,

Dampingi Aksi Petani, Dua Aktivis Walhi Sumsel Jadi Tersangka

Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (Polda Sumsel) menetapkan tiga tersangka, dari 26 orang yang diamankan pada demo petani Ogan Ilir di Depan Mapolda, Selasa (29/1/13). Ketiga orang itu, Anwar Sadat, dan Dedek Chaniago, masing-masing direktur eksekutif dan staf Walhi Sumsel serta, Kamaludin, petani dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Desa Sunur Kabupaten Ogan Ilir.  Sedangkan, ke 23 orang yang lain sudah dibebaskan.

Humas Mapolda Sumsel AKBP R Djarod Padakova dikutip dari Sindo, Rabu(30/1/13), mengatakan, dari hasil pemeriksaan penyidik, akhirnya ditetapkan tiga tersangka.  Dedek Chaniago dan Anwar Sadat dijerat Pasal 160 KUHP karena penghasutan. Sedang Kamaludin terkena dijerat Pasal 351 KUHP karena dituduh menyerang petugas kepolisian hingga terluka.

Saat ini, ketiga tersangka sudah dipindahkan dari ruang periksa Unit IV dan V Subdit 3 Ditreskrimun Polda Sumsel ke ruang tahanan Polda Sumsel. Menurut dia, surat penahanan sudah keluar. “Penetapan tersangka sudah berdasarkan prosedur hukum berlaku, baik dari keterangan saksi korban, saksi lain dan barang-bukti di TKP.”

Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Walhi Sumsel mengatakan, Walhi tak akan tinggal diam, tim pembela akan mendampingi rekan-rekan mereka. “Kami akan bela sampai rekan-rekan kami dibebaskan.”  Guna membela Anwar Sadat dan kawan-kawan, sebanyak 24 pengacara dari Jakarta, Palembang dan Jambi siap mendampingi.

Selain lewat pembelaan hukum,  Walhi juga menggalang dukungan masyarakat luas, lewat petisi bebaskan Anwar Sadat dkk di change.org.  Sampai hari ini, penandatangan petisi sudah mendekati angka 1.000 orang.

Tak hanya itu. Kamis (31/1/13), ribuan petani dari tiga kabupaten, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir, akan aksi kembali.  Saat ini, di DPRD Sumsel, ada sekitar 600 massa dan menyusul ratusan petani dari Musi Banyuasin, sekitar 15 truk.

Hadi, juga koordinator aksi kepada Mongabay, mengatakan, demo susulan ini menuntut beberapa hal. Pertama, pembebasan Anwar Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaludin. Kedua, pecat dan copot Kapolda Sumsel dan Kapolres Ogan Ilir karena penjahat kemanusiaan dan pelanggar HAM. Ketiga, kembalikan lahan petani Desa Betung Ogan Ilir, seluas 1.200 hektra yang sudah dirampas PTPN VII Cinta Manis. Keempat, hentikan  keterlibatan polisi dan TNI dalam konflik agraria. Terakhir, setop kriminalisasi dan pembungkaman terhadap aktivis dan pejuang HAM.

Di Jakarta, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Rabu(30/1/13) mengatakan, Sumsel, salah satu daerah di Indonesia, yang penuh kekerasan aparat.  Menurut dia, bukan hal baru dalam perjuangan para aktivis dikriminalisasi.

Namun, dia curiga dengan fenomena di Indonesia, belakangan ini dengan begitu mudah aparat keamanan bertindak dan melakukan kekerasan terhadap aksi massa terutama dalam konflik agraria maupun sumber daya alam (SDA).  “Pertanyaan? Sebenarnya sedang ada apa di balik semua ini?” katanya dalam jumpa pers gabungan Walhi, KontraS, Sawit Watch, YLBHI, AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Anti Utang (KAU), Elsam, HuMa dan Agra.

Dia mempertanyakan, apakah kebrutalan aparat ini ada kaiatan dengan beberapa UU yang tengah dibahas, seperti RUU Keamanan Nasional, dan RUU Ormas. Belum lagi, saat ini masa mendekati pemilu.  Bersama KontraS, siang itu, Abetnego terbang ke Sumsel.

Abetnego juga heran, begitu banyak kekerasan aparat tanpa dasar hukum jelas.  “Apa dasar hukum Polri lakukan tindakan itu. Ini yang tak ada penjelasan.”

