, ,

Dari Penghancuran Hutan Riau sampai Pengekangan Kebebasan Pers di Aceh

Di Riau, pada 2009-2012 kehilangan hutan alam 0,5 juta hektar, dengan laju deforestasi 188 ribu hektar per tahun. Di Aceh, tak hanya hutan hancur, wartawan yang meliput illegal logging pun mengalami kekerasan.

Hasil kajian Jikalahari, menunjukkan, tiga tahun terakhir pada 2009-2012, Riau kehilangan hutan alam 0,5 juta hektar, dengan laju deforestasi 188 ribu hektar per tahun. Kini, sisa hutan alam Riau hanya 2,005 juta hektar atau 22,5 persen dari luas daratan.

Deforestasi tiga tahun terakhir, lebih besar dari laju tahun 2005-2007 sebesar 160 ribu hektar per tahun. Angka ini, memperlihatkan tidak berkurangnya deforestasi  dan degradasi secara signifikan. “Bahkan, meningkat tajam meskipun ada kebijakan moratorium,” kata kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari dalam siaran pers kepada media, Sabtu(29/12/12).

Catatan ini menerangkan, penghancur hutan alam terbesar di Riau oleh korporasi atau perusahaan hutan tanaman industri (HTI).  “Itu lantaran pembangunan HTI di Riau tidak mengindahkan prinsip pengelolaan hutan lestari.”  Sebab, perusahaan tidak menjalankan praktik bisnis benar sesuai standar hak asasi manusia (HAM). Sejumlah legalitas korporasi bermasalah, berkonflik dengan warga dan terjadi kerusakan serta pencemaran lingkungan. Hutan alam itu, untuk bahan baku industri pulp and paper terbesar di Asia Tenggara, APP dan APRIL.

Menurut Muslim, korporasi, dibiarkan merusak citra hukum Indonesia dengan melakukan serangkaian kejahatan sistematis maha dahsyat, dari pelanggaran hukum administratiif, kejahatan kehutanan, korupsi, hingga dugaan pencucian uang. “Praktik pembiaran ini terjadi 2008 hingga jelang tutup akhir tahun.  Sepanjang 2012,  Jikalahari merekam kasus kejahatan korporasi dan konflik korporasi dengan rakyat.”

Konflik korporasi dengan rakyat, seperti satu warga meninggal di kanal PT Suntara Gaja Pati (PT APP) tidak ditindaklanjuti penegak hukum, PT RAPP (APRIL) merusak 70 sepeda motor, melukai 15 warga di Gunung Sahilan. Polisi, tak satupun menetapkan karyawan korporasi sebagai tersangka. PT Sumatera Riang Lestari (APRIL) juga menebang hutan alam dan berkonflik dengan masyarakat, di Pulau Padang, rakyat menolak kehadiran PT RAPP (APRIL) dan rakyat menemukan PT RAPP melanggar SK Menteri Kehutanan (Menhut). Menhut membiarkan saja.

Hasil riset Jikalahari 10 tahun terakhir, menemukan persoalan illegal logging dan korupsi kehutanan terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) tidak kunjung tuntas, tumpang tindih perizinan dan pengukuhan tata batas kawasan hutan belum selesai. “Intinya tata kelola hutan semrawut. Akibatnya, kejahatan kehutanan dan korupsi kehutanan muncul hingga merugikan keuangan negara, penderitaan masyarakat sekitar hutan dan merusak lingkungan hidup.”

Muslim menyimpulkan, upaya penanganan kasus kejahatan kehutanan dan perbaikan tata kelola kehutanan oleh pemerintah dirasa masih belum memperlihatkan hasil optimal. Kondisi ini disebabkan beberapa hal.  Pertama, tidak berkurangnya degradasi dan deforestasi secara signifikan. Kedua, proses penegakan hukum masih belum memiliki kemampuan memberikan efek jera kepada pelaku terutama dalang (mastermind).

Grafis: Jikalahari

Masih di pulau sama, Sumatera, hutan di Aceh juga mengalami nasib hampir sama. Walhi Aceh mencatat ada beberapa isu lingkungan menonjol tahun 2012 yaitu illegal logging, perusakan hutan, pencemaran lingkungan terutama pembakaran dan kebakaran lahan, tambang dan alih fungsi lahan.

Walhi Aceh mencatat hal baru dalam usaha menjaga lingkungan yaitu dengan masuknya beberapa kasus perusakan lingkungan ke ranah hukum. Kasus-kasus  itu antara lain, izin perkebunan ilegal di hutan gambut Rawa Tripa Nagan Raya, pidana dan perdata pembakaran lahan di hutan gambut Rawa Tripa dan pengaduan ke polisi terhadap beberapa pejabat pemerintah Aceh yang diduga melakukan tindakan melawan hukum.

TM  Zulfikar, Direktur Walhi Aceh mengatakan, akibat kerusakan lingkungan memperparah dampak bencana alam seperti banjir bandang  sekitar tiga kali di Aceh Tenggara pada 2012. Banjir pada musim hujan pun makin berat dirasakan masyarakat terutama wilayah dengan luas tutupan hutan sudah berkurang seperti Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Aceh Tamiang dan beberapa wilayah lain di Aceh.

