,

Enam Lembaga Negara Bikin Kesepakatan Perkuat Penegakan Hukum Kehutanan

Berharap tak hanya MoU sebatas kertas tetapi dapat diimplementasikan.

Kamis(20/12/12), enam lembaga negara menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) guna memperkuat penegakan hukum atas kasus-kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) di kawasan hutan dan gambut lewat berbagai pendekatan hukum (multidoor). Para penandatangan berharap, komitmen ini tak hanya sebatas nota kesepahaman di atas kertas tetapi harus terealisasi di lapangan.

MoU ditandatangani Menteri Keuangan, Agus D. W. Martowardojo; Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan; Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya; Jaksa Agung, Basrief Arief; Kapolri, Timur Pradopo, dan Kepala PPATK, Muhammad Yusuf. Penandatanganan disaksikan Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4 dan Ketua Satgas REDD+, dan Ketua KPK, Abraham Samad, serta dihadiri pejabat, masyarakat sipil, dan media.

Zulkifli Hasan senang nota kesepahaman ini bisa dilakukan. Dia berharap, dengan MoU ini penegakan hukum sektor kehutanan lebih memiliki kepastian lagi. Sebab, dia mengalami betapa sulit menjerat para pelaku, sudah diproses, namun Kementerian Kehutanan kalah di Pengadilan.

Dia khawatir, belakangan ini pembabatan hutan makin marak. Demi melindungi hutan dan gambut, dia mengajak setelah MoU ini, bisa langsung bekerja. “Kalau bisa setelah tanda tangan ini bisa cepat bergerak,” katanya, Kamis(20/12/12) di Jakarta.

Agus Marto mendukung penuh kerja sama dan berharap tak hanya nota kesepakatan, juga tukar informasi, sinergi untuk mencapai rencana-rencana aksi kongkret. Dengan aksi ini, dalam menangani pelanggaran SDA-LH menggunakan berbagai UU.

Dia menilai, lembaga negara lain, seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag), semestinya ikut dalam MoU ini. Dia mencontohkan, Bea Cukai jika ingin mengenali atau mengidentifikasi produk ekspor dari bahan illegal logging, perlu mendapat informasi dari Kemendag. “Bentuk-bentuk ini bisa dilakukan dalam rencana aksi.”

Agus Marto juga menyoroti tentang data deforestasi. “Deforestasi turun, tapi betul apa ga? Saat dia melihat data via satelit, masih banyak titik-titik deforestasi. Dia menyarankan, Indonesia mempunyai sistem standar dalam menentukan besaran deforestasi.

Timur Pradopo, mengungkapkan, dengan MoU ini, semoga penyelesaian kasus bisa lebih komprehensif. “Jangan sampai capek-capek upaya penegakan hukum tapi antar instansi penegak hukum tak memiliki pemahaman sama,” ujar dia. Dengan ada kesepahaman ini, jika menangani satu kasus, bisa dilihat dari berbagai kacamata hukum, misal dijerat dengan money laundering, korupsi dalam lain-lain. “Itu bagus.”

Balthasar Kambuaya, yang diwakili, Daryono, Deputi Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup, gembira dengan upaya ini di tengah ketidakpercayaan publik akan penegakan hukum di Indonesia.

Dia mengatakan, indeks kualitas lingkungan hidup mengalami tren penurunan, salah satu faktor penyebab karena penegakan hukum lingkungan tak efektif di lapangan. “Berharap, kerja sama ini bisa segera diimplementasikan demi kelestarian lingkungan.”

Tak jauh beda dengan ungkapan M Yusuf, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dia berharap, kesepahaman ini tak selesai hanya di atas kertas atau sebatas pertemuan ini saja namun bisa direalisasikan.

Menurut dia, PPATK bisa ‘diberdayakan’ lebih dengan menelusuri aliran uang ke mana saja dan untuk apa saja. Untuk itu, Jaksa Agung semestinya ‘dipaksa’ bisa melakukan pembuktian terbalik. “PPATK bisa jangkau lebih luas, misal uang untuk apa? Beli properti, mobil dan lain-lain. Selama ini, jarang melakukan itu padahal penting.”

Tak hanya itu. Selama ini, penegak hukum meminta data kepada PPATK jika kasus sudah memasuki tahap penyidikan. “Itu kelamaan, uang mau diblokir juga keburu habis.” Dia menyarankan, sebaiknya data diminta sejak proses penyelidikan hingga uang bukti masih ada.

Basrief Arief pun menyambut baik kerja sama ini. “Ini momentum baik, diikuti implementasi di lapangan yang baik juga,” katanya.

Dia mengungkapkan, kejahatan kehutanan makin marak akhir-akhir ini dengan teknik makin canggih. Untuk itu, dia berharap, kerja sama ini tak hanya di atas kertas tetapi bisa diimplementasikan.

Efek jera

Pendekatan banyak pintu (multidoor) ini untuk mengoptimalkan efek jera dengan mengarahkan pemidanaan kepada pelaku utama, pemulihan lingkungan hidup, pengembalian kekayaan negara dan prinsip mengikuti aliran uang (follow the money).

Kuntoro mengatakan, berkaitan dengan ini, UKP4/Satgas REDD+ selama satu tahun terakhir bekerja sama dengan berbagai institusi terkait termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).

Ada tiga hal mendorong penegakan hukum dengan pendekatan ini bisa sukses. Pertama, kerja sama untuk mendorong penegakan hukum pada kasus-kasus prioritas dengan pendekatan multi-door. Kedua, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum Indonesia melalui seminar bagi hakim dan pelatihan terpadu bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim dengan pendekatan multi-door.

“Sampai Desember 2012, UKP4/Satgas REDD+ sudah memfasilitasi pelatihan dan seminar bagi 306 peserta yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, dan penyelidik pegawai negeri sipil (PPNS) di tiga provinsi, Riau, Kalimantan Tengah, dan Aceh.”

Ketiga, pembuatan pedoman dengan pendekatan multi-door dalam penanganan perkara SDA-LH di atas hutan dan lahan gambut bagi penyidik dan penuntut umum.

Menurut Kuntoro, ada beberapa hal penting berkaitan penandatanganan itu. Pertama, komitmen melaksanakan pedoman pendayagunaan pendekatan multientry atau multidoor sebagai upaya penguatan amunisi hukum menjerat pelaku kejahatan SDA. Kedua, komitmen makin meningkatkan koordinasi dan sinergi. Ketiga, terealisasikan konsep “polisi hijau” dan “jaksa hijau” disamping green bench yang kini menjadi kebijakan Mahkamah Agung. Keempat, setelah ini, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup diharapkan menguatkan PPNS mereka.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,