Menanam Harapan di Segelintir Mangrove Pantai Selatan Yogyakarta

Panas terik matahari sore tidak menyurutkan semangat para peserta penanaman bibit Mangrove di kawasan pesisir selatan Yogyakarta. Sekitar seratus peserta dari komunitas Earth Hour Jogja, Staf Hotel Sheraton Jogja, Dimas Diajeng, kelompok KKN Univesitas Gajah Mada, Yayasan Kanopi Indonesia dan kelompok pelestari mangrove “Wanatirta” di Dusun Jangkaran, Desa Pasir Mendit, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. “Penanaman ini adalah bagian dari semarak peringatan Earth Hour 2013. Selain itu, sebagai bentuk aksi dan edukasi terhadap peserta tentang fungsi dari manggrove itu sendiri,” kata Felix Krisnugraha, Koordinator Earth Hour Jogja.

Seribu bibit Mangrove yang terdiri dari jenis Rhizophora sp, Avicennia sp dan Bruguiera gymnorrhiza ditanam di sepanjang muara Sungai Bogowonto. Namun sebelumnya, peserta diberikan pengarahan oleh Warso Suwito, selaku ketua kelompok  pelestari manggrove Wanatirta. Warso menjelaskan tentang kondisi lokasi penanaman dan apa saja yang perlu dipersiapkan peserta saat dilokasi penanaman. “Lokasi berlumpur, gunakan kaos kaki. Banyak pecahan kerang, itu berbahaya dan bisa melukai,” kata Warso.

Para peserta penanaman mangrove menjelang acara. Foto: Tommy Apriando

Wanatirta sebagai organisasi yang dibentuk atas kepedulian warga terhadap kelestarian tanaman mangrove berdiri sejak tahun 2009. Kala itu, warga masih berupaya sendiri untuk mengelola hutan mangrove di kisaran sungai Bogowonto ini. Belum ada kepedulian dari pemerintah sama sekali. Warga harus bergilir untuk mengontrol dan mengelola mangrove. Namun, dua tahun terakhir  bantuan dari berbagai pihak mulai berdatangan.

Luasan mangrove yang sudah tertanam berkisar enam hektar, yang membentang dari Pasir Pendit hingga Pasir Kadilangu. Saat ini, kawasan menggrove tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Kab. Kulonprogo sebagai Daerah Perlindungan Mangrove. Mangrove di sekitar muara Sungai Bogowonto memiliki karakteristik unik, tumbuh di areal berpasir dengan arus ombak dan angin yang besar. Akan tetapi, banyak juga kendala yang dihadapi, seperti banyaknya hama, Sumpil/ melania (kerang) yang menempel di batang mangrove dan merusak dan mematikan tanaman mangrove. “Selain itu, abrasi dan buka tutup mulut sungai Bogowonto dan keadaan air pasang yang berkepanjangan,” kata Warso.

Rani Sawitri, Program Officer, Yayasan Kanopi Indonesia kepada Mongabay Indonesia menjelaskan manfaat dari tanaman mangrove. Secara fisik, tanaman mangrove bermanfaat untuk menahan abrasi pantai, penahan intrusi (peresapan air laut ke daratan), penahan badai dan angin kedaratan, menghambat pencemaran pantai dan menurunkan kadar karbondioksida. Secara ekonomi, lokasi di Pasir Mendit ini, bisa dijadikan desa wisata dan dari beberapa penelitian,pucuk tanaman Rhizopora daun mangrove bisa dijadikan bahan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi. “Karena di pesisir ini banyak lahan pertanian, mangrove berperan sebagai penahan dan pelindung dari abrasi sehingga tidak merusak lahan pertanian warga dan lokasi tambak udang,” kata Rani.

Para peserta menembus lumpur menanami mangrove. Foto: Tommy Apriando

Selain itu, tanaman mangrove juga sebagai tempat hidup bagi berbagai spesies ikan-ikan kecil dan burung.  Berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta terdapat tiga lokasi vegetasi mangrove di Desa Jangkaran yakni Nglawang, Pasir Kadilangu dan Pasir Mendit. Nglawang yang berada pada Muara Sungai Bogowonto dengan jenis vegetasi alami sudah jarang ditemukan. Penanaman tercatat pernah dilaksanakan pada tahun 1995 hasil kerjasama Dinas Pertanian Kulon Progo dengan Universitas Gajah Mada.  Penanaman menggunakan jenis Rhizophora mucronata yang ditanam sepanjang sisi timur dari muara sungai sejumlah 3.000 batang. Hasil pengamatan Badan Lingkungan hidup pada bulan Februari 2012 lalu, hanya sekitar 300-an atau 10% saja vegetasi yang masih tumbuh, dan itupun tidak selebat kebanyakan pertumbuhan dari Rhizophora sp.

Saat ini, ketinggian rata-rata vegetasi mangrove hanya tiga meter dari tanah. Sebagian kecil pertumbuhan cukup tinggi pada kisaran lima meter. Akan tetapi, penelitian dari Yayasan Kanopi Indonesia, yang dilakukan sejak tahun 2009 berdasar olahan data penanaman mangrove.  Hanya berkisar 48 persen saja tamanan manggrove yang berhasil hidup,” jelas Rani.

Rani berharap, mangrove di Pasir Mendit ini mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Walaupun, saat ini pemerintah sudah membentuk pokja-pokja untuk mengurus mangrove, akan tetapi yang juga perlu diperhatikan, bagaimana program yangdibentuk pemerintah juga berdaya bagi masyarakat sekitar dan berdaya bagi kelestalian mangrove. “Pemerintah diharap terus giat melakukan edukasi, workshop, penyadaran akan pentingnya manggrove bagi masyarakat pesisir,” harap Rani.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,