15 Warga Penolak Tambang Pasir Besi Jepara Kini Tervonis Bui

Kamis 21 Maret 2013, Pengadilan Negeri (PN) Jepara memutus bersalah terhadap 15 Nelayan Bandungharjo, Donorojo, Jepara yang menolak penambangan pasir dipesisir pantai.

Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin oleh Susilo Atmoko, SH, memutuskan bahwa 15 nelayan atas nama: Heri Susanto, Andi Pramono, Budiman Haryanto, Sudarni, Faridatul Muntafiah, Budi Lestari, Upik Hidayat, Rismawanto, Khoirul Imam, Muhammad Saifuddin, Agus Lisgiantoro, Kiswanto, John Seno, Idam Cholik, dan Hartono, dinyatakan bersalah dan dihukum pidana 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan.

Warga desa lainnya hanya bisa berdoa menunggu putusan hakim terhadap rekan-rekan mereka di dalam ruang sidang. Foto: LBH Semarang

Misbakhul Munir selaku pendamping hukum dari LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia mengatakan, dalam pertimbangannya hakim menyampaikan menolak pembelaan yang dilakukan oleh kuasa hukum dalam pledoi yang memuat tumpang tindihnya perizinan oleh pemerintah Kabupaten Jepara dan respon masyarakat atas keterancaman penambangan terhadap lingkungan. “Majelis hakim menganggap alasan kuasa hukum tersebut tidak relevan dengan pokok perkara atau sebagaimana yang didakwakan dalam pasal 170 ayat 1 KUHP,” kata Munir.

Sidang dihadiri sekitar 400 warga yang terdiri dari nelayan, tetani, dan petani tambak dari beberapa desa di sepanjang Pantai utara Jepara atau yang tergabung dalam Forum Nelayan (Fornel). Warga juga mengadakan doa bersama di halaman PN Jepara sebelum persidangan dimulai. Sementara sidang sendiri baru dimulai pukul 11.00 WIB.

Terkait putusan hakim seorang warga bernama Saiful menuturkan bahwa dengan adanya putusan ini, semakin mempertegas bahwa keadilan hanya milik Tuhan,”Rakyat yang ingin menjaga kelestarian lingkungan dan lahan penghidupan malah dikriminalkan,” tegas Saiful.

Sementara itu, Sudarni yang merupakan salah satu korban kriminalisasi seusai sidang menyampaikan, “Warga akan tetap konsisten dengan penolakan keberadaan tambang pasir besi yang mengancam lahan penghidupan mereka, serta menganggap proses peradilan pidana yang dijalani oleh dirinya sebagai resiko yang harus dihadapi untuk mempertahankan lingkungannya, ” kata Sudarni.

Polisi memberikan pengarahan pada warga yang menanti di halaman Pengadilan Negeri Jepara. Foto: LBH Semarang

Misbakhul Munir menambahkan dan menyampaikan kekecewaannya atas putusan yang dibacakan Hakim. Munir menuturkan bahwa seharusnya hakim dalam memberikan putusan juga mempertimbangkan sebab-sebab terjadinya respon warga sampai pada aksi penolakan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai keadilan yang sebenarnya, karena dalam perkara ini warga adalah korban.

“Dengan adanya putusan ini tentu saja kami bersama warga tidak akan berhenti sampai disini, dalam waktu dekat ini kami akan melaporkan CV. Guci Mas Nusantara ke kepolisian terkait izin penambangan. Dalam fakta persidangan ditemukan bahwa lokasi penambangan berada di kawasan sepadan pantai yang merupakan kawasan lindung yang seharusnya tidak boleh ada penambangan disitu (UU No 32/1990). Sehingga kami menduga CV. Guci Mas Nusantara tidak memiliki izin untuk melakukan penambangan, karena selama ini warga juga tidak pernah tahu keberadaan izin tersebut. Sehingga jika dugaan itu benar, maka aparatur penegak hukum harus fair untuk memproses secara pidana.”

Munir menambahkan, kalaupun izin penambangan tersebut memang benar ada, maka dapat dipastikan telah melewati proses yang salah, karena sejak pengajuan permohonan izin harus disesuaikan dengan peruntukan kawasan. Dan seharusnya permohonan itu harus ditolak atau dinyatakan tidak layak sejak pembahasan UPL-UKL sebagai prasyarat kelayakan lingkkungan (UU No 32/2009, PP No 12/2012), dan atas hal itu tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten Jepara.

Kasus ini bermula setelah warga menolak keberadaan penambangan pasir besi di pantai Bandungharjo oleh CV. Guci Mas Nusantara. Berdasarkan penuturan warga, mereka telah melakukan upaya-upaya pengaduan ke pemerintah mulai dari petinggi bandungharjo, camat, Badan Lingkungan Hidup (BLH), DPRD Jepara dan Pemkab Jepara, namun pemerintah tidak menanggapi. Setelah gagal menyampaikan kerisauan mereka, pada 30 April 2012 ratusan warga nelayan berduyun-duyun hadir ke lokasi penambangan bermaksud meminta CV untuk mengentikan aktivitas penambangan,  namun nasib 15 warga nelayan Bandungharjo justru berakhir di balik jeruji.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,