, , ,

Konflik Agraria 2012, Ratusan Petani Ditahan dan 25 Tertembak

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam tiga tahun konflik agraria terus meningkat. Tahun ini, terjadi 198 kasus, dengan areal konflik 963.411 hektar, melibatkan 141.915 keluarga. Angka ini, melesat dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik.

Idham Arsyad Sekretaris Jenderal KPA dalam laporan akhir tahun, mengatakan, catatan kriminalisasi dan kekerasan petani sepanjang tahun ini, 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 tertembak, dan tercatat tiga orang tewas.

Dari 198 kasus ini, katanya, sekitar 90 kasus di sektor perkebunan (45%); 60 sektor pembangunan infrastruktur (30%); 21 sektor pertambangan (11%); 20 sektor kehutanan (4%). Lalu, lima sektor pertanian tambak atau pesisir (3%) dan dua sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 %).

Konflik-konflik ini, tersebar di 29 provinsi. Terbanyak di Jawa Timur 24 kasus dan Sumatera Utara 21 kasus. “Disusul, Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan masing-masing 13 kasus, Riau dan Jambi masing-masing 11 kasus, sisanya tersebar di provinsi lain di Indonesia,” katanya di Jakarta, Jumat(28/12/12).

Sementara itu, sejak 2004-2012, sepanjang pemerintahan SBY terjadi 618 konflik agraria di seluruh Indonesia, dengan areal 2.399.314,49 hektar. “Ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan,” ujar dia.

Keadaan ini, menjadi cerminan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik maupun sengketa agraria. Konflik ini, kata Idham, melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat yang mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, dan 63 luka serius akibat peluru aparat. “Korban meninggal 44 orang di wilayah-wilayah konflik itu selama periode 2004 – 2012.”

Menurut dia, konflik era SBY terus meningkat karena reforma agraria baru sebatas buku dan iklan kampanye.  “Tahun 2007, pemerintahan ini pernah berjanji reforma agraria lewat program pembaruan agraria nasional (PPAN). Faktanya, sampai sekarang belum memenuhi janji itu sebagaimana dimandatkan konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria 1960.”

Pengamatan KPA, persoalan pelik agraria di Indonesia karena tumpang tindih UU berkaitan agraria dari pertanahan, hutan, tambang, perkebunan, mineral batu bara dan migas. UU ini, tidak mengacu kepada konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960.  “Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan di bidang agraria. Ini mengakibatkan tanah-tanah yang ditempati masyarakat, khusus masyarakat kecil di pedesaan dan pedalaman, jadi tidak terlindungi, rentan aksi-aksi perampasan tanah yang dilegalkan atas nama pembangunan dan investasi,” ucap Idham. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan akses dan hak masyarakat terhadap tanah dan sumber-sumber agraria lain yang tersedia menjadi tertutup.

Parahnya, persoalan ini, alih-alih diselesaikan pemerintah dan DPR. Justru, dibuat berbagai regulasi yang malah berpotensi kuat menambah rumit tumpang-tindih perundang-undangan di negeri ini. “Seperti perumusan RUU Pertanahan dan RUU Hak-hak Atas Tanah.”

Tahun 2012, DPR mengesahkan operasionalisasi UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang diusulkan pemerintah. Lalu, dibuat Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lewat dua kebijakan ini, pembebasan tanah dalam skala luas untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan investasi makin mulus dan cepat terlaksana. “Tidak mengherankan jika konflik agraria dalam proses pengadaan tanah untuk infrastruktur meningkat drastis sepanjang tahun ini,” katanya.

Tak hanya itu, sepanjang 2012 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal dalam UU sektoral yang dianggap bertentangan dengan konstitusi seperti UU Kehutanan dan UU Migas. Tahun ini pula, terdapat kebijakan pertanahan cukup menarik perhatian, yakni pergantian Kepala BPN, dari Joyo Winoto kepada mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Sejak awal, KPA ragu terhadap kapasitas dan komitmen Kepala BPN baru dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pelik agraria. “Keragauan ini terbukti. Karena sampai sekarang BPN makin menjauh dari usaha sungguh-sungguh menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat kecil dan penyelesaian konflik pertanahan.”

