Kasus penangkapan dan pemeliharaan satwa dilindungi masih terus terjadi di tanah air. Seekor orangutan jantan berusia kurang lebih dua tahun, berhasil diselamatkan oleh tim penyelamat dari Orangutan Information Centre (OIC) dari ‘pemiliknya’ yang mengaku menemukannya di sebuah lahan pertanian di kaki Taman Nasional Gunung Leuser sebulan silam.
Orangutan jantan ini disimpan dalam sebuah karung oleh pemiliknya sebelum diselamatkan oleh tim OIC bersama BKSDA setempat dan staf Taman Nasional Gunung Leuser. Orangutan yang dinamai Kedaung ini mengalami luka akibat serangan seekor anjing, sebelum disimpan oleh penduduk setempat yang menyimpannya, lalu ditaruh di dapur rumah sang pemilik.
Menurut keterangan dari dokter hewan dari Orangutan Information Centre, Dr. Ricko Jaya, dia menemukan delapan luka gigitan anjing di tubuh Kedaung. “Sulit dipercaya seekor anjing bisa menyerang anak orangutan secara terus menerus tanpa adanya perlindungan dari sang ibu. Saya kira ibu Kedaung sudah lebih dulu diserang oleh para pekerja perkebunan, mungkin menggunakan senapan angin, hal ini adalah sebuah hal yang lumrah dan seringkali terjadi di kawasan perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Bayi orangutan ini jatuh dan terpisah dari ibunya, mungkin saat itulah dia mendapat gigitan dari anjing.”
Keberadaan orangutan, memang terus tertekan seiring dengan lajunya peningkatan luasan perkebunan dan pertambangan di Sumatera yang terus menggerus hutan hujan tropis yang menjadi habitat mereka. Pendiri dan Direktur Orangutan Information Centre, Panut Hadisiswoyo menyatakan bahwa kondisi orangutan memang semakin kritis akibat tekanan ini. “Semakin banyak orangutan yang tersingkir dari habitat alami mereka dan memasuki wilayah pertanian untuk mencari makanan, seiring dengan hilangnya hutan yang menjadi rumah mereka, terutama untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Banyak dari orangutan ini yang terdampar di perkebunan dan tak bisa kembali ke hutan. Akibatnya, banyak sekali kami menemukan kasus-kasus dimana orangutan ditangkap oleh pekerja perkebunan dan para pemburu.”
“Baru seminggu lalu tim kami terlibat dalam sebuah penyelamatan seekor anak orangutan di Aceh Timr yang dijadikan hewan peliharaan, namun kabur dari kandangnya sekitar tiga bulan lalu dan sejak itu dia selalu berburu makanan di sekitar tanah pertanian milik warga karena tak bisa kembali ke hutan dan memakan tanaman milik warga untuk bertahan hidup,” sambung Panut dalam media rilisnya kepada Mongabay Indonesia.
Kedua orangutan yang berhasil diselamatkan itu kini berada di bawah perawatan di pusat rehabilitasi milik Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) yang berada di dekat kota Medan.
Penyelamatan Orangutan Semakin Kerap Terjadi
Selain dua peristiwa di atas, baru-baru ini tim dari SOCP dan BKSDA Aceh juga berhasil menyelamatkan dua anak orangutan yang dipelihara secara ilegal di dua lokasi berbeda di desa SImpang Dua, Nagan Raya, Aceh. Dari laporan yang didapat dari SOCP, kedua orangutan ini ditangkap dari sekitar hutan rawa di Tripa, yang kasusnya sempat mencuat setelah perusahaan PT Kallista Alam melakukan pelanggaran dengan membuka perkebunan kelapa sawit di lahan gambut secara ilegal.
Jumlah orangutan yang ditangkap dari habitat mereka, terus bertambah setiap tahun, akibat pembukaan lahan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang semakin masif. “Tahun lalu saja kami berhasil menyelamatkan 17 orangutan yang terisolasi di lahan pertanian dan perkebunan, semuanya kini berhasil dilepaskan kembali ke Taman Nasional Gunung Leuser. Kami tahun lalu juga berhasil menyelamatkan empat ekor orangutan yang dijadikan satwa peliharaan. Orangutan yang dijadikan peliharaan ini membutuhkan waktu rehabilitasi yang lebih panjang di SOCP sebelum mereka bisa dilepasliarkan kembali ke habitat mereka. Kendati kasus-kasus ini terus terjadi, namun penegakan hukum dan sanksi untuk para penangkap dan pemelihara orangutan tidak pernah dilakukan.”
Sementara itu itu, Dr. Ricko menekankan bahwa orangutan Sumatera adalah satwa yang liar dan berbahaya saat dewasa, dan mereka bisa menjadi ancaman bagi manusia yang memeliharanya. “Orang lokal berpikir bahwa orangutan adalah satwa yang menghibur. Namun faktanya, orangutan dewasa memiliki kekuatan yang luar biasa dan bisa menjadi sangat agresif, dan berpotensi mendatangkan bahaya. menyimpan orangutan itu tak hanya dilarang oleh hukum, namun juga membahayakan manusia sendiri.”
Lemahnya penegakan hukum, menjadi sumber utama terus terjadinya pelanggaran terhadap berbagai kasus satwa di Indonesia. Dalam sebuah kasus yang terjadi di Kabuaten Kutai Barat beberapa tahun silam, dua orang karyawan perkebunan kelapa sawit hanya dijatuhi hukuman delapan bulan tahanan karena membunuh orangutan.
Kekayaan Indonesia Yang Tak Terjaga
Orangutan, sebagai salah satu primata besar dunia, memang istimewa karena hanya bisa ditemukan di dua pulau besar di Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Orangutan Kalimantan, diperkirakan masih berjumlah 57.000 ekor di alam liar, dan kini masuk dalam daftar ‘terancam’ di Daftar merah IUCN. Sementara orangutan Sumatera, jauh lebih parah. Jumlah mereka diperkirakan kurang dari 6000 ekor di alam liar dan kini berada dalam status ‘kritis’, dan terus berkurang akibat kerasnya laju ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sumatera yang menjadi primadona untuk meraih devisa bagi penduduk dan pemerintah setempat.
Dari data yang diperoleh Orangutan Information Centre, jumlah orangutan sudah musnah sebanyak 90% sejak tahun 1900 silam. Peran orangutan yang sangat vital dalam meregenerasi hutan tropis, kini semakin tidak berjalan seiring dengan hilangnya hutan hujan tropis Indonesia yang berubah menjadi lahan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dengan total lahan sekitar 9 juta hektar, dan produksi per tahun mencapai 24 juta metrik ton. Ekspansi ini, sekaligus menghilangkan hutan tropis Indonesia seluas 8,8 juta hektar dan membuang sekitar 7 miliar ton karbon ke udara.