, , ,

Cagar Alam Morowali Diobrak-abrik Tambang Nikel, Pemerintah Diam

Kala perusahaan menjadi pelaku perusak alam dan hutan, penegakan hukum sunyi senyap. Berbeda bila, sangkaan pelaku kepada warga, aparat hukum, selaku kaki tangan negara, akan sigap bergerak. Tak hanya penegakan hukum tak jelas, setelah mengobrak-abrik hutan, banyak perusahaan meninggalkan kerusakan begitu saja tanpa rehabilitasi.

Kasus nyata, di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dengan hanya berbekal izin usaha pertambangan (IUP) dari Bupati Morowali, bernomor izin IUP Eksplorasi Produksi No: 540.3/SK.002/DESDM/XII/2011 seluas 145 hektar, PT. Gema Ripah Pratama (PT GRP), bisa bebas membabat hutan.  Kehutanan (Kemenhut), sebagai penjaga lahan diam, aparat keamanan diam. Pemerintah daerah apatah lagi.

Penduduk sekitar, ada suku To mori dan Tauta Awana, protes masalah ini karena merasa tak adil. Sejak Morowali, menjadi cagar alam, warga sekitar tak bisa lagi memanfaatkan kayu walau hanya satu dua batang,  misal untuk membangun rumah. Warga yang melanggar dipenjarakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Padahal, mereka itu masyarakat asli yang secara turun menurun tinggal di sana dan menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan mereka.

Pada medio Desember 2012, Jatam Sulteng, pernah datang ke Kemenhut melaporkan kasus ini. Kemenhut berjanji segera menurunkan tim pusat ke lokasi karena dari laporan Jatam Sulteng, aparat di daerah seakan mendiamkan. Namun, tampaknya janji tinggal janji. “Kami juga sudah mengirim nama dan pemilik PT Gema Ripah Pratama, sudah sepatutnya Kemenhut menentukan tersangka sesuai hasil penyelidikan dan dan menyita di lapangan. Jangan sampai menunggu rusak parah dulu, baru ada tindakan,” kata Andika, Deputi Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulteng kepada Mongabay, Selasa (12/3/13).

Protes muncul warga dan kalangan aktivis lingkungan Sulteng. Mereka berteriak lantang atas pembabatan cagar alam itu. Bahkan, sebuah petisi dengan tanda tangan 55.250 orang dari berbagai penjuru dunia yang menyerukan penyelamatan cagar alam di Sulteng ini.  “Memang sejak akhir Desember 2012, perusahaan yang bercokol nambang nikel itu, berhenti beroperasi, tapi kantor lapangan masih dijaga beberapa pegawai perusahaan,” ujar dia.

Namun, kata Andika, sudah ada tiga lokasi galian mengalami kerusakan paling ektrem. Pertama, titik lokasi material pelabuhan (jetty). Kedua, titik operasi produksi nikel di dalam kawan cagar alam. Ketiga, lokasi penebangan kayu untuk kebutuhan jetty. “Semua titik krusial ini sama sekali nasibnya tidak jelas. Kondisi semacam ini berlaku di semua situs penambangan nikel di Kabupaten Morowali, tak satu pun yang merehabilitasi pasca tambang. Semua angkat kaki.”

Hebatnya, tak satu pun perusahaan perusak hutan ini yang menerima sanksi, semua serba kabur. “Para pengusaha itu hanya memanfaatkan masa transisi UU Minerba dan kewenangan otonomi para bupati untuk mengambil manfaat ekonomi,” ucap Andika.

Jadi, bicara tanggung jawab lingkungan pasca tambang hanya omong kosong para pembuat analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).  “Justifikasi good mining practice, penanggulangan dampak lingkungan, hanya ditulis di atas kertas.”

Menurut dia, kerusakan yang muncul di Morowali, mungkin memerlukan proses restorasi amat panjang. Untuk saat ini tidak ada kejelasan anggaran, APBD Morowali sudah devisit sejak tiga tahun terakhir. “Saya kira kerugian karena praktik penambangan amburadul di Kabupaten Morowali sudah seharusnya diaudit serius oleh negara yang kompatibel seperti BPK, KPK melibatkan sektor lain seperti Kementerian Lingkungan hidup.” “Dengan begitu kita bisa melihat ada upaya pencegahan pencurian dan pengrusakan kekayaan negara oleh booming nikel Morowali.”

Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan kala ditanya tentang kehancuran Cagar Alam Morowali oleh perusahaan tambang tak memberikan jawaban tegas. Menurut dia, jika ada kasus seperti ini polisi harus bergerak. “Mana mungkin semua ditangani Kemenhut. Kemenhut yang menangkap, Kemenhut yang menyidik. Mana bisa. Ini harus ditangani bersama-sama,” katanya, kepada Mongabay, Jumat (8/3/13).

PT GRP memulai aktivitas pembabatan hutan mangrove di kawasan cagar alam Oktober 2011, selebar 15 meter dan panjang sekitar 1.200 meter. Pembabatan ini, untuk pelabuhan pemuatan orb nikel oleh PT GRP. Sejak 1 Juni 2012, PT GRP, mulai produksi. Mereka membangun jalan hauling koridor tambang galian ke pelabuhan yang membentang di tengah-tengah pemukiman penduduk. Perusahaan,  juga menumpuk orb di Desa Tambayoli, seluas satu hektar.

Patok tapal batas dan jalan koridor tambang nikel PT Gema Ripah Pratama, saling berkelindan dan menindih, entah mana. Hutan-hutan ini adalah tempat maleo bertelur dan berkembang biak. Foto: Jatam Sulteng
Lubang-lubang galian PT Gema Ripah Pratama di Cagar Alam Morowali, yang ditinggalkan begitu saja. Foto: Jatam Sulteng
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,