanakan, mengingat semakin tingginya permintaan atas produk ini.
“Kalaupun permintaan pasar tinggi, bukan berarti lantas perusahaan perusahaan itu dibebaskan melakukan ekspansi lahan hutan. Kami justru mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan penyetop semua perizinan baru secara permanen. Jangan ada lagi izin baru untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit,” harapnya.
Menurutnya, ekspansi lahan perkebunan sawit akan semakin mengancam hutan Indonesia yang saat ini hanya tersisa sekitar 23 persen dari total luas negara ini. “Kalau kita berkaca pada kondisi hutan kita saat ini, seharusnya kita penuhi 30 persen dan menyetop perambahan hutan. Faktanya hutan Indonesia lebih banyak rusak karena perambahan hutan melalui izin izin itu. Lalu apa gunanya gerakan menanam pohon yang selama ini banyak digaungkan pemerintah?” Moko mempertanyakan.