Polisi Panggil Lagi Warga Penolak Pengerukan Pasir Laut Selat Madura

Kamis, 28 Maret 2013, Kepolisian Daerah Jawa Timur, melakukan pemanggilan kedua terhadap empat orang warga dan nelayan kawasan pesisir Selat Madura yang menolak pengerukan pasir laut untuk mereklamasi Teluk Lamong. Pemanggilan ini  memantik reaksi dari seluruh warga Nambangan dan Cumpat, warga yang tergabung dalam FMPS (Forum Masyarakat Pesisir Surabaya-Madura) baik laki-laki maupun perempuan mendesak agar mereka ikut disidik oleh Polda Jatim.

“Warga merasa kecewa atas ketidakadilan dan diperlakukan seperti kriminal oleh pemerintah melalui aparat penegak hukumnya (kepolisian), dan pemerintah hingga saat ini tidak pernah tegas untuk menindak pelaku perusak dan perampas ruang hidup nelayan. “Upaya warga dalam penyelamatan lingkungan dan ruang hidupnya dikriminalkan, sementara penjahat lingkungan masih terus mengancam kehidupan masyarakat pesisir Selat Madura,” kata Munir, juru bicara Forum Masyarakat Pesisir Suramadu, salah satu warga yang ikut diperiksa oleh Polda Jatim.

Situasi saat warga bertemu dengan pihak Polda Jawa Timur. Foto: Walhi Jawa Timur

Warga menolak penambangan pasir karena tindakan pengerukan/penambangan pasir laut untuk mereklamasi Teluk Lamong merupakan pelanggaran konstitusi. Untuk diketehui, sejak tanggal 16 Juni 2011 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VII/2010 tentang uji materi UU No. 27 Tahun 2007, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya menyangkut pembatalan pasal-pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang melarang praktik pengkaplingan atau pravitisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Selain itu, dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia dijabarkan, proses mendapatkan izin penambangan PT. Gora Gahana tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keluarnya izin tidak dilengkapi dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai prasyarat untuk mendapatakan izin lingkungan hidup dan izin kegiatan. Hal ini dikuatkan dengan bukti tidak adanya pelibatan nelayan Selat Madura yang terkena dampak langsung akibat aktivitas pertambangan tersebut, baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi. “Lebih dari itu, Selat Madura merupakan wilayah konservasi, daerah tangkapan dan budidaya,” jelas Munir.

Upaya nelayan untuk menjaga dan melestarikan sumber-sumber penghidupan dan mencegah lebih fatal atas aktivitas pertambangan tidak mendapatkan repson pasitif dari perusahaan dan pemerintah. DPRD dan Gubernur Jawa Timur pada 18 Juni 2012 lalu sempat menjanjikan untuk mencabut izin kegiatan pertambangan pasir, namun tidak direalisasikan. Justru sebaliknya, nelayan yang menolak pertambangan pasir laut diteror dan mengalami intimidasi oleh pihak perusahaan.

Bahkan pada tanggal 26 Februari 2013, Ditreskrimsus POLDA Jatim melakukan pemanggilan terhadap 4 orang tokoh nelayan, yaitu: Bpk. Munir, Bpk. H. Mardiono, Bpk. H. Zainal, dan Bpk. Muslih) ke MAPOLDA JATIM untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertembangan mineral dan batubara (Pasal 162 UU 4/2009 Minerba). Surat pemanggilan tersebut menyusul adanya laporan PT. Gora Gahana.

Aksi penolakan warga terhadap penambangan pasir laut di Selat Madura. Foto: Walhi Jawa Timur

Pemanggilan ini ditenggarai sebagai tipu muslihat pihak Kepolisian untuk mengkriminalisasi keempat orang tersebut. Tindakan perusakan ekosistem pesisir oleh PT. Gora Gahana di Selat Madura. Kegiatan tersebut mengunakan dokumen izin yang tidak sesuai aturan dan meresahkan nelayan serta memicu konflik sosial dan pihak Kepolisian dilibatkan untuk mengkriminalisasi nelayan.

“Kami suungguh prihatin, aparat kepolisian tetap meneruskan pemanggilan nelayan, karena yang melaporkan perusahaan. Artinya, ada dugaan kepentingan perusahaan dan polisi. Harusnya polisi mengecek dugaan perijian perusahaan yang diduga bermasalah, dan polisi objektif dalam melihat persoalan ini,” kata Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jatim, kepada Mongabay Indonesia

“Seharusnya pemeritah mencabut perizinan dan mengevaluasi aktivitas tambang pasir di Selat Madura dan seluruh perairan Indonesia, serta meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan. Kami juga mendesak pemerintah untuk lebih fokus kepada penyelesaian persoalan hulunya (izin dan AMDAL yang tidak layak dan tidak mempertimbangkan kepentingan nelayan,” harap Munir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,