,

PIPIB III: Ratusan Ribu Hektar Hutan Lindung dan Konservasi Jadi Hutan Produksi

Penetapan peta moratorium hutan dan gambut oleh pemerintah Indonesia, bak permainan puzzle. Kondisi ini, terlihat dari perubahan-perubahan setiap revisi peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB) kini memasuki edisi ketiga terjadi bongkar pasang dan belum menemukan bentuk yang jelas. Bahkan, revisi PIPIB III ini, sekitar 466 ribu hektar hutan lindung dan konservasi menjadi hutan produksi atau areal penggunaan lain (APL), terbesar di Papua sekitar 340 ribu hektar.

Yuyun Indradi, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia khawatir, dengan konversi hutan lindung dan konservasi menjadi produksi maupun APL. “Agak celaka alih fungsi ini karena tidak bisa dipindahkan ke hutan lain. Bagaimana dengan masyarakat sekitar yang kehilangan hutan mereka. Bagaimana pasokan air mereka?” katanya dalam temu media Greenpeace dan Forest Watch Indonesia (FWI) di Jakarta, Kamis (13/12/12).  Konversi ini, juga bertentangan dengan Instruksi Presiden (Inpres) no 10 tahun 2011 tentang Moratorium Hutan dan Gambut.

Kiki Taufik, Kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia mengatakan, data ini diperoleh dari analisis spasial Greenpeace berdasarkan sumber peta PIPIB III di Kementerian Kehutanan dan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). (perubahan lihat tabel)

Penyebaran ‘cabut pasang’ luas kawasan PIPIB ini, terjadi di banyak pulau, dari Sumatera, Kalimantan, sampai Papua, dengan luasan terbesar perubahan hutan konservasi ke produksi terjadi di Papua. Di Sumatera, juga ada kawasan gambut dikeluarkan sekitar 500 ribu hektar, dengan penambahan hanya 150 ribu hektar. “Ya, peta moratorium ini seperti puzzle yang belum pas dan tak berbentuk. Kami harap, demi kepentingan masyarakat tim Presiden SBY bisa menyempurnakan teka-teki potongan gambar ini saat masih Presiden,” ucap Kiki.

Tak hanya itu, tumpang tindih konsesi di wilayah moratorium juga masih terjadi dalam revisi kali ini. Tumpang tindih (overlapping) konsesi HPH, masih ada sekitar 2,6 juta hektar, HTI 589 ribu hektar, sawit 850 ribu hektar, batubara 903 ribu hektar dengan total 4,97 hektar.

Dari keadaan ini, terlihat sejak PIPIB I sampai III, sebenarnya tak ada perubahan berarti. “Jadi, apa yang disampaikan oleh organisasi masyaakat sipil kepada pemerintah sama sekali tidak didengar,” ucap Kiki.

Pengurangan kawasan hutan dan gambut yang masuk moratorium terus bertambah, tumpang tindih wilayah konsesi masih terjadi. “Tumpang tindih antara HPH, HTI makin meningkat, hanya sawit dan batu bara ada penurunan sedikit.”

FWI juga memantau langsung ke Kalimantan Tengah di tiga daerah, yakni, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas dan Kota Waringin Timur. Di tiga wilayah ini, masih ditemukan kawasan yang masuk PIPIB III tetapi pembukaan lahan tetap terjadi. Ada juga, hutan primer dan gambut yang siap menjadi kebun sawit.

Kondisi ini,  tak hanya mengancam alam, juga habitat satwa langka dan dilindungi seperti, orangutan Kalimantan. “Di tempat-tempat yang kami kunjungi itu bisa lihat langsung sarang-sarang orangutan. Di wilayah-wilayah, seperti hanya semak luasan kecil di dalam konsesi kebun sawit ada sarang orangutan,” kata Dwi Lesmana, Peneliti Forest Watch Indonesia.

Dari tinjauan lapangan ini disimpulkan, beberapa hal. Pertama,  overlaping wilayah konsesi dengan moratorium yang sudah diidentifikasi di PIPIB II ternyata masih terjadi di PIPIB III. Kedua,  ketidaksesuaian klasifikasi obyek moratorium dengan kondisi lapangan terkini. Ketiga, beberapa wilayah moratorium yang terfragmentasi kecil terancam deforestasi. Keempat, informasi mengenai wilayah cakupan moratorium di lapangan tidak diketahui masyarakat lokal.

Menurut Yuyun, sebenarnya, banyak hal yang dapat dicapai jika pemerintah atau organisasi masyarakat sipil bekerja sama dengan masyarakat lokal. Masyarakat lokal atau adat bisa juga membantu memonitoring pelaksanaan moratorium.

Untuk itu, Greenpeace dan FWI mendesak,  moratorium berbasis capaian alias tidak dibatasi waktu termasuk penguatan moratorium dengan kaji ulang atas semua perizinan, penatabatasan kawasan hutan secara utuh, memasukkan semua lahan gambut dan hutan sekunder sebagai obyek moratorium.

Sumber: grafis dari Greenpeace

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,