,

Temuan Tim: 242.660 Hektar Kawasan Hutan Aceh Terancam Terdegradasi

Hasil Tim Kajian Tata Ruang Aceh (Tim KTRA) menemukan usulan alih fungsi kawasan hutan yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh, mengancam kelestarian hutan di daerah ini. Dari analisis data terlihat, dalam usulan itu, sekitar 242.660 hektar kawasan hutan berpotensi terdegradasi. Lebih dari 100 ribuan hektar alih fungsi itu berada di hutan lindung.

Tim memaparkan hasil temuan itu dalam diskusi tentang tata ruang Aceh, di Kantor Transparency International Indonesia Aceh, Kamis (14/2/13), di Banda Aceh. Sekitar 242.660 hektar kawasan hutan yang terancam ini dari total usulan perubahan dari Pemerintah Aceh, seluas 341.022 hektar. Kini, RTRW sudah berada di Pusat.

Dalam laporan hasil kajian itu memperlihatkan, antara lain, hutan lindung beralih fungsi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 68.594 hektar, hutan produksi menjadi APL 44.195 hektar, dan hutan lindung menjadi hutan produksi 40.913 hektar. Lalu, hutan produksi menjadi hutan produksi konversi 34.607 hektar, hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas seluas 18.547 hektar.

Kajian itu juga memperlihatkan, kawasan-kawasan hutan, termasuk hutan lindung, cagar alam sudah ada hak guna usaha dan izin-izin konsesi, baik tambang, maupun HPH. (lihat tabel). Kondisi ini menunjukkan, RTRW perubahan terindikasi “pemutihan” terhadap kawasan hutan lindung yang  telah digunakan para pengusaha. Seharusnya, ada penegakan hukum terhadap mereka bukan malah melegalkan hutan lindung melalui usulan RTRW Pemerintah Aceh.

Lalu, ada 52 usul perubahan fungsi hutan memotong koridor satwa dengan luas 37.465 hektar, 32 perubahan fungsi hutan memotong habitat gajah seluas 61.140 hektar, memotong habitat orangutan 18.357 hektar, dan memotong habitat harimau seluas 183.083 hektar. Lalu, 89 usulan perubahan fungsi hutan dalam hutan primer, dan 19 usulan perubahan di hutan sekunder.

Efendi Isma, Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) dalam rilis kepada media mengatakan, tata ruang sebagai blue print pembangunan harus menjawab semua kebutuhan rakyat bukan semua keinginan para pihak. Untuk itu, kajian mendalam sangat diperlukan dalam menyusun RTRW  agar tak menimbulkan bencana ke depan.

Dari catatan KPHA, konsesi izin pertambangan tumbuh marak di Aceh, seperti data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh 2012 menyebutkan, dari keseluruhan luas izin usaha pertambangan (IUP) sekitar 750 ribu hektar ada 500ribu hektar dalam kawasan hutan, baik hutan produki dan hutan lindung, bukan APL.  Seharusnya, dalam eksplorasi dan eksploitasi IUP harus memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut). “Namun dalam tahun-tahun terakhir Kementerian Kehutanan belum menerbitkan IPPKH untuk IUP di Aceh. Jadi, dapat disimpulkan beberapa IUP di Aceh ilegal. Ini pun dibiarkan pemerintah.”

Dia mencontohkan, perusahaan bernama Prosperity Resources, membeberkan dalam website mereka (http://www.prosperity.net.au/?page=52) bahwa memiliki sumber daya mineral emas sebagai deposit perusahaan di Indonesia, tepatnya di Aceh Selatan, Sumatera. Perusahaan ini memiliki beberapa anak perusahaan, enam sudah memiliki izin eksplorasi dan izin produksi di Kabupaten Aceh Selatan.

Izin ini menjadi aneh karena wilayah yang disebut dalam peta di website Prosperity Resources ini setelah overlay  masuk peta usulan RTRW Aceh untuk Kabupaten Aceh Selatan.  Kawasan ini mayoritas hutan lindung yang diusulkan menjadi APL.  “Jadi ini bermakna, proses pengalihan yang terencana dan sistematis oleh ‘pihak’ tertentu guna memuluskan usaha mereka menguasai wilayah yang mengandung bahan tambang.”

Untuk itu, kata Efendi, usulan beberapa wilayah hutan menjadi APL layak diduga sebagai usaha menghindarkan perusahaan dari pengurusan IPPKH dari Kemenhut. Parahnya, bahasa politik  para birokrat Aceh menyatakan, usulan APL untuk kebutuhan rakyat karena rakyat Aceh kekurangan lahan. “Ini sangat naïf karena lahan budidaya masih banyak tersedia di sekitar pemukiman, tetapi kepemilikan sebagian besar oleh orang-orang kaya berkuasa dan pengusaha.”

Untuk itu, sudah seharusnya Pemerintah Aceh menghentikan semua kegiatan sektor pertambangan di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki izin pinjam pakai, bukannya melakukan perubahan status kawasan hutan menjadi APL.

Namun, pengakuan dari Pemerintah Aceh, jauh beda dari analisis tim. Seperti dikutip dari Kompas,  Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, Abubakar Karim membenarkan, dalam RTRW Aceh yang baru ada perubahan luasan hutan. Namun, perubahan itu hanya sekitar 29.000 hektar. Untuk lebih jelas hasil kajian bisa dilihat lewat data-data grafis dari Tim KTRA ini.

Grafis ini memperlihatkan usulan perubahan kawasan hutan dalam usulan RTRW Aceh.
Sumber: Tim KTRA
Tabel ini memperlihatkan usulan perubahan kawasan yang berpotensi menimbulkan degradasi hutan. Sumber: Tim KTRA
Sumber: Tim KTRA
Tabel ini memperlihatkan kawasan-kawasan hutan yang diusulkan diubah. Bisa terlihat, sebagian di sana, ada hutan lindung yang diusulkan jadi APL karena sudah ada HGU di dalamnya. Sumber: Tim KTRA
Tabel ini memperlihatkan izin-izin tambang sudah muncul di dalam kawasan hutan lindung dan tengah dmintakan perubahan menjadi APL oleh pemerintah Aceh. Sumber: Tim KTRA
Tabel ini menunjukkan hutan-hutan produksi yang diusulkan menjai APL dan sudah ada izin-izin pengelola kepada bermacam perusahaan, ada juga cagar alam, yang diusulkan menjadi taman wisata alam. Sumber: Tim KTRA
Dua usulan dengan kabupaten dan kota yang sama tetapi angka berbeda. Sumber: Tim KTRA
Tabel ini di kawasan hutan lindung sudah ada HPH dan diminta alih fungsi jadi APL, atau hutan produksi jadi APL. Sumber: Tim KTRA
Peta sebaran harimau dan koridor satwa yang bakal terpotong jika alih fungsi raturan ribu kawasan hutan ini terealisasi. Sumber: Tim KTRA
Peta sebaran habitat gajah dan orangutan yang akan terganggu jika usulan pelepasan kawasan hutan dalam RTRW Aceh, terwujud. Sumber: Tim KTRA
Artikel yang diterbitkan oleh
,