,

Memasuki Desember, Perburuan Babi Rusa Sulawesi Makin Marak

Babi rusa, satwa langka endemik Sulawesi,
masih terus diburu untuk dikonsumsi. Foto: Rhett Butler

Perburuan satwa endemik Sulawesi, babi rusa (Babyrousa babyrussa),  masih marak walaupun sudah ada pengawasan terutama memasuki Desember. Sebab, daging satwa ini banyak dipasok ke Manado, Sulawesi Utara.

”Perburuan tetap terjadi. Babi rusa sangat terancam punah oleh perdagangan liar ini. Satwa endemik dari Gorontalo dan Sulawesi Tengah di bawa ke Manado,”  kata Lynn Clayton, peneliti babi rusa, kepada Mongabay.co.id, Rabu (28/11/12).

Clayton adalah perempuan berkebangsaan Inggris juga Doktor Eko Biologi babi rusa dari Universitas Oxford. Ia meneliti babi rusa di hutan suaka margasatwa Nantu, Paguyaman, Gorontalo, selama 20 tahun.

Menurut dia, populasi babi rusa di seluruh Sulawesi diperkirakan berkisar 5.000 ekor. Untuk hutan Nantu, populasi tahun 1980-an sebanyak 500-an ekor menyusut menjadi 200-an ekor tahun 2010.

”Populasinya menurun karena aktivitas perburuan dan perambahan hutan. Bahkan sampai sekarang, setiap minggu ada sekitar dua sampai lima ekor babi rusa di pasar Langowan, Minahasa, yang biasa menjual daging babi rusa.”

Jemy Kumolantang, staf di camp hutan Suaka Margasatwa Nantu mengungkapkan, perburuan babi rusa bisa dilihat di pasa-pasar tradisional di Minahasa, Sulawesi Utara.

Di Minahasa, babi rusa sangat sulit ditemukan, hingga warga mulai memburu hingga ke Gorontalo, Sulawesi Tengah, bahkan Sulawesi Tenggara. ”Setiap bulan itu pasti ada perburuan babi rusa. Biasa, dalam seminggu pemburu bisa dapat tiga ekor dan langsung di bawa ke Minahasa, khusus di pasar tradisional yang biasa menjual daging satwa liar,” kata Jemy. Dia dulu pernah jadi pemburu satwa liar.

Menurut Clayton, babi rusa di hutan Nantu masih bisa diawasi, karena ada petugas kepolisian. Namun, sulit dan tidak ada pengawasan sama sekali di Cagar Alam Panua, Kabupaten Pohuwato, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.

Zainudin Lagarusu, staf di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah II Sulawesi Utara, di Limboto, Kabupaten Gorontalo, mengakui hal itu. Menurut dia,  pengawasan sangat kurang di Cagar Alam Panua, hingga sering terjadi perburuan dan perambahan hutan.

”Kami menyadari pengawasan sangat kurang. Karena anggota hanya sedikit. Contoh, di Tanjung Panjang, hanya dijaga satu orang. Pun di Panua, hanya dua orang. Apalagi kami masih di bawah kendali BKSDA Sulawesi Utara. Belum otonom.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,