Walhi Jawa Barat (Jabar) pada 21 Januari 2013 telah melaporkan dugaan pelanggaran pidana kehutanan oleh Perum Perhutani beserta 12 perusahaan tambang galena dan bahan tambang lain di KPH Bogor. Tambang-tambang ini diduga beroperasi tanpa izin Menteri Kehutanan. Dalam proses hukum kasus ini, Walhi Jabar, meminta polisi transparan.
Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar mengatakan, Walhi Jabar meminta Polda memanggil dan memeriksa Perum Perhutani dan 12 Perusahaan untuk mempercepat proses pengadilan. Dia juga meminta Propam Polri dan Komisi Kepolisian Nasional serta publik mengawal dan memonitor upaya penegakan hukum perkara ini.
“Kami menolak praktik jual beli hukum dan meminta proses penegakan hukum obyektif dan transparan serta disebarkan kepada publik,” katanya dalam rilis kepada media, Jumat (1/3/13).
Dia menyebutkan, pada 14-15 Februari 2013, penyidik Unit I Subdit IV Tipiter Polda Jabar bersama tim advokasi Walhi Jabar penyidikan ke delapan lokasi tambang galena dan mineral lain di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga, masuk KPH Bogor.
Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan delapan perusahaan yang periksa, masih aktif beroperasi. Mereka ini PT. Lumbung Mineral Sentosa, PT. Indoloma Tunggal Perkasa, PT.Shekinah Glory, PT.Bayu Respani, PT.Makmur Sejahtera Mandiri, PT. Tunas Jaya Tamamas, PT. Marga Wisesa dan PT. Bosgco. Di sana masih ada bekas galian tambang masih dan pabrik atau tempat pengolahan tambang.
Pada 19 Februari 2013, Walhi Jabar mendapatkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) bernomor B/22/II/2013/Dit ReskrimSus an Kapolda Jabar ditandangani Direktur Kriminal Khusus Polda Jabar. Isi surat menyatakan, Polda Jabar akan meninjau ke lokasi lain, memanggil saksi-saksi terkait perkara ini. “Polisi sudah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Kejaksaan Tinggi Jabar.”
Walhi Jabar juga berdiskusi sekaligus konsultasi dengan para pakar hukum dan manajemen kehutanan, Dr Asep Warlan Yusuf dan Dr Sjarmidi. Para pakar ini menyatakan, kerjasama operasional (KSO) rehabilitasi dan reklamasi di kawasan hutan oleh Perum Perhutani dan 12 perusahaan di KPH Bogor merupakan tindak pidana kehutanan. Sebab, tidak sesuai bentuk dan nama perjanjian serta praktik pertambangan melanggar Undang-Undang No 41 Tahun 1999 karena tidak mendapatkan izin Menteri Kehutanan.
Andre Gama, Kanit Tipidter Polda Jabar ketika ditanya Mongabay, tak memberikan keterangan jelas. Dia hanya mengatakan, sudah menerima laporan Walhi Jabar dan terus menyelidiki. Ketika ditanya perkembangan kasus, dia hanya bilang,” Pokoknya penyelidikan sedang berlangsung.”
Kasus ini berawal dari KSO antara Perum Perhutani dengan 12 perusahaan itu tidak sesuai semestinya. Dalam KSO, izin untuk kegiatan reklamasi dan rehablitasi hutan di KPH Bogor. Kenyataan, aktivitas bukan reklamasi dan rehabilitasi hutan, melainkan penambangan galena secara terbuka di kawasan hutan lindung KPH Bogor.
Keduabelas perusahaan itu, PT. Indoloma, PT. Sekhekinah Glory, PT Bayu Respani, PT Mitra Sejahtera Mandiri, PT Tunas Jaya Tamamas, PT Bintang Delapan Mineral, PT Marga Wisesa Pratama, PT Bosgco, CV Tambang Jaya Indah, CV Palm Mineral Indonesia, PT Lumbung Mineral Sentosa dan Koperasi Taman Caringin II. “Penambangan galena ini merusak sekitar 99 hektar kawasan hutan dan ekosistem.”
Lokasi tambang galena berada di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, di RPH Cirangsad dan RPH Cigudeg. Hasil investigasi Walhi Jabar, menunjukkan beberapa aktivitas pertambangan masih berjalan. Terlihat ada peralatan berat seperti becko, para pekerja dan wilayah pertambangan dijaga anggota Brimob.
Investigasi Walhi Jabar bermula saat organisasi ini menerima laporan dari warga Bogor sekitar Maret 2011. Laporan ini mengatakan, ada pertambangan batu karang atau lim stone di Kelurahan Kelapa Nunggal dan Nambo.
Berawal dari laporan ini, Juni 2011 Walhi Jabar terus mengembangkan penelusuran. Hasilnya, didapat berbagai dokumen arsip yang antara lain berisi berkas – berkas surat perjanjian KSO dengan 12 pengusaha tambang di kawasan Bogor itu.
“Dari hasil investigasi, menurut beberapa keterangan dari warga sekitar maupun dari seorang penjaga bahwa mereka masih disitu karena masa kontrak kerjasama dengan Perhutani baru berakhir 2012, namun hingga saat ini masih beroperasi,” ucap Dadan.
Dalam surat KSO itu ditulis, RPH Cigudeg dan Cirangsad merupakan kawasan hutan tidak produktif hingga dibuat kerjasama mengatasnamakan program rehabilitasi dan reklamasi melalui mekanisme KSO.
“Setelah kami survi ke lapangan ternyata kedua RPH merupakan kawasan hutan heterogen dan lindung. Bukan kawasan hutan produksi homogen sebagaimana tertulis dalam surat KSO. Dengan kata lain Perum Perhutani manipulasi surat KSO.”
Seharusnya, perjanjian kerjasama untuk rehabilitasi dan reklamasi, ternyata untuk pengusahaan pertambangan didalam kawasan hutan Negara yang berfungsi lindung.
Sebelum melaporkan Perhutani dan 12 perusahaan itu, Walhi Jabar telah melayangkan dua surat somasi kepada Perum Perhutani. Pertama, 11 Oktober 2012 meminta pertemuan membahas permasalahan namun tidak mendapat tanggapan. Surat somasi kedua dilayangkan 7 November 2012.
Setelah dua kali surat somasi, 9 November 2012 ada pertemuan dengan Perum perhutani di kantor Walhi Jabar. Hasil pertemuan itu, Perhutani menjanjikan memberikan berbagai data terkait kegiatan usaha tambang di kawasan hutan Bogor itu seperti dokumen Amdal dan data resmi bahwa lokasi penambangan hutan produksi. Namun, Perhutani tidak bisa memberikan data-data yang dijanjikan. Pada, 13 November 2012, Walhi Jabar melayangkan surat kepada Perhutani meminta informasi kelengkapan data KSO. Namun tak dipenuhi.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Walhi Jabar melaporkan Perhutani dan 12 perusahaan tambang ke Polda Jabar. “Kami mendesak Kementrian Lingkungan Hidup audit lingkungan di lokasi pertambangan galena.”