Walhi Resmi Gugat Gubernur Bali Untuk Cabut Izin Kelola Hutan Mangrove

Setelah dua kali melayangkan somasi tanpa mendapat tanggapan resmi dari pihak Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada Rabu 2 Januari 2013, akhirnya resmi menggugat orang nomor satu di pulau dewata Bali itu. Gugatan didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar oleh tim pengacara yang ditunjuk Walhi, diketuai I Putu Artawan SH. Berkas gugatan diterima Panitera Muda Perkara PTUN Denpasar Ketut Oka Astawa dengan nomor pendaftaran 01/G/2013/PTUN.Dps.

“Setelah kami melakukan berbagai aksi unjuk rasa, dialog, hearing, termasuk menyampaikan dua kali somasi, kami melihat Gubernur Bali tidak ada itikad untuk mencabut keputusannya yang memberi izin pengusahaan pariwisata di kawasan hutan raya (Tahura) mangroveTahura Bali,”jelas Ketua Dewan Daerah Walhi Bali Wayan Gendo Suardana.

Walhi menuntut pencabutan izin pengelolaan hutan mangrove selama 55 tahun yang telah diberikan kepada investor swasta PT. Tirta Rahmat Bahari pada 27 Juni 2012 lalu. Alasannya, penerbitan izin tersebut telah melanggar peraturan perundangundangan serta prinsip prinsip umum pemerintahan yang baik.

Berdasarkan peta rencana tata letak areal usaha sarana pengusahaan wisata oleh PT. Tirta Rahmat Bahari, terungkap bahwa akan dibangun sejumlah fasilitas akomodasi dan sarana pariwisata yakni 75 penginapan, 5 kios, 8 rumah makan, 2 spa, 4 outbond, 2 kantor pengelolaan, 1 permainan air, 1 restoran, 1 pool, 1 gedung serba guna, 1 arena kegiatan publik, 1 camp area, gazebo, toilet, dan tempat meditasi.

Dalam berkas gugatan yang terdiri atas 55 halaman ersebut, Walhi menyatakan bahwa gubernur telah melanggar beberapa undang-undang sekaligus seperti Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-undang no. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.

“Dalam mengeluarkan keputusan hukum, gubernur tidak memperhatikan asas-asas lingkungan hidup seperti tercantum dalam  dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup. Ia tidak memperhatikan bahwa Tahura bukan sekadar kawasan wisata, tetapi juga kawasan pejaga intrusi air laut, mitigasi bencana perubahan iklim, dan banyak fungsi lainnya. Pembangunan di kawasan hutan akan secara otomatis menurunkan derajat kualitas lingkungan hidup di sana,” Gendo mengingatkan.

Dikonfirmasi terpisah, Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyambut positif upaya Walhi menggugat dirinya. “Silahkan saja. Itu kan hak masyarakat. Ya bagus kalau ke PTUN. Dengan begitu khan kita bisa uji. Itu cara yang paling elegan kalau menurut saya. Daripada ribut-ribut, berkelahi, nggak perlu lah menurut saya. Itu tidak elegan. Itu primitif,” ucap Pastika.

Dalam kesempatan itu, Pastika juga membantah bahwa pihaknya tidak merespon somasi Walhi. Meski tidak menyampaikan surat sebagai respon, sejumlah staf Pemerintah Provinsi Bali menurutnya telah mengundang pihak Walhi untuk menggali masukan terkait perizinan mangrove tersebut. “Bisa saja kok, keputusan perizinan itu salah.Karena manusia yang bikin. Saya juga manusia. Kalau memang salah harus dicabut, ya cabut. Kenapa musti ngotot. Kita nggak perlu ngotot. Emang mau nyari apa? Kita semua ingin baik, ingin Bali ini baik, ingin hutan itu lestari, ingin hutan itu berguna buat masyarakat. Masak saya mau ngerusak bali? Jaga bali setengah mati kok harus saya rusak sendiri . khan tidak mungkin,” ucap Pastika.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,