Selain itu, pelaksanaan PP No.11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang sempat diharapkan menjadi pemicu redistribusi tanah-tanah yang banyak diterlantarkan perusahaan-perusahaan berjalan bak siput. Sampai saat ini, dari 4.8 juta hektar tanah yang diindikasikan terlantar oleh BPN, baru 37.224 hektar ditetapkan sebagai tanah terlantar. “Belum sejengkal pun tanah-tanah itu diredistribusikan kepada rakyat melalui skema PP Tanah Terlantar ini.” Belum lagi,  penertiban hak guna usaha (HGU) perusahaan-perusahaan perkebunan baik swasta atau BUMN yang bermasalah dan diterlantarkan tetap tak tersentuh PP ini.

Farida, petani Ogan Ilir yang berkonflik dengan PTPN IV Unit Cinta Manis, menunjukkan proyektil peluru. Dia terkena tembak di pundak kanan. Foto: Sapariah Saturi

Konflik  dan Agraria

Begitu banyak kekeliruan dalam pemberian izin, konsesi dan hak atas tanah kepada perusahaan, dan menimbulkan konflik agraria, tetapi pemerintah seakan sulit merevisi meskipun secara hukum mereka sangat berwenang melakukan. Mengapa? “Ini bukan semata-mata karena alasan memberikan kepastian hukum dalam investasi, apalagi soal ketakutan akan digugat balik perusahaan. Kenyataan ini mengindikasikan kuat selama ini pemberian izin dan konsesi telah berjalinan erat dengan perilaku birokrat dan penguasa politik yang korup,” kata Idham.

Dia mencontohkan, penangkapan Bupati Buol karena terbukti menerima suap dan pengusaha Hartati Murdaya yang ditahan KPK. Hartati didakwa menyuap dalam pengurusan rekomendasi HGU perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. “Fakta ini fenomena gunung es. Bahwa selama ini penguasa begitu mudah memberikan tanah-tanah dalam skala begitu luas kepada pengusaha.”

Keadaan ini, seharusnya mendorong KPK, kepolisian dan kejaksaan mulai berkomitmen menjalankan reforma agraria. Caranya, dengan meneliti sungguh-sungguh wilayah-wilayah yang selama ini dilaporkan mengalami konflik agraria dan mengaitkan dengan kejahatan korupsi. Terlebih, survei integritas KPK tahun 2012 memperlihatkan Kementerian Kehutanan dan BPN dalam posisi paling buruk.

Untuk itu, diharapkan, di sisa dua tahun pemerintahan konflik agraria bise selesai dan mempercepat realisasi redistribusi tanah-tanah terlantar kepada rakyat.  KPA pun merekomendasikan beberapa hal.  Pertama, jika sungguh-sungguh ingin mengakhiri konflik agraria selama ini, Presiden SBY harus dapat mengakhiri ego sektoral. Caranya, dengan memanggil dan mengumpulkan semua kementerian serta lembaga pemerintahan terkait konflik agraria seperti Kepala BPN, Kemenhut, Kemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemendagri, Kementerian BUMN.

Kedua, Presiden mengeluarkan Perpres untuk membentuk unit atau kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Unit ini bertugas mengkoordinir kementerian terkait penyelesaian konflik agraria di semua sektor.

Ketiga, lembaga ini menerima laporan pengaduan dan mengambil keputusan penyelesaian konflik agraria, bersifat mengikat semua pihak, dengan prinsip pemulihan dan keadilan bagi seluruh pihak, khusus para korban konflik.

Petani Jambi yang menuntut pengeluaran lahan dari wilayah konsesi perusahaan. Kini, mereka aksi tenda di depan Kementerian Kehutanan di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Pengelolaan SDA Buruk

Tak hanya KPA, ICW, WWF, TII dan Kehati, pun menilai, sampai penghujung 2012, kebijakan pemerintah terhadap tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup masih jauh dari memuaskan.

Natalia Soebagjo, Sekjen Transparency International Indonesia mengatakan, tata kelola SDA yang belum berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan mengakibatkan jarak antara masyarakat lokal dengan alam sekitar meningkat. Distribusi dan pemanfaatan SDA yang belum merata juga menyebabkan masyarakat, termasuk masyarakat adat menjadi penonton.

