“Kami membantu manusia. Sedih kami ini. Saya mungkin tak ketemu bapak lagi, biarkan saya bicara ya. Saya sudah usia lanjut. Jadi saya sampaikan betul-betul masalah ini, sedih masyarakat Lampung ini.” Demikian ungkapan H As Sya’ih Akib, Kepala Marga Tegamo’an, Megou Pak Tulang Bawang, Kabupaten Mesuji.
Dengan terbata dan suara terputus-putus dia menceritakan kehadirannya di Komisi IV, Senin(14/1/13). As Sya’ib berusia 78 tahun. Meskipun sudah sepuh dan tertatih, dia menguatkan diri hadir sebagai salah satu perwakilan masyarakat adat Megou Pak Tulang Bawang, siang itu.
Pada pertemuan itu, hadir pula antara lain, Wanmauli Sanggem, Ketua Lembaga Adat Megou Pak; Helmi Ratu Pengadilan selaku Kepala Marga Buay Bolan Udik; Mardi Pagaralam, Kepala Marga Suay Umpu, dan Ahmad Muhammad Noer, Kepala Marga Aji, serta beberapa perwakilan warga dan Binbin Firman dari pengurus nasional Serikat Tani Nasional. Dari Komisi IV DPR hadir antara lain, Firman Subagyo, Siswono Yudhohusodo, Adik Sukemi, Yan Siagian, Musanto, Sudin dan Ibnu Mutadjam.
Perwakilan masyarakat adat ini datang mencari keadilan. Mereka menuntut pengembalian lahan adat sekitar 10 ribuan hektar, merupakan ‘kelebihan’ dari konsesi PT Silva di Register 45 yang menggelembung dari 33.500 hektar menjadi 43.100 ribu hektar. “Register 45 itu jelas berjumlah 33.500 hektar. Bukti data komplet, bukan omongan. Tapi sekarang jadi 43.100 hektar,” katanya di Jakarta.
Dia menceritakan sejarah Megou Pak Tulang Bawang dan batasan wilayahnya yang meliputi Lampung Utara sampai Ogan Komering Ilir, Palembang, Sumatera Selatan. Dulu, kata As Sya’ib, zaman pendudukan Belanda, seluas 33.500 hektar di Register 45 itu merupakan hutan larangan. Belanda tanda tangan lewat prosedur adat pada 12 April 1940. Ada pertemuan-pertemuan dan dari 33.500 hektar, sekitar 900 hektar dikeluarkan dari hutan larangan. Hutan larangan (hutan lindung) tersisa 32.600 hektar. “Ada berita acara. Ini yang kami maksud. Di sana juga tercantum Register 45 seluas 33.500 hektar.”
Pada 7 Oktober 1991, terbit SK Menteri Kehutanan (Menhut) yang memberikan izin hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Silva Inhutani Lampung Abadi seluas 32.600 hektar, di Register 45 Sungai Buaya, Tulang Bawang. Lalu, pada 22 November 1993, Kementerian Kehutanan, lewat SK Menhut no 785, memperluas register 45 hingga 43.100 hektar. Lahan Megou Pak Tulang Bawang dari Marga Suay Ompu pun terampas. Inilah yang menjadi cikal balak konflik hinga kini.
Pada 17 Februari 1997, lahan seluas 43.100 hektar itupun menjadi ‘milik’ PT Silva Inhutani setelah mendapat izin Kemenhut. “Kami sedih mengapa pemerintah Belanda ada aturan, malah pemerintah Republik Indonesia rampas saja tanpa bicara, tidak omong, tidak runding, keluar SK. Padahal katanya pemerintah RI dari rakyat dan untuk rakyat,” ucap As Sya’ib.
Untuk itu, dia kembali menekankan, mereka datang meminta kelebihan lahan Register 45 yang telah dicaplok perusahaan. “Yang kami masalahkan lagi kelebihan itu, balikkan lagi ke masyarakat adat. Ini kami tuntut. Register 45 sudah kami berikan. Yang kami tuntut kelebihan. Bukan kawasan 33 ribu hektar. Kawasan yang selebihnya itu kami mau digusur. Kami minta tolong. Kami tak punya kekuatan. Tolong kami.”
Mereka khawatir penggusuran berlanjut. Terlebih mereka mendengar Pemerintah Mesuji mengalokasikan dana sekitar Rp7 miliar, untuk menggusur warga. Mereka khawatir konflik berdarah kembali pecah, yang menyebabkan korban jiwa. “Pada November 2011 ribuan orang digusur, mereka ditampung di balai adat. Pada 2 Januari 2012 mereka ke Jakarta, lapor Ke komnas HAM, DPR. Namun, sudah setahun lebih tak ada upaya penyelesaian konflik.”
Malah, di Lampung, muncul Megou Pak ‘baru’ pada 5 Februari 2012 yang digagas Pemerintah Lampung. Kriminalisasi figur-figur di lembaga adat lama pun terjadi, seperti Wanmauli Sanggem, Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang, ditahan lima bulan dengan dakwaan kasus penipuan. “Tapi saya tak masalah. Ini upaya-upaya melemahkan perjuangan. Saya dipenjara dituduh menipu tanpa bukti jelas,” kata Wanmauli.
“Bupati abis jabatannya, membentuk Megou Pak lagi. Megou Pak yang mana ini? Kok banyak amat. Megou Pak kami ini perpanjangan tangan seabad lalu, dengan data dan bukti. Kami ada,” ucap As Sya’ib.
