Walhi Kembali Somasi Gubernur Bali Karena Berikan Izin Eksploitasi Mangrove

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada Jumat 21 Desember 2012, mensomasi Gubernur Bali Made Mangku Pastika atas keputusan orang nomor satu di Provinsi Bali itu memberikan izin pengelolaan 102,2 hektar hutan mangrove di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai. Ini merupakan somasi ke-2, setelah sebelumnya somasi pertama pada 10 Desember lalu tidak mendapat tanggapan sama sekali.

Dalam empat lembar surat somasinya, Sekretaris Pengurus Walhi Kholisoh menuntut gubernur mencabut izin pengelolaan hutan mangrove yang telah diberikan kepada investor swasta PT. Tirta Rahmat Bahari pada 27 Juni lalu. Alasannya, penerbitan izin tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan serta prinsip prinsip umum pemerintahan yang baik. Dalam surat somasi tersebut juga disebutkan, gubernur seharusnya segera mencabut keputusan tersebut sehingga tidak menjadi preseden buruk dalam pelaksanaan berbagai peraturan yang ada maupun komitmen Pemerintah Provinsi Bali yang ingin mewujudkan Bali sebagai green province.

“Bahwa untuk tegaknya supremasi dan kepastian hukum, kepada pihak Gubernur Bali diberikan waktu 2 x 24 jam setelah surat somasi ini diterima. Jika dalam waktu tersebut tidak ada itikad baik dari Gubernur Bali untuk mencabut surat keputusan tersebut, maka kami akan melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” demikian tertulis dalam somasi tersebut.

Ketua Dewan Daerah Walhi Bali Wayan Gendo Suardana dalam jumpa wartawan di Denpasar menegaskan, surat somasi itu telah dikirimkan secara resmi pada Jumat (21/12/12). Somasi juga ditembuskan kepada Presiden RI, Menteri Kehutanan RI, Menteri Lingkungan Hidup RI, serta Ombudsman RI.

“Pada somasi pertama, kami sudah memberikan waktu tujuh hari kepada gubernur untuk menindaklanjuti. Tapi ternyata tidak ada respon sama sekali. Sekarang kami beri waktu dua hari untuk menanggapi. Kalau ternyata tidak ada tanggapan, Walhi sudah menyiapkan gugatan hukum untuk diajukan secara resmi,” tegas Gendo. Langkah hukum, kata Gendo, terpaksa diambil karena berbagai aspirasi yang disampaikan aktivis lingkungan di Bali tidak direspon sama sekali.

Berdasarkan peta rencana tata letak areal usaha sarana pengusahaan wisata oleh PT. Tirta Rahmat Bahari, terungkap bahwa akan dibangun sejumlah fasilitas akomodasi dan sarana pariwisata yakni 75 penginapan, 5 kios, 8 rumah makan, 2 spa, 4 outbond, 2 kantor pengelolaan, 1 permainan air, 1 restoran, 1 pool, 1 gedung serba guna, 1 arena kegiatan publik, 1 camp area, gazebo, toilet, dan tempat meditasi.

“Pembangunan 75 penginapan di areal hutan mangrove itu sedikit tidak pasti akan merusak lingkungan sekitar. Lebih dari itu, kami mempertanyakan kenapa harus ada izin pembangunan penginapan di areal hutan, sementara saat ini sudah ada sekitar 4.000 kamar hotel di sekitarnya yang bisa dimanfaatkan. Tidak perlu lagi membangun penginapan di dalam areal hutan,” ujar Gendo.

Gendo juga mengingatkan bahwa luasan hutan di Bali saat ini hanya 22% dari total luas Bali, di bawah luasan minimal 30%. “Seharusnya gubernur mengupayakan penambahan luas areal lahan hutan, bukan justru memberikan izin pembangunan penginapan di kawasan hutan,” tambahnya.

Walhi berencana menggugat gubernur dengan beberapa undang-undang sekaligus, yakni Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-undang no. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Menanggapi somasi tersebut, Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali, I Ketut Teneng menyatakan pihaknya belum menerima surat somasi tersebut. Namun ia berjanji akan segera menanggapinya. “Bapak gubernur seharian ini (Jumat) melakukan perjalanan dinas ke Kabupaten Buleleng. Jadi belum membaca surat somasinya. Kami akan menanggapinya segera,” tegas Teneng.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,