Terlepas dari konflik yang masih terjadi di tengah masyarakat Teluk Meranti dan perusahaan RAPP yang terus membuka hutan, Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari mengakui ujung dari aksi dan kampanye LSM di Semenanjung Kampar waktu itu setidaknya ada hasil.
Keuntungan itu di antaranya kini pihak perusahaan lebih berhati-hati jika ingin beroperasi lebih lama di daerah tersebut. Lainnya, jika selama ini tidak ada istilah tanaman kehidupan, kini perusahaan diharuskan membangun kebun yang ditanami pohon bernilai ekonomi di sekitar wilayahnya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. “Namun tetap saja belum direalisasikan semuanya,” kata Muslim.
“Yang jelas dari kegiatan advokasi ini sebagian dari lingkungan diuntungkan. Kawasan yang dulunya ditujukan untuk dieksploitasi kini sebagian dijadikan kawasan restorasi ekosistem. Kemudian, masyarakat mendapatkan lima persen dari kawasan HTI untuk tanaman kehidupan yang dulunya tidak pernah terjadi. Sekarang perusahaan lebih berhati-hati karena aktifitas mereka dipantau masyarakat dunia. Lansekap Semenanjung Kampar kini semakin banyak yang memantau,” katanya.
Namun demikian, keuntungan paling besar tetap dinikmati perusahaan karena mereka mendapat legitimasi dari negara dan bahkan sekarang pengakuan juga diperoleh dari akademisi yang mengabdi untuk pemodal.
Bahkan menurut Jikalahari, setelah RAPP menghancurkan hutan, kini perusahaan milik Sukanto Tanoto itu menargetkan sejumlah kawasan hutan Semenanjung Kampar untuk dijadikan lahan berdagang karbon. Proyek ini dijadikan sebagai kampanye mereka bahwa perusahaan juga menjaga lingkungan. Lahan yang sedang diperebutkan sejumlah perusahaan untuk berdagang karbon ada pada lahan 100 ribu ha yang ditetapkan pemerintah sebagai restorasi ekosistem yang artinya, lahan itu dilindungi untuk kemudian dijual dalam hitungan karbon ke negara maju.
Penetapan kawasan eks HPH di Semenanjung Kampar menjadi kawasan restorasi ekosistem dan kelola masyarakat serta produksi adalah hasil dari advokasi itu sendiri.
“Yang di tengah itu sudah diperebutkan untuk perdagangan karbon. Dan pemainnya masih juga RAPP dengan nama-nama lain. Yang sudah memenangkan itu Gemilang Cipta Nusantara. Perusahaan itu dapat 20 ribuan hektar. Tapi sebagian lahan itu sebenarnya masuk dalam peta pencadangan untuk hutan desa 8 ribu ha. Jadi tetap saja pencitraan itu merampas kawasan lain. Ini jelas greenwashing,” ujar Muslim.
Bagi Jikalahari, perlindungan gambut adalah sangat penting bagi kepastian akses dan manfaat bagi masyarakat di sekitar hutan yang memang bergantung pada kelestarian hutan. Secara global, melindungi gambut berarti menahan laju pelepasan emisi karbon dan menekan kenaikan suhu minimum global.
“Bahkan Gambut Semenanjung Kampar kini juga telah menjadi pusat perdagangan karbon yang akan diusulkan menjadi pilot project REDD. Tahun kemarin misalkan, pemerintah Indonesia telah menandatangi kerjasama dengan Korea Selatan yang total pendanaannya mencapai tiga juta dolar Amerika untuk mendukung penguatan dan persiapan implementasi REDD di tasik besar serkap,” kata Muslim.
Pemerintah sendiri sudah membentuk KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) untuk Semenanjung Kampar. Ini adalah reaksi untuk menanggapi kampanye masyarakat sipil. KPH digadang-gadangkan sebagai forum multipihak yang melibatkan LSM, masyarakat desa dan perusahaan. Walau sudah ada struktur, namun saat ini belum ada terdengar kemajuan programnya.
Sementara itu Greenpeace yang jarang terdengar kampanye terhadap RAPP mengaku masih terus memantau perkembangan di lapangan. Rusmadya Maharuddin, Jurukampanye Hutan Greenpeace mengatakan, nol deforestasi dan perlindungan penuh gambut Semenanjung Kampar masih menjadi target kampanyenya.
“Semangat untuk memperjuangkan masih terus kita jaga. Kami terus memantau Semenanjung Kampar secara dekat hingga saat ini baik sendiri maupun bergabung dalam aliansi di tingkat lokal. Bahkan setelah kami kampanye terhadap APP yang akhirnya perusahaan itu membuat kebijakan baru perlindungan hutan, Greenpeace telah mengirimkan surat terbuka kepada CEO APRIL untuk segera berhenti merusak hutan alam Indonesia jika tidak ingin kehilangan banyak pembeli eperti yang dialami APP,” kata Rusmadya.
Terkait dengan RAPP yang mengincar proyek REDD sebagai bagian dari kampanye bahwa perusahaan tersebut peduli hutan, Greenpeace mengatakan proyek tersebut kontroversi. Sebab mereka juga mengambil lahan yang dialokasikan untuk hutan desa. Lagi-lagi kepentingan masyarakat kalah dari perusahaan yang lebih diutamakan pemerintah.
Sementara itu RAPP sendiri belum memberikan konfirmasi terkait dengan proyek perdagangan karbon di Semenanjung Kampar yang disanyalir Jikalahari sebagai aktivitas pencitraan setelah perusahaan menghancuran hutan gambut itu sendiri. Proyek itu sendiri juga diduga mencaplok 8 ribu hektar lahan yang oleh pemerintah dialokasikan untuk hutan desa atau hutan kemasyarakatan. Permintaan konfirmasi yang dikirim Mongabay Indonesia melalui email dan telepon akhir minggu lalu tidak menapat respons lebih jauh, pihak RAPP hanya berjanji akan menjawabnya.
Menurut informasi yang diperoleh Mongabay Indonesia, saat ini APRIL/RAPP panik karena telah menjadi target baru kampanye sejumlah LSM besar seperti WWF, RAN termasuk Greenpeace. Peningkatan tensi model kampanye pasar pegiat lingkungan ini oleh terjadi hanya sesaat setelah kompetitornya APP mengeluarkan kebijakan baru menghentikan penebangan hutan dan perlindungan gambut per 5 Februari lalu. Kepanikan itu di antaranya semakin intensnya perusahaan berkomunikasi dengan para pembeli. Selain itu perusahaan mengklaim telah berdiskusi dengan LSM yang mempertanyakan tentang kelestarian bisnisnya.