Sekretariat bersama Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa yang beranggotakan 34 organisasi rakyat dan masyarakat sipil menyatakan bahwa kondisi penguasaan dan pengelolaan hutan Jawa yang didominasi oleh Perhutani telah gagal melestarikan alam dan menyejahterakan rakyat. “Sebaliknya, pengelolaan hutan Perhutani justru memunculkan dan melestarikan banyak konflik yang berujung kriminalisasi dan kemiskinan terhadap rakyat kecil,” kata Zainal Arifin, dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang kepada Mongabay Indonesia.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh LSM Arupa dan LBH Semarang, dalam kurun waktu 1998 – 2011 Perhutani telah menganiaya, mencederai, dan menembak setidak-tidaknya 108 warga desa sekitar hutan yang dianggap/diduga mencuri kayu atau merusak hutan, 34 diantaranya tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan dan 74 lainnya luka-luka. Terdapat 64 kasus penganiayaan dan penembakan. Aksi kekerasan yang melibatkan Perhutani menempati posisi teratas dalam tabulasi data konflik sektor kehutanan yang berada di Jawa. Jenis kekerasan yang dilakukan aparat Perhutani beragam mulai dari teror, penganiayaan, penyiksaan, hingga pembunuhan terhadap warga. Perhutani juga tak segan melakukan kriminalisasi terhadap warga yang dituduh mencuri kayu. “ Kekerasan-kekerasan yang dilakukan Perhutani ini tak banyak ditindaklanjuti aparat penegak hukum,” tambah Zainal.
Berdasarkan rilis yang diterima Mongabay Indonesia dijelaskan, dalam konteks terjadinya pemiskinan terhadap warga Negara, di kawasan pengelolaan Perhutani terdapat 5.617 desa dan 60%nya berada di bawah garis kemiskinan yang memerlukan akses terhadap sumber daya hutan sebagai sumber ekonomi mereka. Sedangkan dalam hal produksi, menurut Sudarsono Soedomo dan Hariadi Kartodiharjo (ahli kehutanan IPB), stok tegakan kayu jati mengalami penurunan secara persisten dari tahun 1998 hingga 2004. Penurunan stok tegakan jati terus terjadi hingga 21,0 juta m3 pada tahun 2005, menjadi 20,6 juta m3 pada tahun 2006, dan menjadi 18,9 juta m3 pada tahun 2007. Tegakan hutan Perhutani saat ini didominasi oleh tegakan muda klas umur I (0 – 10 tahun) dan II (11 – 20 tahun) yang mencapai 76%. Hal ini menunjukkan terjadinya laju pemanenan yang jauh lebih tinggi dari laju pembentukan tegakan. Situasi ini menunjukkan bahwa telah terjadi kebangkrutan perusahaan.
Dalam soal lingkungan, berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI – Jawa Madura (BPKH XI, 2003), dari kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani seluas 2.442.101 Ha, hanya 67,8% yang berpenutupan hutan dan (32,2%), hampir sepertiga wilayah kelola Perhutani, tidak berpenutupan hutan alias “Gundul”.
Selain itu, berdasarkan Position Paper Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa, April ditemukan, sepertiga lahan gundul tersebut terletak di kawasan lindung. Potensi karbon hutan rakyat di Pulau Jawa berdasarkan luasan indikatif yang didapat melalui penafsiran citra satelit yang dilakukan oleh BPKH wilayah XI Jawa dan Madura pada tahun 2009 adalah sebesar 40.724.689,17 ton.
Menurut Siti Rakhma Mary, SH, Msi dari LSM HuMA kepada Mongabay Indonesia mengatakan, selama ini insitusi pengelola hutan di Indonesia adalah Kementerian Kehutanan, tetapi di Jawa, Kementerian Kehutanan hanya mengelola sebagian kecil hutan Jawa yang berupa Taman Nasional dan Cagar Alam. “Semua pengelolaan hutan Jawa diserahkan ke Perhutani yang menguasai sekitar 2,4 juta hektar hutan di Jawa,” kata Rakhma.
Menurut Sungging Septivianto, selaku pemerhati hutan Jawa mengatakan, selama ini penguasaan hutan oleh Kementerian Kehutanan dan Perhutani ini meneruskan penguasaan hutan di Zaman kolonial Belanda. Saat ini Perhutani memperoleh mandat dari negara untuk menguasai 2,4 juta hektar lahan kawasan hutan di seluruh Pulau Jawa, dengan komposisi unit pengelolaan Jawa Tengah: 630,7 ribu ha; Jawa Timur: 1,136 juta ha; dan Jawa Barat-Banten: 659,1 ribu ha. Dengan luasan itu berarti Perhutani menguasai 85,37 % hutan di Jawa. “Luas daratan Pulau Jawa adalah 13. 210.700 hektar, sedangkan Perhutani menguasai 18% dari luas daratan (2.400 juta hektar). Dengan demikian Perhutani menguasai ruang ekologis publik di Pulau Jawa,” kata Sungging kepada Mongabay Indonesia.
Ditambahkan oleh Rakhma, logika ini sama saja dengan meneruskan kolonialisasi dibawah Perhutani. Padahal kalau ditanya, siapa yang pertama kali menghuni kawasan hutan Jawa, maka jawabannya pasti lah masyarakat lokal atau adat. Bukan Hindia Belanda. Kesalahan fatal pemerintah dalam pengelolaan hutan Jawa adalah pemerintah menyerahkan pengelolaan hutan Jawa pada Perhutani, terakhir bahkan ditetapkan berdasarkan PP No. 72 tahun 2010.
Akibatnya, terjadi monopoli pengusahaan hutan Jawa. Masyarakat sulit sekali masuk ke hutan untuk mengakses sumber daya hutan. Apalagi setelah keluarnya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Perhutani sampai sekarang tidak pernah menyetujui untuk mengeluarkan tanah-tanah masyarakat tersebut dari kawasan hutan. “Kementerian kehutanan juga tak pernah merespon tuntutan masyarakat. Menhut menganggap tak ada persoalan dalam pengelolaan hutan jawa. Perhutani dianggap sudah baik dalam mengelola hutan,” tegas Rakhma.
Perhutani punya program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dianggap sudah menyelesaikan semua persoalan hutan Jawa. Tapi, kerugian terbesar masyarakat sekitar hutan jawa adalah mereka kehilangan hak untuk mengelola hutannya sendiri. Masyarakat sulit untuk menuntut hak atas pengelolaan hutannya sendiri, apalagi hak untuk menuntut tanah. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Jawa, sebagian besar adalah masyarakat miskin. “Menanggapi tuntutan masyarakat atas hutan, Perhutani mengeluarkan PHBM, yang ternyata tak bisa menyelesaikan masalah, bahkan memunculkan masalah- masalah baru,” tambah Rakhma.
Menjawab situasi di atas, dari pertemuan kemarin, Ronald Ferdaus dari LSM Arupa kepada Mongabay mengatakan, perlu ada rekonfigurasi hutan jawa baik di tata kuasam tata kelola dan tata usaha hutan jawa. “Selain itu, sekber KPH Jawa akan mendesak DPR RI segera membentuk Pansus penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa merevisi Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960, kemudian kami juga meminta Presiden mencabut PP 72/2010 (tentang pembentukan Perhutani) dan Presiden menyerahkan pengelolaan Hutan Jawa kepada Rakyat,” tutup Ronald.