As Sya’ib takut jika lembaga-lembaga adat Megou Pak ‘baru’ bermunculan terus, terjadi perang lagi. “Jangan sampai perang saudara.” Dia juga meminta kasus Mesuji di Register 45, jangan dipolitisir. “Jangan dijadikan arena politik untuk kepentingan sesaat. Kalo akan dijadikan demikian tak akan selesai-selesai (konflik ini).”
Untuk itu, dia mengharapkan penuh dan sungguh, komisi-komisi di DPR terkait tanah dan kehutanan bisa menuntaskan kasus ini. “Kami minta kelebihan 10 ribuan itu kembalikan kepada kami, dan duduk bersama, siapa yang berhak dan tidak. Jika tak ada hak.”
Wanmauli juga mengungkapkan hal senada. Mereka sudah tidak mempermasalahkan lahan adat yang sudah diserahkan ke pemerintah Belanda, lalu Indonesia, seluas 33.500 hektar. “Yang kami masalahkan itu kelebihan. Yang awal (konsesi perusahaan) 33 ribu hektar menjadi 43.100 hektar. Lahan 10 ribuan ini cikal bakal konflik di Mesuji.” Menurut dia, konflik makin panas karena ada oknum, mafia dan bermacam-macam kepentingan di sekitar itu.
Kabar pemerintah Mesuji mengalokasikan dana untuk menggusur warga sekitar Rp7 miliar, membuat dia makin bertanya-tanya dan heran. Padahal, dari investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ditemukan pelanggaran oleh PT Silva. Temuan TGPF belum ditindaklanjuti, tetapi niat penggusuran terus berlanjut. Pemerintah seakan menjadi perpanjangan tangan perusahaan.
“Kami bertanya, kemaren ada TPGF, kok malah justru ada penggusuran. Kami tak ngerti. Kami enggak pernah dipanggil, enggak pernah diajak bicara. Tiba-tiba ada statemen pemda untuk gusur. Ini kedatangan kami. Kami orang sakit cari dokter, bagaimana obati ini,” ucap Wanmauli.
Adapun kesimpulan TGPF antara lain, ada pelanggaran-pelanggaran oleh PT SIL selaku pemegang izin HPHTI di kawasan hutan produksi Register 45, ditemukan dokumen yang menyebutkan pembiayaan Tim Terpadu Perlindungan Hutan khusus di Register 45 selama ini didanai oleh PT SIL. Lalu, temuan indikasi keterlibatan Pamswakarsa yang dibiayai PT SIL dalam penanganan konflik di Register 45, akibat pemukiman masyarakat pada kawasan hutan, terjadi pengabaian hak-hak dasar masyarakat oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini hak-hak konstitusional warga negara selama belasan tahun.
Kesimpulan lain dari TGPF, konflik agraria muncul diawali ada perluasan areal produksi PT SIL dari 33.500 hektar menjadi 43.100/42.762 hektar di era Orde Baru. Atas kebijakan perluasan lahan inilah masyarakat mengklaim, pemerintah mengambil tanah adat, tanpa memahami persi sejarah kawasan hutan.
TGPF menemukan, ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus kematian Made Aste, yang perlu pendalaman oleh institusi yang berwenang (Komnas HAM). Juga ditemukan praktik jual beli lahan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengakibatkan kerugian bagi berbagai pihak dan memperkeruh konflik di wilayah Register 45, ada aktor-aktor konflik dari luar Register 45 yang memiliki motivasi memperkeruh konflik dan mendapatkan keuntungan atas konflik.
Sudin, anggota Komisi IV dari Lampung, miris dengan kasus Mesuji ini. Dia kerap protes kepada Kemenhut, tapi tak digubris. Menurut Sudin, 1993, Kemenhut melepas ‘hutan larangan’ untuk hutan produksi kepada PT Inhutani. “PT Inhutani kerja sama sama PT Silva. Sekarang saham PT Inhutani malah hilang.” “Ini sudah saya tanyakan ke Kemenhut, saham milik BUMN kok malah hilang? Kok sekarang malah PT Silva?”
Bukan itu saja, izin yang keluar untuk HTI, di lapangan malah menjadi kebun, sebagian lahan ditanam singkong, nanas.Saat ada pertemuan dengan perusahaan di Pemda Lampung, Sudin mengungkapkan masalah ini. “Mereka (perusahaan) membantah, tapi saya sudah lihat langsung lewat helikopter.”
Siswono menyesalkan konflik ini berlarut. Namun dia yakin ada jalan keluar. Dia yang mengaku sudah bertemu dengan ‘pihak’ yang bersengketa, menawarkan kepada perwakilan lembaga adat untuk membicarakan alternatif selain tuntutan 10 ribuan hektar lahan itu. “Kalo ada peluang, akan bicarakan dengan pemerintah daerah. Misal, bisa, tapi tidak 10 ribuan. Jadi kebahagiaan semua pihak, masyarakat adat dapat lahan, pemerintah tidak tercoreng.”
Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV mengatakan, dalam UU 41 tentang Kehutanan, masyarakat hukum adat masih dilindungi. “Selama masyarakat hukum adat ada, itu masih dilindungi.”
Dalam waktu dekat, Komisi IV akan melakukan kunjungan khusus ke Register 45 dalam upaya penyelesaian konflik. Konflik lahan, katanya, tak hanya terjadi di Lampung, tetapi di berbagai daerah di Indonesia. Untuk itu, dia berharap juga ada titik temu, jika bisa selesai, konflik lampung bisa menjadi model atau rujukan.