Pemerintah, menetapkan target penetapan hutan desa 300 ribu hektar dan hutan kemasyarakatan 1,2 juta hektar pada 2010-2012.  Namun, hingga November 2012 hanya 102.987 hektar hutan desa dan 187.516 hektar hutan kemasyarakatan ditetapkan. Prosedur perizinan rumit dan kurang terbuka ditengarai menjadi penyebab utama.

Survei integritas KPK menunjukkan, Kementerian Kehutanan dengan indeks integritas terendah lingkup pemerintah pusat.  “Jadi, mendesak perbaikan sistem perizinan di Kementerian Kehutanan. Keterbukaan informasi perlu ditingkatkan. Tidak cukup diterjemahkan dengan menyediakan website, tapi lebih utama bagaimana kualitas dan kuantitas informasi secara terbuka disediakan ke publik,” katanya dalam pernyataan kepada media, Kamis(27/12/12).

Dia mencontohkan, penting bagi Kemenhut, menyatakan terbuka bagaimana proses perencanaan manajemen kehutanan di pusat. “Baik rencana kerja tahunan yang terkordinasi dengan pengelolaan anggaran, publikasi penggunaan bahan baku untuk kebutuhan industri pulp dan kertas, dan informasi penting lain.”

Efransjah, CEO WWF Indonesia menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 yang menegaskan proses pengukuhan harus membangkitkan sense of crisis kawasan hutan Indonesia. Terlebih baru sekitar 12 persen penetapan kawasan hutan Indonesia.“Kemantapan tatabatas kawasan hutan prasyarat mendasar kelestarian. Karena itu, upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan yang diinisiasi KPK, UKP4, Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, dan berbagai kementerian atau lembaga negara terkait perlu didukung.”

Deforestasi, memang mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Namun, deforestasi selama ini telah mengubah signifikan hutan produksi. “Hingga kawasan konservasi dan hutan alam yang tersisa menjadi benteng terakhir yang perlu diselamatkan.”

Dia menegaskan, perlunya pemantapan tatabatas kawasan hutan dan, moratorium pemberian izin baru mutlak diteruskan. Selain itu, pengelolaan sumberdaya alam hayati, baik di darat mau pun di laut tidak mungkin monopoli pemerintah. Untuk itu, keterlibatan berbagai pihak, terutama masyarakat setempat dan masyarakat adat  maupun civil society organisation (CSO) sangat penting.

MS Sembiring, Direktur Kehati, mengatakan, pemerintah dan komunitas donor perlu senantiasa memberikan dukungan terhadap CSO. “CSO sangat signifikan mewarnai diskursus good governance dan clean government sektor SDA.”

2013 Krusial

Tahun 2013 akan menjadi tahun krusial bagi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia. Setidaknya 110 kepala daerah akan berganti pada 2013. Selain itu, tahun depan akan menjadi tahun konsolidasi menuju Pemilu 2014.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, secara empirik, setahun menjelang hingga setahun setelah pemilihan kepala daerah akan meningkatkan frekuensi penerbitan izin konversi hutan. “Ditambahkan konsolidasi partai politik menjelang pemilu 2014, korupsi sektor sumberdaya alam khusus perizinan pada 2013 ditengarai meningkat tajam,” katanya.

Menurut dia, terbukti korupsi memiliki korelasi dengan deforestasi. Karena itu, memberantas korupsi sektor kehutanan sekaligus menjadi upaya mengurangi deforestasi di Indonesia.

Lembaga-lembaga ini menilai, sampai 2012, menunjukkan praktik monopoli dalam penguasaan SDA oleh kepentingan tertentu hingga mengakibatkan konflik agraria tinggi, seperti di Pulau Padang (Riau), Mesuji (Lampung), Cinta Manis (Sumsel), dan lain-lain. Kebijakan pro kapital (corporated-based) terbukti menimbulkan kerusakan SDA, kehilangan pendapatan negara tinggi bahkan memicu konflik baik vertikal maupun horisontal.  Untuk itu, tahun depan, pemerintah harus mengubah paradigma pengelolaan SDA menjadi lebih berkelanjutan, transparan, dan pro-rakyat (community-based).

Eksavator terlihat membuat kanal di hutan lahan gambut dalam konsesi PT Asia Tani Persada, penyuplai PT APP. Padahal, Indonesia tengah menjalankan aturan moratorium hutan dan gambut. Foto: Greenpeace

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,