Penelitian: 8,8 Juta Hektar Hutan Indonesia Hilang dan 7 Miliar Karbon Lepas Akibat Alihfungsi Hutan

Emisi gas rumah kaca Indonesia seharusnya bisa berkurang jutaan ton dari penerapan moratorium terhadap konsesi kehutanan dan lahan gambut jika diterapkan jauh lebih awal. Hal ini diungkapkan dalam sebuah presentasi yang disampaikan oleh peneliti bernama Jonah Busch dari Conservation International disela-sela pembicaraan tentang iklim di Konferensi tentang Perubahan Iklim di Doha, Qatar.

Presentasi ini disampaikan berdasarkan hasil penelitian para ahli di organisasi tersebut bersama Environmental Defense Fund, World Resources Institute, University of Maryland, Woods Hole Research Center dan Packard Foundation, yang memperkirakan jumlah emisi gas rumah kaca seandainya penerapan moratorium ini dimulai tahun 2000 silam, dan bukan 2011.

Perkebunan kelapa sawit meningkatkan deforestasi sebesar 60% di Indonesia, sementara konsesi untuk bisnis kayu mendorong deforestasi hingga 110%. Foto: Lili Rambe

Penelitian ini menyimpulkan bahwa jika Indonesia menerapkannya satu dekade lebih awal, maka negeri ini bisa memotong emisi hingga 578 juta ton karbon dengan mengurangi deforestasi sebesar 4,7% atau senilai dengan sekitar 414 ribu hektar hutan selama periode tersebut. Pengurangan ini merupakan sekitar 8,3% dari total keseluruhan emisi karbon Indonesia sebesar 8,71 miliar ton. Jika peraturan moratorium itu diterjemahkan dengan lebih ketat (yaitu diaplikasikan di semua hutan dan lahan gambut yang mengandung 150 ton karbon per hektar), maka emisi karbon bisa berkurang sebesar 1.367 miliar ton dan menyelamatkan 1.486 juta hektar hutan.

Namun kenyataannya, studi ini menemukan bahwa Indonesia sudah kehilangan 8,78 juta hektar hutan dan melepas karbon ke udara sebanyak 8,71 miliar ton (sekitar 7 miliar ton diantaranya akibat dari alihfungsi lahan) selama periode tersebut. Perkebunan kelapa sawit dan konsesi kehutanan lain (termasuk pulp and paper) menyumbang 38% dari keseluruhan deforestasi dan sekitar 46% emisi secara nasional. Namun studi ini tidak mengevaluasi dampak sektor perkebunan terhadap degradasi hutan dan lahan gambut, yang menjadi sumber emisi penting di Indonesia.

Penelitian ini juga menemukan bahwa pemberian konsesi untuk HTI atau kebun sawit secara signifikan mendorong tingginya tingkat deforestasi: “Secara rata-rata, konsesi terhadap perkebunan sawit meningkatkan deforestasi  sekitar 60% dan konsesi kayu meningkatkan deforestasi sekitar 110%,” ungkap Busch dalam presentasinya.

Angka kehilangan hutan untuk perkebunan sawit adalah sekitar 1,6 hingga 2,4% selama periode studi ini, sementara angka kehilangan hutan dari konsesi kayu sekitar 0,3 hingga 3% setiap tahun. Hutan di konsesi penebangan berkurang sekitar 0,5 % setiap tahunnya.

Lebih lanjut, Busch menyimpulkan bahwa jika Indonesia ingin meningkatkan target pengurangan emisi antara 26 hingga 41% di tahun 2020, Indonesia harus memperluas cakupan moratorium tidak hanya di hutan alami dan lahan gambut, namun juga hutan sekunder dan juga wilayah konsesi yang ada dan belum dikonversi.

Busch juga menyarankan bahwa adanya standar nasional nailai karbon juga bisa menjadi pendekatan lain untuk menekan emisi di Indonesia. Misalnya, dia memperkirakan bahwa penerapan sebuah sistem perdagangan dan nilai kepatuhan yang menghitung harga karbon 2,05 dollar AS per ton akan bisa meraih penurunan senilai 578 juta ton karbon, setara dengan penerapan moratorium.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,