Proyek REDD+ Rimba Raya Akan Garap 80.000 Hektar Hutan di Kalimantan Tengah

Sebuah proyek besar untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan akhirnya disepakati oleh Pemerintah Indonesia. Proyek yang bernama Rimba Raya Biodiversity Reserve ini akan dijalankan di dekat Taman Nasional Tanjung Puting, propinsi Kalimantan Tengah di areal seluas 80.000 hektar untuk melindungi hutan gambut yang kaya akan kandungan karbon dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Kesepakatan ini ditandatangani oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pekan lalu, dan diumumkan disela-sela Konferensi Perubahan Iklim di Doha, Qatar.

Sebagai donor utama proyek ini adalah raksasa energi dan gas dari Rusia, Gazprom dan perusahaan asuransi asal Jerman, Allianz.

Usai kesepakatan tersebut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, seperti diberitakan oleh Reuters, mengatakan bahwa proyek seperti Rimba Raya akan bisa menyelaraskan antara konservasi dengan pembangunan wilayah pedesaan bagi masyarakat.

Dengan skema penyelamatan ini, maka Gazprom dan Allianz akan menerima kredit karbon yang yang bisa mereka jual kembali untuk mendapat keuntungan atau mereka gunakan untuk memotong emisi karbon akibat industri mereka. Uang yang didapat dari penjualan kredit karbon tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek yang menyokong kehidupan warga.

“Saya bangga bahwa Kalimantan Tengah bisa menjalankan salah satu proyek utama REDD+ di dunia,” ungkap Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang. “Kami akan menindaklanjuti dengan kerjasama dengan pengembang proyek ini dalam kerangka ‘learning by doing‘”.

Rimba Raya adalah sebuah proyek yang menjadi bagian dari skema REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation), dan bertujuan untuk menunjukkan bahwa hutan memiliki nilai ekonomis mereka sendiri tanpa harus ditebang, dan bisa bersaing dengan berbagai sektor bisnis seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan kayu.

Proyek ini mendapat persetujuan untuk dijalankan setelah tiga tahun tertunda. Rimba Raya sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh dua lembaga REDD –Voluntary Carbon Standard dan Climate, Community and Biodiversity Alliance– namun membutuhkan persetujuan akhir dari pemerintah untuk bisa dijalankan.

Rimba Raya sendiri adalah proyek yang berdurasi 30 tahun, dan diperkirakan akan bisa mendapatkan 104 juta kredit karbon, yang masing-masing memuat 1 metrik ton karbon (1,1023 ton). Secara total, proyek ini diharapkan bisa meraih kredit karbon senilai 300 juta hingga 500 juta euro (390 juta sampai 650 juta dollar AS) berdasarkan harga rata-rata karbon offset REDD saat ini.

Warga lokal, menjadi salah satu kunci kesuksesan proyek raksasa ini. Tanpa keterlibatan warga lokal, REDD+ akan mengalami jalan buntu di lapangan. Foto: Aji Wihardandi

“Ini adalah langkah kecil namun signifikan dalam konteks memperbesar peran pemerintah untuk menekan emisi karbon dan menunjukkan bahwa volume karbon hutan yang berjumlah sangat besar ini bisa dijual kepada pembeli yang kredibel,” ungkap Direktur Program Hutan dan Pemerintahan di CIFOR, Andrew Wardell kepada Reuters.

REDD+ sendiri sejauh ini memang berkembang sangat lambat di level internasional. Setelah gagal dalam proses pembicaraan di Konferensi Perubahan Iklim di Qatar, diskusi isu REDD+ akhirnya diagendakan lagi tahun berikutnya. Banyak investor REDD+ masih menanti hingga detail program ini mencapai tahap final. Namun, terbatasnya anggaran membuat negara-negara seperti Indonesia kesulitan menjalankan proyek ini.

“REDD+ memiliki peran penting dalam mereduksi emisi dari sektor kehutanan, namun biaya untuk aktivitas hutan dan masyarakat sangat tinggi, jadi Indonesia mengimbau kepada negara-negara maju untuk sesegera mungkin merealisasikan pembiayaan untuk REDD+,” ungkap Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim sekaligus ketua Eksekutif Dewan Nasional Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar.

Seperti diberitakan sebelumnya oleh Mongabay Indonesia, perjanjian iklim global ini berjalan di tengah pesimisme proses negosiasi akan membawa resolusi mengatasi perubahan iklim secara adil, terlebih, bagi negara-negara miskin dan berkembang yang paling rentan dan tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim.

Salah satu  bahasan utama adalah perdebatan mengenai perdagangan karbon (offset), dimana negara-negara industri Annex-1 dengan gencar mendorong perdagangan karbon skema offset, negara-negara non-Annex-1 hanya Bolivia dan Brazil yang menolak. Pemerintah Indonesia dalam konferensi kali ini justru mengambil langkah mendukung penuh mekanisme pasar dengan skema offset (perdagangan karbon) seperti keinginan negara-negara industri.

Kalangan masyarakat sipil pun kecewa dan menyayangkan sikap delegasi Indonesia tidak menyinggung beragam permasalahan di sektor kehutanan. Bahkan, Indonesia dengan percaya diri menyatakan siap masuk dalam perdagangan karbon. Dan hal ini dibuktikan dengan royek besar Rimba Raya ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,