Nyaris empat tahun silam, 9 November 2009, spanduk merah ukuran raksasa bertuliskan “Obama You Can Stop This” dibentangkan saat puluhan aktivis Greenpeace melakukan aksi damai menduduki ekskavator dan merantai diri pada sejumlah alat berat menentang perusakan hutan yang dilakukan RAPP di Teluk Meranti dan Teluk Binjai, Semenanjung Kampar, Riau. Dalam hitungan jam, konfrontasi damai ini menyebar luas di media-media nasional dan luar negeri dan bertahan beberapa hari. RAPP berang. Puluhan polisi dikerahkan. Warga terbelah, ada yang menolak dan menerima kehadiran Greenpeace. Dampak lanjutan, perusahaan kertas raksasa global UPM-Kymmene asal Finlandia memutuskan kontrak dengan APRIL, perusahaan induk RAPP. Di dalam negeri, menteri kehutanan sempat menghentikan sementara operasi RAPP.
Kini, hampir empat tahun sudah berlalu. Mongabay Indonesia ingin melihat lebih dekat bagaimana kehidupan masyarakat setelah aksi besar-besaran tersebut. Apakah masyarakat semakin sejahtera setelah perusahaan akhirnya masuk dan mengganti hutan alam mereka dengan tanaman monokultur akasia atau sebaliknya mereka menyesal.
Suasana Desa Teluk Meranti, Pelalawan, Riau akhir Januari lalu tidak jauh beda dengan tahun 2009. Jalanan masih banyak yang rusak. Jembatan yang melewati parit-parit di desa masih seadanya. Yang mencolok dan masih baru hanyalah jalanan kecil yang disemenisasi dan ternyata dibangun oleh program pemerintah pusat.
Mahidin (59), warga Teluk Meranti kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Sesekali ia menjadi nelayan atau buruh di kebun milik orang lain. Sebenarnya Mahidin punya sawah kurang dari dua hektar. Namun sejak PT RAPP menghabisi hutan seberang desanya, sawah itu tak lagi bernilai ekonomi.
Sawah itu kini tak mudah untuk dijangkau. Meski hanya 400 meter dari bibir Sungai Kampar. Hamparan ilalang setinggi 3 meter telah menutup ratusan hektar petak sawah masyarakat Teluk Meranti di Semenanjung Kampar dan menjadi semak belukar. Pondok-pondok kayu tempat mereka menjaga padi dari hama burung pipit dan babi kini sudah hancur tak terpakai.
“Terakhir, Oktober lalu dah awak bersihkan semak-semak untuk ditanami padi. Tapi melihat kawan-kawan lain ndak ada yang nanam, tak jadi. Kalau semuanya berladang, kan hama babi dan tikus akan terbagi-bagi. Kalau sendiri aja ndak bisa,” ujar Mahidin kepada Mongabay akhir Januari.
Mahidin adalah satu dari ratusan petani Desa Teluk Meranti dan Teluk Binjai yang merasakan dampak pahit operasi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang telah menghancurkan hutan gambut Semenanjung Kampar sejak 2009 dan hanya menyisakan ratusan hektar lahan sawah warga yang kini tak lagi bernilai ekonomis. Pembukaan hutan dan menggantinya dengan pohon akasia untuk pabrik kertas, telah mendorong satwa seperti babi semakin sering ke ladang dan sawah masyarakat karena sumber makanan di dalam hutan telah hilang.
Terakhir, bapak empat orang anak ini memanen padi tahun 2011 namun hanya menghasilkan 15 kaleng. Padahal sebelum hutan hancur, sedikitnya padi yang dipanen mencapai 150-200 kaleng. Ukuran satu kaleng sama dengan 15 kg gabah atau tujuh kg beras. Begitu juga kondisi perkebunan jagung. Dulu hasilnya bisa mencapai 3 ton per hektar per tahun.
Bukannya tanpa akal. Mahidin bersama petani sempat menyewa alat penyetrum yang biayanya 500 ribu per bulan untuk mengusir serangan babi. Ditambah harus bermalam di pondok. Tapi tetap saja hasilnya nihil.
Asa memanen padi sebagai sumber utama ekonomi keluarga pupus sudah. Petani pun terpaksa membeli beras untuk makan sehari-hari. Hilangnya mata pencaharian sebagai petani adalah lembaran pahit kehidupan Mahidin dan sebagian warga Teluk Meranti sejak itu.
Perubahan hidup keluarga Mahidin diawali ketika kementrian kehutanan mengeluarkan SK 327 tahun 2009 tentang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan tanaman industri kepada PT RAPP yang mengkonversi hutan gambut Semenanjung Kampar menjadi kebun akasia untuk bahan baku kertas.
Dalam surat keputusan tersebut, PT RAPP mendapat izin perluasan sebesar 115.025 hektar di empat kabupaten di Riau. Luas itu termasuk izin konversi hutan alam di Semenanjung Kampar seluas 76.919 hektar. Sebenarnya, izin menghancurkan hutan Semenanjung Kampar di daerah Teluk Binjai dan Teluk Meranti ini adalah perluasan kedua dari izin yang didapat sebelumnya.
“Semenjak masuk PT inilah. Malam diam di sini terus. Berapa bulan kita berladang, segitulah (lamanya) kita jaga (di ladang). Kesal. Karena biasanya kita tak beli beras,” ujarnya lirih.
