,

Asia Pulp and Paper Perburuk Konflik Wilayah Antara Harimau & Manusia

Perusakan hutan hujan tropis dan lahan gambut di Sumatera oleh perkebunan pulp and paper telah memperburuk konflik dan perebutan wilayah antara manusia dengan harimau, dan bahkan seringkali jatah korban diantara keduanya. Hal ini diungkapkan dalam laporan terbaru yang dirilis oleh Eyes on the Forest, sebuah koalisi lembaga perlindungan lingkungan dan alam di Riau, Sumatera yang terdiri dari JIkalahari, Walhi Riau, dan WWF Indonesia.

Eyes on the Forest menerbitkan sebuah laporan berjudul SMG/APP Deforestation and Deadly Human-Tiger Conflict sebagai bagian dari kampanye mereka untuk melawan konversi hutan alam di Propinsi Riau untuk keperluan perkebunan. Dalam laporan ini mengungkap secara spesifik lima konsesi perkebunan yang beroperasi di Riau dan memasok kayu untuk Asia Pulp and Paper (APP) dan perusahaan induknya, Sinar Mas Group (SMG). Dalam laporan ini disebutkan bahwa mayoritas konflik perebutan wilayah antara harimau dan manusia yang terjadi antara tahun 1997 hingga tahun 2009 muncul di kawasan konsesi-konsesi tersebut.

Wilayah konflik antara harimau dan manusia di Kerumutan. Antara tahun 2009 hingga 2011, lokasi konflik antara manusia dan harimau banyak terjadi di Kerumutan, Riau.

“Sejumlah besar konflik yang mengakibatkan jatuhnya korban antara manusia dan harimau di propisi Riau antara tahun 1997 hingga 2009 muncul di dekat wilayah yang terjadi deforestasi yang dioperasikan oleh pemasok kayu untuk kertas untuk Asia Pulp and Paper yang berpayung di bawah Sinar Mas Group. Srtidaknya, dari sekitar 245 konflik yang terjadi, sekitar 147 atau 60% diantaranya membawa kematian bagi 27 manusia (49%), 8 ekor harimau (53% dan 14 harimau ditangkap dan dipindahkan (82%) dan terjadi di wilayah Senepis, dimana lima perusahaan pemasok kayu untuk APP/SMG beroperasi dan memusnahkan hutan sejak tahun 1997.”

Laporan ini menuding bahwa konflik ini terus berlanjut selepas tahun 2009, termasuk yang mengakibatkan tewasnya 9 orang dan tiga ekor harimau. Sementara tujuh orang lainnya mengalami luka-luka, sementara satu harimau yang ‘bermasalah’ diamankan. Harimau tersebut bernama Bima, dan kini hidup di dalam kebun binatang dibawah pengawasan Kementerian Kehutanan. Rencana APP adalah kembali melepaskan harimau tersebut ke alam liar.

“Bima akan dilepaskan ke Suaka Harimau oleh Kementerian Kehutan,” ungkap Aida Greenbury, Wakil Presiden APP untuk Keberlanjutan Lingkungan kepada Mongabay.com. “Tim Departemen Kehutanan saat ini sedang dalam proses mempelajari lokasi pelepasannya.”

Kendati demikian, Eyes on the Forest tetap mengkritik APP dal am menangani iso harimau ini. Laporan ini berargumen bahwa terlepas dari berbagai kasus cedera yang menimpa manusia di unit kerja mereka di Pulau Muda, APP tetap berlanjut untuk menebang High Conservation Value Forest (HCVF) yang berfungsi sebagai habitat kunci untuk harimau.

Seekor harimau Sumatera yang mati bulan Juli 2011 di wilayah konsesi APP yang dijalankan oleh PT Arara Abadi. Foto: WWF Indonesia

“APP sudah cukup senang dengan upaya mereka sendiri dalam menyelesaikan konflik antara harimau dan manusia dengan cara memindahkan harimau yang menyebabkan ‘masalah’ dari habitat aslinya. Namun kesulitan itu kemudian berbuntut dengan memberi hasil langsung terhadap berjalannya operasi perusahaan tersebut, yaitu terjadinya deforestasi dalam skala besar terhadap habitat harimau Sumatera. Ini adalah sebuah potret dimana sebagai perusahaan yang menjalankan ‘konservasi harimau’ ternyata menjadi sebuah alasan untuk melakukan greenwashing di lapangan.

APP menyatakan bahwa hal itu diperbolehkan atau sah dalam koridor undang-undang kehutanan Indonesia. Juni tahun lalu mereka juga merilis “Roadmap Sustainability” yang menyerukan untuk secara bertahap keluar dari penggunaan serat kayu yang bersumber dari pembersihan hutan dan lahan gambut. Tetapi kelompok-kelompok lingkungan – termasuk Eyes on the Forest – mempertanyakan rencana ini. Mereka  mencatat bahwa hal ini hanya menunda lebih lama target untuk mengakhiri konversi hutan hujan.

Sumatera sudah kehilangan 7,5 juta hektar hutan antara tahun 1990 dan 2010. Konversi minyak kelapa sawit dan pulp dan produksi kertas merupakan pendorong deforestasi terbesar di Sumatera.

Provinsi Riau menyumbang 42 persen dari hilangnya hutan di pulau, yang merupakan satu-satunya tempat di bumi di mana badak, orangutan, gajah, dan harimau dapat ditemukan hidup di habitat yang sama.

Harimau Sumatera sangat terancam saat ini akibat hilangnya habitat mereka dan tingkat perburuan satwa di Pulau Sumatera. Ini adalah spesies harimau terakhir Indonesia – harimau Jawa dan Bali diyakini telah punah selama abad ke-20.

APP adalah salah satu pabrik pulp and paper terbesar di Indonesia dan oemasok kertas ketiga terbesar di dunia. Perusahaan ini beroperasi di daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan penuh dengan konflik klaim tanah, APP banyak dikaitkan dengan berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan selama ini.

Tak heran jika dalam beberapa tahun terakhir APP menderita sejumlah pembelotan dari klien-klien kelas kakap mereka.  Dimana hal ini  telah membuat kondisi menjadi lebih sulit bagi perusahaan untuk memenuhi kewajiban utang dan meningkatkan modal untuk ekspansi. Meskipun demikian, perusahaan induk APP, yaitu Grup Sinar Mas dilaporkan berencana untuk mengembangkan sebuah pabrik pulp besar baru di wilayah Sumatera Selatan. Pembangunan pabrik dengan kapasitas raksa ini meningkatkan kekhawatiran akan semakin mendorong deforestasi lebih lanjut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,