, ,

Gol A Gong: Memotret Isu Lingkungan Lewat Tulisan

Dari puisi, sampai novel dia menyuarakan isu-isu lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Aku tak punya sahabat. Gunung sudah meninggalkanku. Di puncaknya tak ada lagi hawa segar. Berganti neon dan lenguh birahi. Tak ada mata air, bola golf menyumbatnya. Sungai dan gunung kini kuratapi dalam bingkai. Foto atau lukisan (Bandung, Maret 1995)

Bait puisi ini menggambarkan keprihatinan seorang Gol A Gong terhadap kerusakan lingkungan yang makin marak. Dia pendiri Rumah Dunia, lahir di Purwakarta, hampir 50 tahun lalu. Pria ini selalu memasukkan isu lingkungan dalam setiap buah karyanya. Tak hanya puisi, cerpen, novel hingga catatan perjalanan ditulis dengan sangat memikat hingga lahirlah karya-karya seperti Menggenggam Dunia, Al-Bahri Aku Datang dari Lautan, hingga Balada Si Roy.  Khusus Balada Si-Roy, novel pertama kali terbit tahun 1989 itu akhirnya diangkat ke layar lebar. Film adaptasi yang bercerita tentang seorang pemuda yang senang berpetualang itu, segera diangkat ke layar lebar.

Tak hanya Balada Si-Roy. Hampir setiap karya pria bernama asli Heri Hendrayana itu, kental dengan pesan cinta lingkungan.  Mas Gong, begitu dia akrab disapa, ingin mengkampanyekan peduli lingkungan hidup dengan cara berbeda. Tak harus selalu aksi demontrasi atau penyuluhan. Dia kampanye cinta lingkungan melalui sastra. Dunia yang begitu dia cintai.

Tak hanya menulis novel, sastrawan ini juga senang perjalanan panjang dengan backpacker. Gol A Gong berkeliling nusantara dan negara lain lalu menuliskan dalam catatan perjalanan. Tentu, disisipi isu-isu lingkungan hidup yang ditemui dan diamati langsung di setiap perjalanan. Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan Gol A Gong.

Mongabay Indonesia: Apa yang menarik buat Anda saat berkeliling Indonesia?

Gol A Gong: Ketika jalan ke desa-desa yang selalu menarik perhatian saya,  adalah kayu. Orang-orang Indonesia senang menebang kayu. Jadi kelihatan ada solusi hidup yang tidak perlu berpikir. Hanya mengandalkan fisik. Itu terjadi mulai kalangan bawah hingga atas. Kalangan bawah memang dari dulu senang menebang kayu tetapi itu sesuai kebutuhan dan tidak  terlalu merusak lingkungan.  Berbeda dengan kalangan atas, yang sampai menggunduli hutan.

Mongabay Indonesia: Bagaimana Anda melihat fenomena penebangan kayu ini? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Gol A Gong: Lapangan pekerjaan seharusnya merata dan tidak menjadikan Jakarta sebagai pusat. Seharusnya ada pembagian wilayah berdasarkan karakteristik,  misal, film ada di Palembang, ada ibukota di Palangkaraya, Jakarta dijadikan pusat bisnis.  Industri di Surabaya. Jawa sebagai pusat wisata dan lumbung padi, dan lain-lain.

Mongabay Indonesia: Saat berkeliling Indonesia, daerah mana saja yang terlihat kerusakan parah?

Gol A Gong: Kalau saya naik pesawat, tampak dari atas itu, wilayah Batam-Kepulauan Riau, rusak parah.  Sebenarnya Kalimantan juga sama rusaknya. Kalau boleh jujur, hampir semua daerah di Indonesia, sudah rusak. Tak usah naik pesawat, kita jalan ke Bandung saja, jalan tol lewat jalan tol Cikampek-Purwakarta, hancur semua, Serang juga hancur. Jadi tak perlu naik pesawat, jalan-jalan lewat darat pun sebenarnya tampak terlihat jelas bukit-bukit yang sudah hancur. Beberapa waktu yang lalu saya perjalanan ke  Jawa Tengah. Di  sepanjang jalan itu terlihat jelas terjadi kerusakan. Antara Jepara-Kudus saya melewati jalan alternatif. Disitu ada satu wilayah yang kerusakan mirip Freeport. Pengerukan tanah melingkar. Sangat parah.

Mongabay Indonesia: Bagaimana Anda mengambil peran dalam kampanye kelestarian alam ini?

Gol A Gong: Saya memang tidak kompeten tentang isu lingkungan hidup. Tapi hampir di setiap tulisan saya, potret mengenai  keindahan alam, soal bahaya penebangan hutan, erosi selalu saya masukkan, meskipun tidak fokus. Biasanya dijadikan setting cerita. Puisi-puisi saya terutama yang bertemakan Banten, kuat sekali ke isu lingkungan. Puisi-puisi saya yang terkumpul dalam buku “Ode Kampung” berbicara bagaimana kota agraris dimasuki oleh industri, berdampak ke lingkungan limbah mengotori sungai, soal banjir. Jadi sebenarnya selalu ada muatan lingkungan dalam setiap karya saya.

