Pakar Dunia: Perubahan Tata Ruang Aceh harus Lewat Penilaian Data Spasial Berkualitas

Para ilmuwan yang tergabung dalam ATBC (Association for Tropical Biology and Conservation) yang baru saja menyelesaikan konperensi internasionalnya di Banda Aceh, Jumat 22 Maret 2013, menyerukan agar pemerintah Aceh melakukan penyusunan tata ruang dan pengelolaan hutan berdasarkan data spasial yang baik dan berkualitas tinggi. Secara khusus dengan mengacu pada peta kawasan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS), peta resiko lingkungan, peta jenis tanah, peta kesesuaian lahan untuk dikonversi menjadi kawasan Area Penggunaan Lain non Kehutanan (APL), peta bencana geologi, peta sebaran penduduk, curah hujan dan peta sebaran kehidupan liar di Aceh.

Seperti diketahui, pemerintah Aceh, dalam draft Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) barunya berniat untuk melakukan alih fungsi kawasan dan peruntukan hutan menjadi areal penggunaan lain. Kalangan masyarakat sipil, LSM maupun para ilmuwan mengkuatirkan kebijakan ini akan berdampak negatif terhadap hancurnya hutan. Para peneliti menyebutkan bahwa Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh merupakan satu-satunya tempat di dunia dimana spesies-spesies mamalia besar seperti gajah, harimau, badak dan orangutan hidup bersama dalam sebuah bentang kawasan.

Para ilmuwan ATBC meminta agar pemerintah Aceh mempertimbangkan kenyataan bahwa selama ini lembaga-lembaga adat seperti Mukim dan Panglima Uteun selama berabad-abad telah mampu melestarikan 3,7 juta hektar hutan di Aceh. Perusakan dan konversi hutan dataran rendah hanya akan meningkatkan eskalasi konflik antara masyarakat dengan gajah liar yang pada akhirnya akan menghasilkan ancaman signifikan kepada para petani.

Resiko serius juga akan berdampak pada hilangnya fungsi hidrologi alami, kerusakan serius ekosistem sungai di dataran rendah dan perikanan, meningkatkatnya potensi longsor dan banjir bandang serta hilangnya keanekaragaman hayati yang ada. Menurut para peneliti, model pembangunan ekonomi yang paling sesuai untuk Aceh adalah memberikan prioritas pada skema pembangunan bersih dan pembayaran untuk jasa lingkungan, dan membatasi ekstraksi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.

Menanggapi rencana Pemerintah Aceh untuk membelah wilayah ekosistem Leuser dengan pembuatan jalan menyerupai jaring laba-laba, Bill Laurence, seorang pakar dari James Cook University (JCU) Australia, sekaligus mantan presiden ATBC, menyebutkan bahwa hasil riset yang ia buat di seluruh dunia telah menghasilkan temuan, bahwa ketika sebuah ekosistem hutan dibuka untuk pembangunan jalan, maka ekosistem hutan tersebut dipastikan akan hancur.

“Ini seperti luka yang tidak pernah bisa kembali pulih, ketika sebuah ekosistem hutan dibuka untuk jalan, cukup sekali saja jaringan infrastruktur itu dibuka, maka hutan akan menuju kepada kehancuran. Jalan akan membuka akses kepada perambahan dan pembukaan lahan hutan. Pemerintah Aceh harus benar-benar mempertimbangkan ide ini. Jangan sampai kerugian yang diperoleh lebih besar bagi orang banyak daripada manfaat jangka pendek semata.”

Bagi Laurence, jalan yang dibuka di ekosistem hutan berbeda sifatnya dengan jalan yang dibuka di daerah pertanian misalnya. Jalan di perdesaan akan menopang pertumbuhan ekonomi perdesaan yang pada akhirnya akan berdampak positif bagi masyarakat untuk peningkatan akses dan kesejahteraan hidupnya. “Pembukaan jalan di wilayah hutan, akan diikuti dengan pembangunan cabang-cabang jalan baru, cabang-cabang jalan baru selanjutnya akan diiikuti dengan pembangunan cabang-cabang jalan baru lagi. Pada akhirnya jaringan jalan model jaring laba-laba akan terjadi.”

