Surat somasi kedua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika agar segera mencabut izin pengusahaan pariwisata alam pada lahan seluas 102,2 hektar kawasan hutan mangrove di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, rupanya tidak mendapat tanggapan. Hingga Rabu 26 Desember 2012, atau lima hari paska surat somasi disampaikan Jumat 21 Desember 2012, Walhi belum menerima surat tanggapan apapun dari orang nomor satu di Provinsi Bali itu. Padahal Walhi hanya memberikan waktu dua hari kepada Pastika untuk memberi tanggapan.
“Sampai sekarang Walhi belum menerima surat tanggapan sama sekali. Ini kali kedua gubernur mengabaikan somasi kami, setelah somasi pertama yang kami kirim 10 Desember lalu juga tidak dihiraukan,” ucap Ketua Dewan Daerah Walhi Bali Wayan Gendo Suardana kepada Mongabay di Denpasar, Rabu.
Atas kondisi tersebut, Gendo menjelaskan, Walhi akan melakukan gugatan hukum. “Sesuai isi somasi, kalau tidak ditanggapi, Walhi secara serius akan melakukan tindakan-tindakan advokasi menyeluruh, termasuk mengajukan gugatan hukum secepatnya,” ujarnya.
Walhi berencana menggugat gubernur dengan beberapa undang-undang sekaligus, yakni Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-undang no. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika kepada wartawan di Denpasar pada Rabu mengakui pihaknya belum mengirimkan surat resmi untuk menanggapi somasi Walhi. “Saya sudah perintahkan Biro Hukum dan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan) untuk menjawab somasi itu. Tapi saya nggak tahu, apakah sudah ditanggapi atau belum. Tapi dulu jawaban saya kan akan kita kaji. Ya, kasihlah waktu untuk kita mengkaji,” ucapnya.
Pastika mengajak Walhi untuk duduk bersama, membahas hal hal yang dianggap sebagai pelanggaran hukum. Tim pengkajian ulang izin mangrove, kata dia, berencana akan segera mengundang Walhi untuk berdiskusi. “Saya tidak ngotot bahwa apapun itu langsung benar. Tidak sama sekali. Bisa saja salah. Oleh karena itu nanti saya minta tim mengundang Walhi untuk menjelaskan kepada kita, aspek pelanggaram hukumnya itu di mana. Kalau memang betul mereka bisa meyakinkan kita bahwa ada pelanggaran hukum di sana, kenapa tidak dicabut? Saya sih setuju setuju saja. Ndak masalah. Kenapa kita harus ngotot kalau itu jelas melanggar hukum?” katanya.
Menanggapi ajakan Pastika, Gendo Suardana mengaku sangat mengapresiasi. “Tetapi logikanya terbalik. Seharusnya izinnya dicabut dulu, baru lakukan kajian secara komprehensif apakah Tahura perlu diberikan kepada pihak ketiga untuk pengusahaan wisata alam atau tidak. Jadi, mumpung pak gubernur punya inisiatif yang baik, lebih baik dicabut dulu izinnya, baru lakukan kajian,” ujar Gendo.
Hal yang sama, menurut dia, terjadi saat Walhi meminta informasi dan dokumen detil terkait proses pengeluaran izin tersebut. “Gubernur tidak mau memberi dokumen-dokumen perizinan itu dengan alasan izin masih dikaji ulang. Makanya kami masih ragu, apakah ini inisiatif yang benar benar baik atau sebatas siasat?” Gendo mempertanyakan.
Pada 27 Juni 2012 silam, Gubernur memberikan izin pengusahaan pariwisata kepada PT. Tirta Rahmat Bahari untuk mengelola 102,2 hektar dari total 1.373,5 hektar hutan mangrove di kawasan Tahura Bali. Di dalam izin, PT. Tirta Rahmat Bahari berencana membangun berbagai sarana wisata, termasuk 75 unit penginapan. Pemberian izin tersebut mengundang protes dari kalangan aktivis lingkungan karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem di hutan mangrove.