Mongabay Indonesia: Sejak kapan menjadi travel writer?

Gol A Gong: Saya travel writer sejak SMA. Saat itu, tidak ada kosa kata itu. Disebut penulis catatan perjalanan saja. Saat itu dominan novel, terbitlah novel saya berjudul Balada si Roy, sebuah novel perjalanan. Karena menulis catatan perjalanan itu, hak penerbitan, yang menulis biasa wartawan. Biasa difasilitasi kantor. Saya rajin bepergian sambil menulis. Tulisan saya kirim ke berbagai media, ada satu atau dua kali dimuat. Puncaknya ketika saya bekerja di Gramedia.

Mongabay Indonesia: Mengapa memutuskan menjadi seorang travel writer?

Gol A Gong: Saya hanya ingin mencoba bersyukur. Saya berjalan-jalan dan menemukan hal-hal baru. Semua yang saya temui itu saya bagikan ke orang-orang melalui tulisan. Tentu saja, saya belajar bersyukur dengan cara menulis.

Mongabay Indonesia: Modal apa yang harus dimiliki oleh seorang travel writer?

Gol A Gong: Modal pertama yang harus dimiliki wawasan jurnalistik. Kita menjadi sadar kita harus kritis, tidak sekadar melihat, sekaligus menemukan. Jalan tidak sekadar jalan. Mendengar tidak sekadar mendengar,  termasuk dalam memotret isu-isu lingkungan dalam catatan perjalanan.

Mongabay Indonesia: Bagaimana memasukkan isu lingkungan dalam catatan perjalanan?

Gol A Gong: Saya pernah menulis hal ini. Biasanya sering, misal, menulis soal Sungai Gangga bersih sementara di Indonesia kotor.  Pernah menulis soal di India, kalau buang kotoran dibuatkan sungai baru, sementara di sungai ini tidak boleh. Di Indonesia, sungai-sungai bersih, dikotori. Di tempat lain, tak punya sungai, tak punya laut, mereka bikin sungai baru dan dijaga dengan baik.

Mongabay Indonesia: Menurut Anda, bagaimana cara agar pesan penulis mengenai isu lingkungan tepat sasaran?

Gol A Gong: Supaya pesan sampai, sebaiknya dikemas dengan menarik. Seperti novel Laskar pelangi karya Andrea Hirata. Saya pikir novel itu bagus  bisa memasukkan muatan isu-isu lingkungan secara halus tetapi tepat sasaran. Novel itu  menggambarkan bagaimana dampak penambangan timah secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestarian alam. Atau dalam karya-karya Ahmad Tohari, muatan lingkungan juga sangat kuat. Artinya sebetulnya penulis itu tetap berupaya memberikan kontribusi terhadap lingkungan dengan kacamata jurnalistik yang dikemas dengan gaya sastrawi. Penyampaian dengan cara yang menghibur, menarik, dan nyastra juga sebenarnya jauh lebih efektif daripada membuat berbagai penyuluhan.

Mongabay Indonesia: Selama keliling Indonesia, daerah mana yang paling memberikan kesan mendalam?

Gol A Gong: Daerah Timur selalu menarik. Nusa tenggara, Pulau Seram bahkan Papua. Terkesan alam mistis. Ada gate psikologis yang disebabkan beda kesukuan, tetapi orangnya ramah-ramah. Ini  menarik buat saya.

Mongabay Indonesia: Apa yang lihat saat mengunjungi Papua?

Gol A Gong: Di wilayah Indonesia timur, terutama di Papua ketimpangan dan ketidakadilan sangat jelas terlihat. Jadi wajar jika mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia.  Orang menganggap Papua tidak akan pernah habis. Tapi sebetulnya kehancuran sedang terjadi secara terus menerus. Mereka lebih kaya dari kita, makmur tetap hidup dalam kemiskinan yang sangat  timpang.

Mongabay Indonesia: Apa yang seharusnya dilakukan?

Gol A Gong: Pemerintah Indonesia seharusnya bisa bersikap adil. Pembangunan infrastruktur di sana sangat lamban. Sampai sekarang jalan, dan fasilitas lain sangat susah. Untuk bisa naik pesawat terbang susah. Buat yang berduit sih gampang. Seharusnya warga papua bisa menikmati pulau mereka sendiri seperti kita di Pulau Jawa.

Mongabay Indonesia: Pesan apa yang ingin disampaikan kepada pembaca Mongabay Indonesia?

Gol A Gong: Saya selalu teringat perkataan almarhum Hary Roesli. Beliau pernah mengatakan seperti ini,” Ada dua golongan yang menghancurkan Indonesia; mentang-mentang kaya, dan mentang-mentang miskin.  Mentang-mentang miskin semua dianggap haknya karena miskin: trotoar, bantaran sungai. Yang mentang-mentang kaya, dia juga merasa berhak semua, lahan hijau dibangun jadi mal, apartemen dan  lain-lain.

Jadi menurut saya, mulai lah berpikir, banjir dan bencana alam yang terjadi di setiap kota itu adalah salah kita sendiri. Jangan menyalahkan  orang lain. Semua bencana adalah salah kita, karena kita tidak bersahabat dengan alam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,