Walhi Aceh melihat, ada upaya baik dari pemerintah Aceh merawat alam seperti Gubernur Aceh mencabut izin perkebunan PT Kalista Alam di hutan Rawa Tripa. “Namun, perlu ada kebijakan berskala lebih luas hingga memberikan dampak lebih luas juga. Misal, ada penyusunan RTRWA yang tak kunjung kelar.”

RTRWA sebagai pedoman pemanfaatan ruang (alam) di Aceh seharusnya segera diselesaikan agar pembangunan bisa jelas. “Jangan sampai terjadi pembangunan fisik di lokasi terlarang atau sebaliknya, lokasi yang harus dibangun malah tertinggal tanpa ada sentuhan dari pemerintah,” ujar Zulfikar. RTRWA ini seakan makin kusut di tengah tolak-tarik berbagai kepentingan stakeholder.

Sektor pertambangan, katanya, tetap menjadi ancaman besar bagi pelestarian lingkungan terutama kelestarian hutan Aceh yang sering disebut-sebut sebagai paru-paru dunia. “Industri ekstraktif menggiurkan ini makin banyak mengundang investor.” Pemerintah Aceh pun seperti terpancing terus mengeluarkan izin. Tercatat, hingga akhir 2012 sebanyak 145 tambang mendapatkan izin usaha mengeruk dan menghisap berbagai hasil tambang dan mineral di Aceh. Padahal, industri ini telah berpuluh tahun membuktikan ketidakberpihakan pada lingkungan dan masyarakat.

Untuk prediksi kerusakan lingkungan masa mendatang masih cukup tinggi, termasuk konflik atas praktik kerusak habis dan sedot habis  itu.  Termasuk konversi hutan dan kebijakan yang timbul atas PP Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

“Kerusakan lingkungan dan bencana ekologi akan makin mengancam wilayah aceh karena izin konsesi telah menguasai hampir separuh wilayah Aceh,” katanya. MP3EI, juga menjadikan Aceh sebagai koridor ekonomi yang akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan lingkungan dan kerusakan ekologi, termasuk perampasan tanah dan ruang-ruang hidup masyarakat Aceh.

Tahun 2013, Aceh diberikan dana  Rp28,3 triliun untuk membangun berbagai infrastruktur,  antara lain, sarana transportasi dan berbagai infrastruktur lain. Angka ini fantastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, berkisar Rp15-19 triliun. “Jika tidak dikelola secara baik dan bervisi pada tata kelola pemerintahan yang baik, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, semua akan makin mempermudah eksploitasi dan pengerukan kekayaan alam di Aceh. Ujungnya akan makin memperburuk kondisi kehidupan rakyat Aceh.”

Untuk itu, Walhi Aceh menuntut pemerintah lebih responsif lagi terhadap perlindungan lingkungan. Kebijakan, seperti moratorium logging harus diperkuat. Penanganan hutan jangan sampai kendor, apalagi hutan Leuser saat ini tidak ada yang mengawasi secara khusus pasca pembubaran Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL).

Asap masih terlihat di konsesi kebun sawit di Rawa Tripa, pada 29 September 2012. Kerusakan hutan gambut di Rawa Tripa, terus terjadi karena baru satu izin perusahaan dicabut. Foto: YEL

Bahkan aksi perusakan hutan di Aceh ini, berbuntut upaya pembunuhan kebebasan pers.  Ivo Lestari,  jurnalis di Aceh,  dihalang-langi, disekap dan kamera dirampas  saat peliputan kegiatan illegal logging di kawasan hutan Aceh Timur pada 11 Desember 2012.

Efendi Isma, juru bicara Koalisi Peduli Hutan Atjeh (KPHA) mengatakan, aksi ini bak pil pahit bagi masyarakat Aceh, dan komitmen para pihak dalam menjaga, mengelola hutan Aceh secara lestari dan berkeadilan layak disangsikan.

Dia mengatakan,  laporan Ivo ke Polda Aceh baru tahap pembuatan BAP awal. Sampai saat ini, pelapor belum dipanggil kembali untuk BAP lebih lengkap, dan kejahatan kehutanan belum terlihat upaya penegakan hukum oleh para penegak hukum di serambi Mekah ini. “Ada pembiaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat anarkis terhadap pers,” katanya, Minggu(30/12/12).

Kasus yang menimpa Ivo Lestari dilatarbelakangi indikasi illegal logging. Untuk itu, koalisi mendesak aparat kepolisian tidak menutup mata dan harus menjadikan kasus kekerasan ini menjadi pintu masuk dalam mengusut tuntas praktik illegal logging.

Aparatur negara, khusus para penegak hukum dari fakta di Aceh,  sudah seharusnya bertindak.  Namun, sampai saat ini jajaran kepolisian Aceh belum menuntaskan kasus-kasus kejahatan kehutanan. “Untuk pengusutan kasus Ivo lestari, kita mendesak transparan dan terbuka hingga tidak ada oknum-oknum yang terlindungi dan sengaja dilindungi.” “Gubernur Aceh, wajib memberi dukungan penuh dalam pengungkapan kasus ini. Gubernur harus mengevaluasi kembali izin-izin hingga tidak ada penyalahgunaan oleh oknum-oknum tertentu.”

DPRA, kata Efendi, juga harus mengawasi serius atas proses pengungkapan berbagai kasus terkait kerusakan hutan, mengatur berbagai regulasi yang mendukung serta mendesak Gubernur Aceh menyelesaikan semua permasalahan sektor kehutanan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,