,

Pengelolaan Hutan Gorontalo Makin Memprihatinkan

Diskusi pengelolaan hutan di Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Pengelolaan hutan dan lingkungan di Gorontalo, dinilai makin mendorong laju deforestasi. Intensitas banjir dan tanah longsor tinggi tahun lalu makin memberikan bukti nyata. Pemerintah daerah pun dinilai membuat kebijakan tak tepat. Demikian benang merah diskusi awal tahun bertajuk “Refleksi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Gorontalo”, yang digelar di tepi Pantai Botutonuo, di Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Kamis(10/1/ 2013).

Diskusi terbuka dengan konsep alam terbuka itu dihadiri mahasiswa pencinta alam, aktivis perempuan, pegiat lingkungan, dan perwakilan media di Gorontalo. Peserta aktif memberikan sumbang pemikiran mengenai fenomena lingkungan di Gorontalo. Diskusi  ini digelar oleh Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), bekerja sama dengan Mongabay Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen Kota Gorontalo.

“Lahirnya beberapa kebijakan alih fungsi hutan, baik oleh pemerintah pusat maupun didukung pemerintah daerah, seperti perkebunan sawit dan pertambangan, makin mempertegas ancaman eksistensi lingkungan dan masyarakat di sini,” kata Rahman Dako, koordinator Teluk Tomini Susclam (Sustainable Coastal Livelihoods and Management).

Menurut dia, investasi perkebunan sawit dan pertambangan emas kini menjadi primadona pemerintah daerah  di Gorontalo. Demi mengejar percepatan pertumbunan ekonomi dan pembangunan daerah, dua sektor ini seolah menjadi sinterklas. “Tahun 2012 adalah tahun sawit di Gorontalo. Seluruh kabupaten di Gorontalo dimasuki perusahaan sawit.”

Senada diungkapkan Ahmad Bahsoan, ketua Japesda Gorontalo. Menurut dia, kebijakan alih fungsi hutan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone untuk pertambangan PT Gorontalo Mineral, anak perusahaan Bumi Resources milik keluarga Bakrie, salah satu dosa besar pemerintah. “Belum lagi perkebunan sawit yang sedang “genit-genitnya” mengincar hutan Gorontalo.”

Untuk perkebunan sawit,  ucap Ahmad,  banyak masyarakat menolak.  Surat keputusan Menteri Kehutanan yang memberikan izin pelepasan kawasan kepada perusahaan sawit, menyebabkan konflik lewat penyerobotan dan perampasan tanah.

“ Contoh, di Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato Barat, Kabupaten Pohuwato. Hingga saat ini, tanah masyarakat dicaplok sepihak oleh perkebunan sawit. Ketika masyarakat melawan menuntut hak, mereka justru dihadapkan dengan moncong senjata aparat militer.”

Selain dua sektor  ini, kerusakan hutan tropis di Gorontalo, disebabkan degradasi wilayah pesisir akibat salah urus pemerintah, terutama di Kabupaten Pohuwato, Boalemo dan Gorontalo Utara. Terjadi kebijakan pengembangan usaha tambak yang salah satu mengakibatkan hilangnya 5.000 hektar konservasi hutan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang.

Rudy Adam, aktivis Japesda sekaligus panitia mengungkapkan, diskusi  ini perlu didorong sampai pada pemberian rekomendasi kepada pemerintah daerah. “Agar pengambilan kebijakan tepat dan komprehensif hingga mampu menetralisir pengembangan sektor kehutanan, pesisir dan laut, perkebunan maupun pertambangan di Gorontalo.”

Hingga kebijakan yang keluar, bisa konsisten, jelas , dan  transparan kepada masyarakat luas dengan mengedepankan nilai-nilai konservasi dan keberlanjutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,