Penelitian: Pasar Satwa Jakarta Surga Perdagangan Luwak Ilegal

Pasar perdagangan satwa secara ilegal di Indonesia sangat terkenal karena menawarkan berbagai jenis pilihan satwa yang sangat luas, dan banyak sekali diantaranya dilakukan dengan melaggar hukum dan undang-undang negara ini. Selain berbagai jenis burung yang umum dijual, jenis-jenis karnivora kecil juga umum dijual sebagai hewan peliharaan, untuk dimakan dan juga memproduksi kopi luwak. Namun, sangat sedikit upaya pencegahan dan penangkapan yang dilakukan untuk menekan perdagangan ilegal satwa-satwa dilindungi ini.

Kelompok karnivora kecil ini, tak hanya dari keluarga Herpestidae (mongoose), Mephitidae (sigung), Mustelidae (berang-berang), Prionodontidae (linsang) dan Viverridae (musang), namun juga Felidae (kucing). Pada prakteknya hanya sebagian kecil keluarga karnivora kecil ini yang dilindungi oleh undang-undang. Semua spesies dalam keluarga kucing (Felidae) dilindungi undang-undang, namun dari lima famili yang ada di atas, hanya 8 dari 24 spesies yang dilindungi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, yaitu dengan sejumlah kunjungan ke pasar-pasar satwa besar di Jakarta, yaitu Pasar Kartini, Pramuka, Barito dan Jatinegara antara tanggal 10 Desmber 2010, hingga yang terakhir dilakukan tanggal 15 hingga 16 Juni 2012.

Klik untuk memperbesar tabel

Sebagian besar satwa yang dijual disini adalah jenis burung, kecuali Pasar Pramuka yang lebih banyak menjual ikan san penyu serta kura-kura. Selain keempat pasar itu, observasi juga dilakukan di pameran Flora dan Fauna pada tanggal 16 Juni 2012 silam, yang banyak dijumpai perdagangan reptil. Semua target penelitian yang ada di tempat-tempat tersebut dipamerkan secara terbuka dan dihitung serta dicatat.

Dalam kunjungan ini ditemui 47 ekor karnivora kecil yang mewakili enam spesies, 37 ekor diantaranya dijual di Pasar Jatinegara. Dari 47 ekor karnivora yang ditemui tersebut, luwak atau Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus) adalah yang terbanyak dijumpai yaitu 25 individu. Diikuti oleh Leopard Cat (Prionilurus bengalensis) tujuh ekor, Biul atau Teledu atau Javan Ferret Badger (Melogale orientalis) lima ekor.

Penelitian ini mememfokuskan pada perdagangan dua spesies yang utama, yaitu Biul atau Teledu atau Javan Ferret Badger (Melogale orientalis) dan luwak (Paradoxurus hermaphroditus).

Biul atau Teledu atau Javan Ferret Badger (Melogale orientalis) adalah spesies endemik di Jawa dan Bali. Pengamatan pertama dilakukan oleh penulis di Pasar Jatinegara pada 16 Juli 2011. Penulis juga melaporkan bahwa satwa ini diperdagangkan melalui internet antara tahun 2010 hingga 2011. Kendati tidak diizinkan dalam kunjungan kedua pada bulan Juni 2012, namun peneliti sudah pernah mengambil foto satwa ini sebelumnya.

Para pedagang mengaku, biul atau teledu Jawa ini ditangkap di Jawa (dengan lokasi yang tidak disebutkan). Namun untuk mengecek lebih lanjut juga sulit karena selama ini tidak pernah ada pencatatan satwa yang masuk maupun keluar dari Indonesia. Di pasaran, spesies ini dijual degan harga Rp 500.000 setiap ekornya.

Mengingat keterbatasan habitat dan sulitnya spesies ini dijumpai lagi di alam liar, bukan tak mungkin dalam waktu beberapa tahun mendatang satwa ini akan punah. Apalagi, habitatnya berada di pulau yang paling padat manusia di Indonesia.

Sementara itu untuk kasus luwak, spesies ini banyak ditangkapi untuk diperdagangkan menjadi penghasil biji kopi luwak yang berharga sangat mahal di pasaran. Dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) berburu dan memperdagangkan luwak dinilai sebagai ancaman terhadap keberadaan luwak.

Luwak di pasar satwa. Foto: Chris R. Shepherd/TRAFFIC Southeast Asia

Secara umum, tidak terkontrolnya pasar satwa di Jakarta adalah dampak lemahnya regulasi pemerintah. Kendati ada aturan hukum yang melindungi satwa dan mengontrol perdagangannya, namun pada prakteknya hukum ini tidak diacuhkan oleh para pedagang dan tetap menjual berbagai spesies dilindungi tanpa memperhatikan status hukum mereka.

Harga kopi luwak yang tinggi justru berdampak buruk bagi masa depan luwak itu sendiri. Tanpa pengawasan yang jelas dari asosiasi pedagang kopi luwak di Indonesia, bukan tak mungkin negara-negara di Eropa dan Amerika yang selama ini membeli luwak akan berpaling dari kopi luwak Indonesia. Sebuah mekanisme sertifikasi dan pengawasan yang reguler, nampaknya sudah harus diberlakukan oleh para pedagang kopi luwak di Indonesia terhadap perdagangan luwak di pasar satwa dan proses produksi kopi itu sendiri. Tanpa harus menunggu negara-negara asing yang menentukan standar sertifikasi kopi khas Indonesia ini akibat maraknya perdagangan luwak dan perlakuan yang buruk terhadap luwak.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,