Konflik Lahan PLTU Batang: Aparat Kembali Intimidasi Warga

Polisi dan Preman kembali melakukan intimasi dengan menghalangi warga yang menolak pembanguan PLTU Bantang. Kronologis kejadiannya dipaparkan dalam rilis siaran pers LBH Semarang yang dikirim kepada Mongabay Indonesia.

Kejadian berawal ketika, Sabtu,12 Januari 2013, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bersama Greenpeace dan Warga Desa Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban melakukan pertemuan silahturahmi bersama warga yang menolak pembangunan mega proyek PLTU Batang. Pertemuan tersebut dilakukan untuk memberikan dukungan dan pendidikan hukum lingkungan terhadap warga.

Selain dilakukan pertemuan dan pendidikan hukum lingkungan juga adanya pemasangan spanduk di masing- masing desa tersebut. Pemasangan spanduk yang berisi bunyi pasal 66 Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 66 yang berbunyi : “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Ketika warga desa Karanggeneng bersama YLBHI-LBH Semarang dan Greenpeace hendak memasang spanduk tersebut,  dihalang-halangi oleh Kapolsek Tulis dan Polres Batang serta preman-preman kampung yang hendak menurunkan pemasangan tersebut. Menurut Wahyu Nandang Herawan, staf LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia mengatakan, pelarangan tersebut dengan alasan isi spanduk tersebut akan memancing  kemarahan pihak yang mendukung PLTU Batang.

Selain itu, sempat terjadi perdebatan antara warga yang didamping YLBHI-LBH Semarang dan Greenpeace akhirnya pemasangan spanduk diperbolehkan. “Setiap orang sudah dijamin haknya atas kebebasan bependapat baik lewat lisan maupun tulisan dalam pasal 28 UUD 1945, artinya siapapun tidak boleh melarangnya termasuk aparat kepolisian maupun TNI dan apalagi isinya tidak menghasut bahkan isinya mendidik warga,” kata Nandang.

Hal senada juga disampaikan Kasmir warga Karanggeneng kepada Mongabay Indonesia “Kami mempunyai hak untuk memasang spanduk sebagai wujud aspirasi kita, jadi pihak manapun tidak mempunyai hak untuk melarangnya termasuk Kapolsek Tulis maupun Polres Batang”, kata Kasmir.

Nandang menambahkan, apa yang terjadi saat ini merupakan sebuah fakta keliru dari aparat kepolisian sebagai penegak hukum. Seharusnya polisi lebih melindungi warga negaranya yang berbuat sesuatu sesuai amanah undang-undang, menegakkan HAM dengan mengizinkan pemasangan spanduk. Tetapi di Batang kepolisiannya malah terbalik, dia malah membela preman. Kepolisian seharusnya mengamankan preman-preman yang selama ini menakut-nakuti warga dan membuat tidak warga tidak nyaman dan takut, bukan malah sebaliknya.  Walaupun akhirnya spanduk tersebut dapat dipasang oleh warga Batang yang menolak PLTU Batang.

Tetapi sepeninggal LBH Semarang dan Greenpeace, pihak kepolisian lagi-lagi mendatangi warga untuk menurunkan spanduk yang berisi bunyi pasal tersebut. Masyarakat juga mempunyai hak untuk keberatan terhadap rencana usaha/kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, hal tersebut sudah diatur dalam pasal 65 ayat 3 UU 32 Tahun 2009 tentang  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Seharusnya yang kemudian dilarang oleh pihak polsek tulis dan polres Batang yaitu kehadiran para preman di desa-desa yang sangat meresahkan masyarakat,” tutup Nandang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,