,

Hukum Impoten, Perdagangan Satwa Ilegal dari Indonesia Tak Terbendung

Aksi penyelundupan satwa dilindungi, terutama jenis penyu dan trenggiling, makin marak.  Permintaan yang terus meningkat, ditambah harga jual tinggi jadi pemicu gairah para pelaku. Demikian ditegaskan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Darori, usai acara pelepasan 24 ekor penyu hijau (Chelonia mydas) ke laut kawasan Sanur, di Pantai Mertasari, Sanur, Kamis (13/12).

Penyu-penyu tersebut merupakan sebagian dari total 33 ekor penyu hijau yang berhasil disita Kepolisian Perairan Polda Bali pada Minggu 9 Desember 2012 tengah malam dari sebuah kapal yang bersandar di Pantai Tanjung Benoa, Bali. Diduga, penyu-penyu tersebut juga hendak diselundupkan ke luar negeri. Dari total 33 ekor penyu, 6 ekor penyu masih harus menjalani rehabilitasi karena dalam kondisi tidak sehat, sedangkan tiga ekor lainnya harus disita untuk dijadikan barang bukti pada proses peradilan. Semuanya saat ini dititipkan di tempat penangkaran penyu di Serangan, Denpasar.

Menurut Darori, penyu dan trenggiling saat ini menjadi komoditas yang cukup tinggi permintaannya di luar negeri, terutama di wilayah Asia Timur seperti Cina, Taiwan, dan Vietnam. Dijelaskan, penyu-penyu tersebut umumnya diawetkan dan dijadikan pajangan. “Karena di negara-negara itu, penyu-penyu ini jadi semacam kepercayaan. Ada keyakinan bahwa penyu itu melambangkan sesuatu yang spesial. Selain itu, ada juga yang senang mengkonsumsi dagingnya,” ujar Darori.

Penyu hijau termasuk hewan terancam punah dan dilindungi oleh pemerintah melalui Undang undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES), di mana penyu masuk dalam status Appendix 1.

Selain permintaannya tinggi, penyelundupan penyu juga makin marak karena harga jualnya yang cukup menggiurkan. “Seekor penyu yang berdiameter 1 meter, di negara tetangga kita harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah per ekor. Di sini, satu ekor dibayar Rp 5 juta saja, nelayan atau rakyat kita sudah senang,” tambahnya.

Dalam tahun 2012 ini saja, kata Darori, sudah ada lebih dari 200 ekor penyu berbagai jenis yang berhasil digagalkan penyelundupannya oleh berbagai pihak seperti Kepolisian dan Bea Cukai, dari berbagai wilayah di Indonesia. “Terbaru, kemarin juga digagalkan lagi upaya penyelundupan penyu di NTT dengan jumlah yang lebih besar lagi,” kata dia.

Sedangkan untuk jenis trenggiling, menurut Darori, banyak dicari untuk dikonsumsi. Tidak berbeda dengan penyu, penyelundupan trenggiling ke luar negeri juga diduga marak karena harganya yang luar biasa tinggi. “Kemarin saya ke Cina, luar biasa itu. Di sana daging trenggiling satu kilogramnya kurang lebih Rp 4 juta. Dan permintaannya tinggi sekali,” jelas Darori, sembari menyebutkan pihaknya telah menyita serta sebanyak 80 ton daging trenggiling dalam tahun ini.

Darori juga menyesalkan masih rendahnya hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku penyelundupan selama ini. “Beberapa kali aksi penyelundupan digagalkan, sayangnya pelakunya kadang hanya dihukum tiga bulan atau empat bulan. Kita tidak bisa salahkan hakim juga, tetapi karena undang-undangnya memang memperbolehkan itu. Karenanya kami saat ini berupaya agar undang-undang itu direvisi,” jelasnya.

Dijelaskan, Undang undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati saat ini masih memberikan peluang hukuman terlalu ringan bagi pelaku penyelundupan satwa liar. Berdasarkan UU tersebut, pelaku penyelundupan diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 100 juta. “Kami sedang mengupayakan agar hukumannya paling tidak minimal 5 tahun penjara, atau maksimal 20 tahun penjara. Jadi pelakunya lebih jera,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,