Ayo, Kini Saatnya Berbatik Ramah Lingkungan…!

Parit dan sungai di desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul pada waktu tertentu akan berwarna-warni. Warna yang datang dari limbah yang dibuang dari industri batik di sekitarnya. Bau dan ancaman kerusakan lingkungan menjadi ancaman bagi ekosistem sekitar sungai. Hal serupa juga terjadi di Pekalongan dan Solo, sebagai sentra industri batik.  “Limbah dibuang ke sungai terkadang tanpa ada pengolahan terlebih dahulu, jelas merusak lingkungan” kata Dedi H Purwadi, penguasa batik Jolawe.

Dedi dan Wineng E Winarni, membuka usaha kerajinan batik di Desa Kalangan, Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Tahun 2010 menjadi tahun revolusi mereka untuk mulai menggunakan pewarna alami. Buah dari tanaman Jolawe, nangka, daun manggis, secang, serta kayu tingi, pohon jati, tegeran, mahoni dan lainnya mereka olah dan jadikan bahan pewarna batik.

Pewarna alami dapat dihasilkan dari ekstrak tanaman dan buah yang mengandung Pigmen (zat warna). Indonesia dengan diversity (keragaman) hayati yang tinggi, sangat potensial untuk menghasilkan pewarna alami yang limbahnya lebih ramah lingkungan.

Bahan alami belum banyak dimanfaatkan oleh pengrajin batik di Indonesia. Foto: Tommy Apriando

Bahkan, World Batik Summit 2011 di Jakarta menghasilkan sebuah deklarasi bersama, pada point No. 5 yang menyatakan industri Batik Indonesia harus didasarkan atas perlindungan alam dan lingkungan, serta riset mengenai penyediaan bahan pewarna tradisional yang alami dalam jumlah besar penting untuk digalakkan. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2012, jumlah perajin batik saat ini tercatat 48.300 unit di seluruh Indonesia. “Pemasok batik Jogja saja, hanya berkisar 25% pengusaha batik dari Jogja sendiri, sisanya dari Solo dan Pekalongan dan sebagian besar menggunakan pewarna kimia,” kata Dedi.

Di Indonesia, limbah proses pewarnaan batik masih tercemar dari pewarna sintesis seperti naptol, remasol, indigosol dan sejenisnya. Pewarna-pewarna berbahan kimia tersebut tergolong tidak ramah lingkungan. Selain berbahaya bagi manusia bahan pewarna naptol dan indigisol bisa mengakibatkan organisme dalam air akan mati. Secara kimiawi, hal ini disebabkan karena bahan pewarna tersebut bisa mengubah nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) dalam air.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kun Lestari WF, Rini Purwani Hajari dan Hendri Supranto dari Balai Besar Industri Kerajinan Batik, Yogyakarta, bahan pewarna indigosol memunyai nilai BOD5 3.053 miligram per liter dan COD 10.230 miligram per liter. Sementara itu, nilai BOD5 naptol mencapai 5.411 miligram per liter, dan COD 19.921 miligram per liter. BOD5 sendiri adalah jumlah oksigen yang diperlukan selama lima hari oleh organisme dalam proses degradasi, sedangkan COD merupakan kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air oleh bakteri.

Selain itu limbah zat kimia pewarna batik bisa membuat air sungai menjadi kotor dan tercemar. Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh perajin batik adalah risiko terkena kanker kulit. Akibatnya, kulit tangan yang bersinggungan dengan pewarna kimia berbahaya seperti Naptol yang lazim digunakan dalam industri batik, yang termasuk dalam kategori B3 (bahan beracun berbahaya) ini dapat memacu kanker kulit.

Menanggapi ancaman yang besar terhadap manusia dan lingkungan Edia Rahayuningsih, dosen Jurusan Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, melakukan penelitian panjang sebelum akhinya menemukan pewarna alami untuk batik dengan menggunakan tanaman Indigofera, sebagai bahan pewarna pengganti warna biru pada Naptol.   “Di Indonesia meski bahan naptol telah dilarang digunakan sejak 1996, para perajin batik masih saja menggunakan pewarna tersebut lantaran murah, praktis, dan lebih cerah,” kata Edia, kepada Mongabay Indonesia.

Hasil penelitiannya menunjukkan marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru pada pewarna non-alami. Zat warna indigofera berupa serbuk diberi nama Gama Blue ND (Gadjah Mada Blue Natural Dye). “Selain penggunaannya praktis, zat warna yang dihasilkan tanaman indigofera lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan zat warna yang diproduksi dengan cara tradisional,” jelas Edia.

Warna merah yang dihasilkan dari pewarna alami, memang tidak secerah warna sintetis, namun jauh lebih aman untuk lingkungan. Foto: Tommy Apriando

Selain itu, sebagai ketua dari riset tersebut, Edia menambahkan, kadar warna biru dari serbuk Indigo memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa kadarnya hanya 15 persen. Oleh karenanya, untuk menghasilkan warna dengan kecerahan sama pewarna indigofera dari proses tradisional memerlukan 30 sampai 40 kali pencelupan, dengan proses yang dikembangkan Edia, hanya memerlukan 3 sampai 6 kali pencelupan.

“Para perajin batik, lebih mengutamakan murah dan efisien daripada mempertimbangkan faktor lingkungan dan kerumitan,” ujarnya.

Dari 250 kilogram daun basah yang diproses, hanya diperoleh 1 kilogram serbuk warna atau 0,4 persen. Sehingga, sudah pasti harga pewarna alami menjadi tinggi atau berkisar 750 ribu  hingga 800 ribu rupiah per kilogramnya.

Keuntungan para perajin lebih sedikit jika harus menggunakan pewarna dari tanaman indigofera itu. Berbeda halnya jika mereka menggunakan pewarna naptol yang harganya hanya sekitar 50 ribu rupiah per kilogram. Kalau dilihat dari segi harga, bahan pewarna alami tidak dapat bersaing. Namun, jika dibandingkan dari sisi kualitas, warna alami indigo lebih lembut dan memiliki pamor yang indah, serta yang jelas ramah lingkungan dan tidak karsinogen. “Hasil pewarnaan bahan sintetis lebih tajam, berbeda halnya dengan warna alami yang terlihat lembut,” kata Edia.

Selain itu, diperlukan banyak pelatihan pembuatan pewarna alami dari daun, bunga, akar dari jambu biji, jati, nangka, dan bahan-bahan lainnya. “Batik dengan pewarna alami lebih disukai konsumen karena warnanya yang indah dan ramah lingkungan. Nilai ekonomisnya meningkat, karena batik ini merupakan karya seni, tidak sekadar hasil produksi industri,” kata Dedi.

Dulu mungkin pemerintah ingin melarang naptol, tetapi belum bisa dilakukan karena belum ada pewarna alternatif pengganti naptol. Tetapi tidak demikian hal nya sekarang “Mungkin pemerintah perlu mengeluarkan regulasi untuk melarang naptol dan lebih mensosialiasikan penggunaan pewarna alami,” tutup Edia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,