,

PLTU Batang, Jerujikan Warga & Lepaskan Jutaan Ton Emisi Karbon

Jakarta, 3 April 2013, perwakilan warga Batang didampingi oleh LBH Semarang, Greenpeace Indonesia dan YLBHI di Jakarta mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU) di Batang, Jawa Tengah. Rencana pembangunan PLTU telah menimbulkan berbagai dampak negatif lingkungan dan sosial terhadap warga sekitar.

Pembangunan PLTU ini, juga akan melepaskan emisi karbon hingga 10,8 juta ton per tahun. “Kondisi ini dipandang oleh organisasi-organisasi tersebut tidak sejalan dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Mongabay Indonesia.

Denah Lokasi PLTU Batang

Dalam pembangunan PLTU Batang, pemerintah menunjuk PT. Bhimasena Power Indonesia, konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan yaitu Adaro Power, J-Power, dan Itochu, sebagai pihak yang akan membangun PLTU Batubara berkapasitas 2000 Megawatt di pesisir Ujunggnegoro-Roban,  Kabupaten Batang, Jawa Tengah. PLTU Batubara ini diklaim sebagai PLTU yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Dampak dari berdirinya proyek raksasa ini, lima desa di Batang akan terkena dampak, antara lain Desa Karanggeneng, Roban, Ujungnegoro, Wonokerso, dan Ponowareng. Proyek raksasa ini akan menggunakan lahan seluas 370 hingga 700 hektar yang melahap lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, sawah tadah hujan seluas 152 hektar. Tak hanya itu, yang paling mengejutkan adalah PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.

Batubara merupakan bahanbakar fosil terkotor, selain menjadi penyumbang utama emisi karbon penyebab perubahan iklim, pembakaran batubara di PLTU juga melepaskan berbagai polutan beracun ke udara seperti NOx(Nitrogen Oksida) , SOx (Sulfur Oksida), PM 2,5 (Particulate Matter) dan Merkuri. Polutan-polutan beracun ini menyebabkan berbagai dampak serius bagi kesehatan terhadap warga disekitar PLTU.

“Sikap pemerintah yang tetap bersikeras melanjutkan rencana pembangunan PLTU Batubara di Batang,  menunjukkan bahwa pemerintah menempatkan keselamatan warga di bawah kepentingan pengusaha, rencana ini juga bertolak belakang dengan komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi karbon dari Indonesia,”  tambah Arif Fiyanto.

Sumber: Badan Lingkungan HIdup Jawa Tengah

Menurut perhitungan yang dilakukan Greenpeace, jika rencana pembangunan PLTU Batubara raksasa ini dilanjutkan, maka PLTU Batang akan melepaskan emisi karbon sebesar  10.8 juta ton CO2 pertahun. PLTU Batubara ini juga akan melepaskan polutan-polutan beracun lain dalam jumlah yang sangat besar, seperti SOx sebesar 16200 ton pertahun, NOx sebesar 20200 ton pertahun, dan PM 2,5 sebesar 610 ton pertahun.

Selain mengancam kelestarian  lingkungan dan kesehatan  warga sekitar, dalam proses pembangunannya PLTU Batang juga telah menimbulkan berbagai ekses negatif terhadap warga yang menentang keras rencana pembangunan proyek raksasa ini. Ada 7 orang warga Batang yang dikriminalisasi oleh pemerintah akibat keberatan terhadap rencana pembangunan PLTU Batang yang berdampak lingkungan yang besar.

Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Sumber: LBH Semarang

Kelima orang yang diadili di Pengadilan Negeri Semarang, pada Selasa, 2 April 2013 kemarin, telah mendapatkan vonis yang beragam. Casnoto dan M.Ali Tafrihan mendapatkan putusan bebas karena mereka tidak terbukti bersalah, kemudian yang lain untuk Riyono, Kirdar Untung dan Sabarno mendapatkan putusan pidana penjara selama 5 bulan 5 hari dipotong masa tahanan selama 5 bulan 4 hari maka ketiganya bebas hari ini. “Walaupun kelima warga Batang dibebaskan, akan tetapi penolakan terhadap pembangunan PTLU Batang tetap berlanjut, dan penolakan terhadap PLTU harga mati,” kata Roidi, warga Batang ketika dihubungi Mongabay Indonesia.

Wahyu Nandang Herawan, Staff LBH Semarang kepada Mongabay Indonesia mengatakan kriminalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap 7 orang warga Batang ini sebuah ketidaktaatan pemerintah terhadap UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena di dalam pasal 66 yang berbunyi, “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”  “Dan jelas kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia,” tutup Nandang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,