, , ,

Lupakan Masalah Kehutanan, RI Malah Dagang Karbon di Doha

SUDAH sepekan ini perwakilan negara-negara pihak dari Konferensi Perubahan Iklim bertemu di Doha, Qatar, dalam Conference of the Parties (COP) ke-18 dari United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) membahas solusi bagi krisis iklim global.  Perjanjian iklim global ini berjalan di tengah pesimisme proses negosiasi akan membawa resolusi mengatasi perubahan iklim secara adil, terlebih, bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim.

Salah satu  bahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset), dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencar mendorong perdagangan karbon skema offset, negara-negara non-Annex-1 hanya Bolivia dan Brazil yang menolak. Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema offset (perdagangan karbon) seperti keinginan negara-negara industri.

Kalangan masyarakat sipil pun kecewa dan menyayangkan sikap delegasi Indonesia tidak menyinggung beragam permasalahan di sektor kehutanan. Bahkan, Indonesia dengan percaya diri menyatakan siap masuk dalam perdagangan karbon.

Teguh Surya dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global mengatakan, pemerintah Indonesia tidak menyingung isu-isu sentral sektor kehutanan dalam negeri. “Tidak ada sama sekali bagaimana upaya perlindungan dan pengakuan keberadaan masyarakat adat di dalam kawasan hutan dan bagaimana status mereka dalam proyek karbon yang ditawarkan Indonesia,” katanya dalam konferensi jarak jauh langsung dari Doha di Sekretariat Walhi Jakarta, Selasa(4/11/12).

Indonesia, juga tak menjelaskan bagaimana tata kelola kehutanan dan mencapai target pemotongan emisi 26 sampai 41 persen di tengah marak pelaksanaan MP3EI. “Yang disampaikan pemerintah Indonesia hanya sesuatu yang dibuat seolah-olah bagus dan Indonesia ready to global carbon market.”

Padahal, beragam masalah kehutanan masih menumpuk di  Indonesia, seperti status masyakarat adat (lokal) yang bergantung hidup dari hutan, ada sekitar 33 ribu desa di sekitar (kawasan) hutan, tak ada protokol resolusi konflik, tata batas tak jelas, tanpa penyelesaian tumpah tindih perizinan. “Masuk ke skema pasar karbon dan offset sama saja bunuh diri.”

Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, Indonesia belum siap berjualan karbon dengan begitu banyak masalah sektor kehutanan. “Banyak temuan-temuan terjadi baik di Jakarta maupun di lapangan, baik izin prosedur maupun isu tata ruang dan tata guna hutan, tumpang tindih antar sektor, baik konsesi atau perizinan.” Dengan beragam masalah itu, skema karbon akan lebih menjerumuskan Indonesia ke hal yang tidak tahu akhirnya ke mana.”

Menurut dia, seharusnya jika ingin masuk perdagangan karbon, didukung peraturan sangat ketat, dan kejelasan hak atas tanah baik masyarakat adat dan lokal dan penguasan antarsektor. Proyek-proyek percontohan REDD pun gagal seperti di Ulu Masen (Aceh) dan Kalteng. “Tidak memperlihatkan kemajuan untuk proyek pilot. Ini menunjukkan Indonesia tak bisa masuk bisnis karbon.”

Kekesalan bertambah kala Indonesia tak memerangi negara maju yang tak mau mengurangi emisi karbon yang masih tinggi pada industri dan transportasi mereka. Dalam beberapa presentasi pemerintah Indonesia, jelas bagaimana pemerintah membuka lebar Indonesia sebagai pasar karbon masa depan, dengan apa yang disebut sebagai skema karbon nusantara (SKN) atau skema pasar/perdagangan karbon domestik suka rela. Skema ini dikembangkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) beberapa waktu lalu dan didukung Kementerian Kehutanan.

“Pemerintah Indonesia sudah mendahului UNFCCC dalam perdagangan karbon dengan memasukkan REDD+ ke dalam SKN dan mendorongng link-nya dengan pasar karbon internasional melalui mekanisme offset,” kata Anggalia Putri Permatasari, Staf Program Kehutanan dalam Perubahan Iklim HUMA.

SKN sama sekali tidak menyinggung status legal karbon dan benar-benar hanya mendesain mekanisme sertifikasi. Di Indonesia, isu perdagangan karbon sebagian besar bicara hutan dan lahan gambut, dimana status hak atas tenure belum jelas. Hingga, hutan Indonesia yang luas ini memiliki potensi besar terjadi pelanggaran HAM.

Aksi terjun bebas Indonesia dalam bisnis karbon masa depan juga ditunjukkan dengan menerbitkan izin bagi PT. Rimba Raya menjalankan proyek REDD+ seluas 80.000 hektar di Kalimantan Tengah pada 30 November 2012, di sela-sela pertemuan COP 18. Proyek itu akan mengikuti skema Verified Carbon Standard (VCS) dan Climate, Community dan Biodiversity Alliance (CCBA). Tujuannya juga memperdagangkan (offsets) kredit karbon yang dihasilkan.

Deddy Ratih, Manajer Advokasi Pengelolaan Ruang dan Perubahan Peruntukan Lahan Eksekutif Nasional Walhi mengungkapkan, dengan membuka pasar karbon, pemerintah Indonesia terlalu meyederhanakan, dan mengabaikan berbagai permasalahan struktural mendasar yang sampai saat ini belum terselesaikan. “Ratusan konflik yang terkait dengan hak tenurial dan hak atas tanah serta sumberdaya alam belum dapat diselesaikan secara sistematik dan adil. Tata kelola kehutanan sarat nuansa KKN dan sampai saat ini belum dapat ditertibkan.”

Senada diungkapkan Diana Gultom dari DebtWatch Indonesia. Menurut dia, keputusan pemerintah Indonesia mempromosikan perdagangan karbon dinilai terlalu dini dan terburu-buru. “Bukan memitigasi berbagai dampak perubahan iklim, perdagangan karbon justru akan makin membuat rakyat Indonesia yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim kehilangan sumber-sumber penghidupan. Konflik sosial pun makin subur.”

Bagi Siti Maimunah, Koordinator Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, COP 18 lebih berperan sebagai konferensi para pencemar. “Agenda perdagangan karbon lebih mengemuka, membuat tujuan awal pertemuan bergeser jauh. Alih-alih mencari jalan mengurangi suhu bumi dan membantu masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim. Pertemuan justru menciptakan peluang bisnis di atas nasib miliaran korban dampak perubahan iklim.” Kondisi ini hanya menguntungkan negara-negara industri dan korporasi. “SBY dan para pemimpin dunia yang hadir di Doha mesti menghentikan kegilaan ini agar tak membahayakan nasib penduduk Indonesia dan penghuni bumi,”ucap Maimunah.

Subsidi energi fosil di negara-negara maju lebih besar dari pada alokasi dana untuk climate change
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,