Modifikasi Cuaca Untuk Selamatkan Jakarta, Amankah Dari Dampak Lingkungan?

Curah hujan luar biasa yang menghantam ibukota Jakarta membuat pihak pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah pusat mencari cara paling ampuh untuk menekan masuknya jutaan kubik air yang menyebabkan banjir di berbagai wilayah ini. Melakukan modifikasi cuaca, atau penyemaian awan menjadi pilihan yang dilakukan oleh pemerintah DKI bersama berbagai pihak terkait, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam sebuah upaya bernama operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Proses modifikasi cuaca ini mulai dilakukan sejak 26 Januari 2013 silam dengan menebar garam dapur (natrium klorida) sebanyak 4 ton antara pukul 13.30 hingga 15.40. Setelah garam ditebarkan, hujan pun jatuh di Selat Sunda. Operasi ini akan berlangsung selama 3 bulan, mulai 25 Januari hingga 25 Maret 2013 untuk menekan curah hujan yang tinggi di DKI Jakarta dan menghindarkan terjadinya banjir besar susulan seperti yang sempat terjadi pertengahan Januari 2013 silam.

Hingga sepekan pertama selepas operasi ini dilakukan, tak kurang dari 56,8 ton garam sudah ditebarkan di langit. Upaya ini dinilai berhasil karena curah hujan yang tadinya sangat tinggi di Jakarta menjadi berkurang secara signifikan, setelah air hujan jatuh sebelum memasuki wilayah kota Jakarta.

Upaya penyemaian awan ini, bukanlah hal yang aneh. Hal ini lazim dilakukan di beberapa belahan dunia, baik untuk memancing hujan atau justru sebaliknya. Proses memodifikasi cuaca ini banyak dilakukan oleh beberapa negara untuk mengatasi curah hujan yang kurang, atau bahkan berlebihan.

Terlepas dari penilaian keberhasilan upaya ini, namun ternyata kontribusi garam dalam menghentikan hujan ini diragukan oleh seorang pakar cuaca dari Universitas Tel Aviv, Israel. Zev Levin,Kepala Fisika Atmosfer di Universitas Tel Aviv, Israel, mengatakan bahwa sulit untuk membuktikan berapa banyak hujan akan jatuh sebelum mencapai kota itu awan tidak diunggulkan.

Eksperimen untuk membuktikan efektivitas penyemaian awan, Levin mengatakan, harus dirancang dengan baik dan dilakukan berdasarkan desain statistik yang kuat dengan daerah-daerah  kontrol tertentu dan alokasi acak dalam penyemaian.

“Dalam hal ini, Indonesia tidak bisa membuktikan keberhasilan operasi penyemaian awan mereka karena mereka tidak memiliki daerah kontrol,” kata Levin. Dia menambahkan bahwa penyemaian awan di Indonesia hanya berkontribusi sangat sedikit untuk memodifikasi cuaca, karena awan tropis tidak mudah untuk memodifikasi. “Dinamika awan mendominasi proses hujan dan setiap usaha untuk memodifikasi hanya akan memainkan peran sekunder yang terbaik,” kata Levin.

Selain itu, kekhawatiran terhadap dampak dari penyemaian awan ini juga sempat mencuat karena dikhawatirkan pemberian bahan kimia ke dalam awan ini akan mempengaruhi kandungan air hujan yang jatuh ke laut. Menurut Kepala Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, sebanyak 58,8 ton bahan semai yang ditebar ke awan di atas kota Jakarta dan sekitarnya tidak akan menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Hal itu dilakukan agar hujan berkurang dan dapat mencegah banjir.

“Tidak ada efek negatif buat lingkungan karena garam yang digunakan dibandingkan dengan hujan yang jatuh dalam jutaan meter kubik tidak ada artinya,” kata Sutopo di Jakarta 3 Februari 2013 silam kepada Harian Pikiran Rakyat.

Dia menjelaskan, bahan semai yang digunakan untuk modifikasi cuaca tersebut adalah NaCl (garam dapur) yaitu garam dapur berbentuk kristal (orang bilang garam krosok) yang kemudian dihaluskan seukuran tepung terigu. “Garam inilah yang ditaburkan ke awan. Garam ini menyerap butir-butir air di awan. Lalu terjadilah hujan,” katanya.

Menurut Sutopo, sampel air hujan diambil dan dianalisis di laboratorium. Hasilnya air hujannya masih baik dan memenuhi baku mutu kelas B (dapat dikonsumsi tetapi harus dimasak). “Tidak ada pengaruhnya terhadap kesehatan, sayuran, beras, ikan laut (apalagi ikan laut karena air hujannya berasa tawar), dll,” tuturnya.

Di belahan dunia lain sendiri, upaya modifikasi cuaca lewat penyemaian awan ini sudah dilakukan sejak lama untuk berbagai tujuan. Setidaknya 24 negara sudah melakukan praktek ini. Di Moskow, penyemaian awan dilakukan menjelang parade Angkatan Udara Rusia digelar. Hal ini untuk memastikan agar cuaca cerah pada saat parade ini berjalan. Sementara Amerika Serikat pernah memanfaatkan teknologi ini di tahun 1970-an untuk memperpanjang musim hujan di Vietnam untuk mempersulit ruang gerak pasukan Viet-Cong saat itu. Mereka bahkan memodifikasi cuaca dengan menurunkan hujan deras pada tahun 1969 untuk membubarkan pesta musik Woodstock agar kaum hippie tidak berkerumun. namun upaya ini gagal setelah penonton justru semakin larut menikmati festival ini setelah hujan turun.

Terlepas dari pro kontra, penggunaan teknologi ini, nampaknya pemerintah harus mengkaji lebih jauh dampak yang akan terjadi di masa mendatang jika manusia melakukan intervensi dalam pola perubahan cuaca yang selama ini berjalan berdasar siklus alamiah. Tak hanya dampak lingkungan akibat dijatuhkannya puluhan ton garam ke udara bagi tanaman dan berbagai spesies, namun juga pola yang berubah secara tiba-tiba akibat intervensi manusia harus diwaspadai. Jakarta sudah terlalu sarat masalah untuk menerima masalah baru soal lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,