Ancaman hilangnya sumber kehidupan seperti yang dialami oleh Mahidin sebenarnya sudah diperkirakan sejumlah pihak terutama LSM di Riau termasuk Greenpeace. Bukan hanya kehancuran masa depan masyarakat belasan ribu masyarakat teluk meranti dan sekitarnya saja, dalam pernyataan Greenpeace waktu itu, di dalam gambut Semenanjung Kampar seluas 683.839,81 hektar itu memiliki kandungan karbon dua miliar ton karbon yang jika dirusak dan lepas ke udara akan membentuk efek gas rumah kaca yang ini akan mendorong pemanasan global ke arah mengkhawatirkan.
Data tersebut diperkuat Jaringan kerja penyelamat hutan Riau (Jikalahari) yang menyebut rata-rata kedalaman gambut Semenanjung Kampar mencapai 3 meter bahkan dari hasil kajian lapangan, ada kubah gambut yang dalamnya mencapai belasan meter dan merupakan kawasan lindung gambut. Ini belum termasuk dampak hilangnya habitat bagi satwa dilindungi.
Berubahnya kemakmuran menjadi malapetaka juga dirasakan Jasri (40), warga Teluk Meranti. Apa yang dulu dikhawatirkannya atas dampak penghancuran hutan kini telah terjadi. Pembuatan kanal-kanal gambut oleh perusahaan telah menyebabkan banjir ketika air pasang semakin tinggi di saat musim hujan. Sementara itu tingkat keasaman gambut yang tinggi, mengalir deras ke sungai dan mempengaruhi jumlah tangkapan ikan.
“Yang dulunya belum pernah air pasang naik ke dalam rumah awak. Kini lah tanggolam. Inilah pertama kali pas Muharam (November) lalu banjir pasang paling tinggi selama awak hidup. Istilahnya bertambah kerja kami,” kata Jasri.
Apa yang dialami warga saat ini jauh berbeda dengan teori yang digadang-gadangkan para akademisi waktu itu yang menyatakan bahwa pengelolaan gambut yang baik oleh RAPP akan mengurangi dampak kerusakan hutan. Bahkan model pengelolaan gambut ini diiklankan di halaman satu media-media lokal tahun 2010 lalu.
Bukan saja kerusakan lingkungan, masuknya perusahaan juga memecah belah hubungan kekerabatan antara kelompok pro dan kontra perusahaan. Jasri yang bersanak saudara mengalami hubungan tak harmonis di antara mereka. Kini empat tahun sudah berlalu hubungan kekerabatan dengan saudaranya sudah berangsur membaik.
“Namun hati tetap beda juga. Kalau dulu ada barang yang akan diperebutkan. Tapi sekarang tak ada lagi yang diperebutkan. Sebagian mereka masih ada yang bekerja di perusahaan sebagai kontraktor misalkan. Sebagian lagi mondar-mandir (menganggur),” ujarnya.
Begitu juga menurut Muhammad Yusuf (58), tokoh masyarakat setempat. “Kami semuanya di sini rata-rata bersanak famili. Pak lurah itu paman kontan saya. Tapi kami beda pendapat. Beliau pro perusahaan. Saya maunya melindungi hutan seberang. Rata-rata masyarakat di bagian hulu ini mendukung aksi LSM. Karena dari mereka lah saya semakin tau pentingnya menjaga hutan,” katanya.
Ditanya apakah selama empat tahun terakhir ada dampak kehadiran perusahaan bagi desanya, Jasri maupun Yusuf mengaku tidak ada perubahan. “Bantuan perusahaan tidak ada pada sektor perekonomian atau kesejahteraan masyarakat. Tapi yang ada cuma pembangunan. Penyelesain (sengketa lahan) tak tuntas, tapi yang penting kami sudah berusaha mempertahankan (hutan). Biar nanti kami tidak dicap menjual hutan sama anak cucu,” katanya.
Di hilir desa yang sebagiannya mendukung kehadiran perusahaan kondisinya tampak tak jauh berbeda dengan tahun 2009 lalu. Jalan masih banyak rusak dan berlubang dan jembatan masih kayu. Ada perbedaan setidaknya beberapa bangunan yang baru.
Syamsuir (36), ketua RT di bagian hilir desa yang pro perusahaan mengaku bahwa ada untungnya perusahaan mengambil hutannya. Setidaknya keuntungan itu berupa kegiatan pembangunan seperti semenisasi jalan, pembangunan ruang sekolah dan sebagainya. Ditanya soal bantuan yang terpusat di bagian hilir desa, Syamsuir menyanggahnya.
“Gorong-gorong juga sampai di hulu ini juga. Kalau dulu mau bikin jembatan biasanya minta ke masyarakat. Sekarang bisalah minta ke perusahaan. Adanya aksi LSM juga membantu masyarakat untuk menekan perusahaan. Tapi sekarang ini ndak ada lagi LSM,” katanya.
Meski dikatakannya perusahaan berbaik hati, namun Syamsuir kini masih dipusingkan dengan proposal permintaan bantuan bagi kelompok nelayannya yang belum ditanggapi perusahaan. “Bapak bisa bantu untuk menanyakannya ke perusahaan?,” tanyanya kepada Mongabay.
Keuntungan juga dirasakan Lurah Teluk Meranti, Hasan yang masih memendam marah terhadap LSM, terutama Greenpeace. Menurut dia, kehadiran Greenpeace telah memecah masyarakat menjadi dua kelompok, yang mendukung penyerahan hutan kepada perusahaan dan yang mempertahankan hutan. “Saya mendukung kehadiran perusahaan. Hasan sendiri mengaku mendukung kehadiran perusahaan di desanya. “Alhamdulillah masih dibikinkan karet oleh RAPP,” kata Hasan kepada Mongabay Indonesia di rumahnya.