Tim Jakarta, hari yang sama bertemu Bareskrim Mabes Polri dan Komnas HAM. Sinung dari KontraS mengatakan, saat bertemu Bareskrim, diminta pelaku-pelaku pemukulan Sadat dan kawan-kawan  harus diusut menggunakan kasus kriminal, tidak internal. “Kalau pakai aturan internal cuma dapat teguran, yang tak ada efek jera.”  Tuntutan,  bisa kepada Bareskrim Mabes Polri,  karena memiliki kewenangan supervisi ke daerah.

Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kepada Bareskrim bisa meminta Polri mengusut operasi PTPN VII di luar HGU.

Hal lain yang perlu perhatian Mabes Polri, konflik ini bisa dimainkan manajemen. Ketika konflik, biaya operasional menjadi membengkak.  “Ini yang harus ditekankan juga pada Bareskrim untuk penyelidikan terhadap kemungkinan-kemungkinan ini.”

Aksi solidaritas Walhi Jambi, Rabu(30/1/13), protes penangkapan aktivis Walhi Sumsel dan para petani saat berdemo di Mapolda Sumsel. Foto: Walhi Jambi

Solidaritas Walhi Sumsel

Guna solidaritas bagi petani dan aktivis Walhi Sumsel yang ditangkap polisi, Rabu(30/1/13), di Jambi, sekitar 10 aktivis Walhi Jambi, Rabu (30/1), mengadakan aksi damai di Simpang Bank Indonesia, Telanaipura. Mereka mengecam tindakan aparat kepolisian terhadap petani dan aktivis.

Aktivis Walhi Jambi aksi membentangkan spanduk dukungan untuk pembebasan aktivis Walhi dan warga Sumsel yang ditahan. Dalam pernyataan sikap Walhi Jambi, menyebutkan, bebaskan seluruh aktivis dan warga Sumsel kini ditahan, kembalikan tanah rakyat yang diambil paksa PTPN VII Cinta Manis. Mereka juga meminta aparat yang melakukan kekerasan, dan pelanggaran HAM  harus ditindak tegas.

Dari Pontianak, Walhi Kalimantan Barat (Kalbar) juga mengeluarkan pernyataan sikap terkait kekerasan dan penangkapan petani dan aktivis penggiat lingkungan hidup Sumsel ini.

Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar mengatakan, perjuangan petani Indonesia dalam melindungi dan mempertahankan tanah serta wilayah kelola mereka dari perampasan dan penggunaan lain merupakan perjuangan sangat fundamental. “Ini perjuangan untuk bertahan hidup dan mengembangkan kehidupan di muka bumi ini.”

Namun, realitas di negeri ini berbeda. Para penegak hukum justru lebih berpihak kepada pemilik modal. “Dimana-mana konflik perebutan lahan atau konflik agraria selalu memposisikan masyarakat petani sebagai korban untuk dikalahkan,”  ujar dia.

Mereka yang mempertahankan tanah-tanah dianggap salah, hingga layak dipukul, ditangkap, dikriminalisasi. Bahkan, ucap Anton, tidak sedikit harus dimatikan, agar perjuangan mempertahankan tanah leluhur lemah dan mudah diambil alih.

Kasus sama menimpa perjuangan petani yang berkonflik dengan PTPN VII Cinta Manis ini. “Cara-cara kanibal ini, tidak malu masih digunakan aparat kepolisian dalam menangani konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat petani.”

Anehnya, ini terjadi di tengah koar-koar perubahan dan komitmen pemerintah RI lebih menghormati HAM dan masyarakat adat di Indonesia.  “Penanganan kasus seperti ini aib yang harus dipertanggungjawabkan.”

Di Kalbar sendiri, katanya, konflik agraria sudah menjadi persoalan utama pemerintah daerah. Untuk itu, pola penanganan dan penyelesaian harus lebih baik. Banyak kasus di luar Kalbar,  harus menjadi pelajaran pemerintah dan aparat kepolisian.

“Kami mendesak pemerintah, khusus kapolda dan jajaran lebih meningkatkan kapasitas memahami historis kepemilikan tanah di Kalbar dan konflik-konflik agraria yang terjadi.”

Kapasitas yang baik akan berkontribusi signifikan dalam mengamankan dan memediasi konflik agraria antara masyarakat petani dengan perusahaan. “Setidaknya aparat menjadi lebih obyektif dan malu berpihak kepada modal.”

Aksi solidaritas dari Walhi Jambi menyikapi penangkapan aktivis Walhi Sumsel dan para petani. Tiga dari 26 orang yang diamankan ditetapkan sebagai tersangka termasuk dua dari Walhi Sumsel. Foto: Walhi Jambi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,