, , ,

Laporan Greenpeace: Kemunafikan Pemerintah Dorong Perubahan Iklim

Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang perubahan iklim dengan berbagai proyek energi fosil yang mendapat dukungan pemerintah. 

Greenpeace Internasional pada Senin(4/2/13) merilis laporan terbaru berjudul Point of No Return, mengungkapkan, ancaman mengerikan disebabkan perencanaan global yang sistematis mendorong peningkatan emisi dari batubara, minyak, dan gas. Kemunafikan pemerintah pada proyek-proyek energi kotor inipun memicu perubahan iklim dan mengancam kehidupan jutaan umat manusia.

Ke-14 proyek besar energi kotor dan intensif karbon disorot dalam laporan ini mulai ekspansi batubara besar di Australia, China, Amerika Serikat, tak ketinggalan Indonesia. Hingga ekspansi pasir minyak di Kanada dan Rusia, dan  produksi gas baru di Laut Kaspia dan Amerika Serikat.

Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, di Jakarta, dalam rilis kepada media mengatakan, perubahan iklim karena mega proyek baru, merupakan akibat langsung kemunafikan segelintir pemerintah.

“Pemerintah mengklaim mereka ingin mencegah bencana perubahan iklim, namun hal memalukan malah terus menyetujui dan mempromosikan proyek bahan bakar fosil yang besar akan menyebabkan bencana iklim dan kehancuran,” katanya.

Analisisis dari konsultan Ecofys untuk laporan ini menunjukkan, tahun 2020, 14 proyek itu akan meningkatkan emisi CO2 sebanyak enam gigaton per tahun. Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan,  meskipun pemerintah berjanji mengurangi emisi, emisi CO2 sudah pada rekor cukup tinggi 31,6 gigaton.

Analisa Ecofys menemukan, emisi CO2 tahunan dari proyek-proyek ini akan lebih tinggi dari emisi total US dan menjebak pada bencana pemanasan global.

Bahkan World Economic Forum, dalam laporan Global Risks 2013, untuk pertemuan tahun ini di Davos, memperingatkan, dunia berada di jalur untuk suhu global meningkat 3,6 sampai 40 C, mungkin sampai enam derajat. Peningkatan ini, akan jauh di atas janji pemerintah menjaga pemanasan global di bawah kenaikan dua derajat.“Indonesia salah satu negara paling rentan sekaligus paling tidak siap dalam mengatasi ancaman bencana perubahan iklim,” ujar dia.

Berbagai dampak perubahan iklim telah terjadi dan menyebabkan kehidupan jutaan rakyat Indonesia terancam. Banjir, kekeringan,  dan cuaca ekstrem makin meningkat intensitas dalam beberapa tahun terakhir ini. “Ini menegaskan perubahan iklim bukan lagi sekadar ancaman namun sudah terjadi di Indonesia.”

Pemerintah Indonesia, seakan menyadari betapa mengerikan dampak perubahan iklim dengan berbagai pernyataan dan janji pemerintah. Presiden SBY berkomitmen mengurangi emisi karbon dari Indonesia sebesar 26 persen tahun 2020.

Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda. Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor batubara thermal terbesar di dunia, melampaui Australia. Produksi batubara dari Kalimantan akan terus digenjot dan pemerintah menargetkan akan mengekspor lebih dari 500 juta ton dalam beberapa tahun mendatang.

Rencana pemerintah Indonesia dan industri meningkatkan produksi dan total ekspor batubara, kata Arif, akan menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia seperti di Kalimantan. “Juga meremehkan komitmen Presiden SBY dalam mengurangi emisi karbon sebagai inisiatif Indonesia memerangi perubahan iklim.”

Kekacauan iklim yang akan terjadi dapat dicegah. Teknologi menghindari emisi dari ke-14 proyek ini dan menurunkan emisi global secara keseluruhan sudah tersedia saat ini. “Energi bersih dan aman yang terbarukan, disandingkan peningkatan  penerapan efisiensi energi, dapat memberikan tenaga yang diperlukan untuk menjalankan planet ini dan menghindari risiko kita mendekati bencana perubahan iklim,” ujar dia.

Pada tahun 2011, energi terbarukan memberikan lebih dari 30 persen produksi listrik global baru, naik dari sekitar lima perseb pada 2005. “Peningkatan luar biasa ini dapat berlanjut. Sejauh ini ia harapan terbaik menghindari dampak serius perubahan iklim.”

Skenario energi terbarukan global yang dikembangkan Greenpeace, Energy Revolution, menunjukkan bagaimana menyediakan tenaga dan mobilitas tanpa emisi dan kehancuran bukan cuma lebih cepat tapi lebih murah.

Skenario ini mengindikasikan, tahun 2035 energi terbarukan harus meningkat sampai 65 persen dari produksi listrik. Efisiensi energi harus meningkat guna mengurangi dampak di bumi akibat perubahan iklim dan menghindari bencana dari peningkatan suhu rata-rata global dari empat ke enam derajat Celcius.

Skenario Greenpeace, tahun 2020 energi terbarukan mampu menyediakan dua kali lebih banyak tenaga dibandingkan hasil keluaran empat proyek batubara yang disoroti dalam laporan ini. Mobil-mobil, ditambah perpindahan ke penggunaan energi lebih efisien. Juga pemakaian energi lebih cerdas dalam pembangkitan tenaga, gedung-gedung dan industri, serta dapat menghemat minyak lebih dari ketujuh proyek minyak massif yang dibahas dalam laporan ini.

“Kami kehabisan waktu mencegah bencana perubahan iklim,” kata Kumi Naidoo, Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional. Perusahaan-perusahaan mempromosikan dan pemerintah mengizinkan ancaman iklim besar. Kondisi ini, harus segera diganti dengan energi terbarukan dan menjadi bagian dari solusi untuk bencana iklim.

Laporan Point if No Return dapat diunduh disini: www.greenpeace.org/international/point-of-no-returnLaporan Ecofys dengan dan analisa dukungan untuk Point of No Return: http://www.greenpeace.org/ecofys-2013. Untuk Greenpeace Energy Revolution:  www.greenpeace.org/energyrevolution

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,