Jalan dibuka di Aceh
Pembangunan jalan di Aceh yang membelah hutan hingga mengancam kerusakan lingkungan dan memutus koridor satwa. Jika jalan sudah terbuka, maka akses bagi perusakan di kawasan hutan makin luas. Satwa dan lingkungan pun makin terancam. Foto: Chik Rini

Yakob Ishadamy dari Strategic Resources Initiative, menyebutkan bahwa RTRW adalah sebuah proses negosiasi yang mempertemukan antara kepentingan rakyat Aceh dengan pengelolaan kekayaan hayati yang ada di bumi Aceh. Tata ruang juga merupakan alat koordinasi, alat resolusi konflik dan titik negosiasi dari para pemangku kepentingan yang pada akhirnya bermuara pada pengaturan dan pengelolaan jasa lingkungan

“Penentuan hutan harus berdasarkan kepada tiga titik temu yaitu persoalan legalitas, sosial ekonomi masyarakat dan biofisik,” lebih lanjut ia pun menegaskan bahwa peran dari illmuwan dan peneliti, -termasuk dari nasional dan internasional,- adalah untuk memberikan referensi dan informasi yang lengkap dari kebijakan yang dibuat. “Jika pada tahun 2004 Aceh mengalami tsunami dari laut, maka kedepannya jangan sampai kita mengalami tsunami kali kedua, yaitu tsunami dari dalam hutan,” demikian Ishadamy.

Darmawan Liswanto, Country Director Fauna Flora International (FFI) Indonesia, menyebutkan bahwa rencana pembangunan yang tidak solid pada akhirnya hanya akan menciptakan kerusakan permanen yang membuat masyarakat semakin termarjinalisasikan.

“Tujuh puluh persen sumber penghidupan berasal dari hutan, sehingga dalam mengelola hutan diperlukan kehati-hatian, karena hingga sekarang belum semua fungsi ekologi dan ekosistem (ecological-ecosystem) yang ada di hutan kita pahami sepenuhnya.”

Darmawan juga menolak jika penentuan hutan semata-mata hanya berpatokan kepada proporsi angka politis tertentu seperti yang saat ini berlaku. Umumnya wilayah hutan ditetapkan 30% dari total seluruh luas wilayah propinsi, karena itu hanya akan membuat seolah-olah 70% sisa lainnya dianggap dapat digunakan semena-mena untuk kepentingan apapun.

“Penyederhanaan pembagian zonasi wilayah seperti ini cenderung menyesatkan. Kebijakan ini hanya berpijak kepada pemikiran politis tanpa ada kajian ilmiah yang mempelajari keterkaitan antar unsur ekologis di alam. Rencana pembangunan yang tidak didasari kepada riset kajian yang mendalam akan berujung kepada bencana,” demikian penjelasan Darmawan.

Para pakar peneliti ini pun berharap agar Pemerintah Aceh dapat melakukan kerjasama dengan para
ilmuwan nasional dan internasional untuk mengidentifikasi alternatif pembangunan infrastruktur jalan yang ramah tanpa menimbulkan kerusakan yang permanen terhadap keutuhan lingkungan alami Aceh.

Selanjutnya mereka pun berharap agar Pemerintah Aceh daat memastikan aturan hukum dapat segera ditegakkan, menghentikan praktik pembalakan liar, konversi hutan dan pembangunan jalan dan memastikan pembangunan dalam wilayah hutan berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan.

Konperensi tahunan ATBC di Aceh merupakan pertemuan tahunan keenam para peneliti di kawasan Asia Pasifik sejak tahun 2007. ATBC sendiri merupakan organisasi saintifik terbesar di dunia yang bertujuan untuk mempelajari, melindungi dan penatagunaan ekosistem tropis. Untuk pertemuan di Banda Aceh ini thema yang diusung adalah “Mengaitkan ilmu keanekaragaman hayati dengan kebijakan dan aksi konservasi”.

Peta kepekaan Aceh
Sumber: Presentasi Graham Usher/ SOCP
Peta perubahan bentang lahan
Sumber: Presentasi Graham Usher/ SOCP
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,