,

Pebisnis Dunia Semakin Tinggalkan Kelapa Sawit dan Kertas dari Hutan Tropis

Sejumlah korporasi yang berbasis di Amerika dan Eropa, kini ramai-ramai mulai menerapkan kebijakan untuk menggunakan sumber-sumber yang memiliki standar keramahan lingkungan yang jelas, baik untuk bahan dalam penggunaan minyak kelapa sawit, maupun material kertas yang digunakan sebagai pembungkus yang diberikan kepada para konsumen mereka. Kebijakan anti-deforestasi ini berupaya agar pihak perusahaan menjadi lebih ramah lingkungan dan tidak membeli materi kertas yang bersumber dari hutan hujan tropis di dunia, salah satunya dari Indonesia.

Dari Amerika Serikat dilaporkan Yum! Brands, raksasa bisnis makanan siap saji yang memiliki jaringan restoran KFC, Pizza Hut dan Taco Bell menerapkan kebijakan anti-deforestasi ini untuk seluruh material pembungkus makanan mereka. Yum! juga akan meningkatkan porsi penggunaan kertas daur ulang dalam seluruh material pembungkus makanan mereka, serta menolak untuk memakai kertas yang bersumber dari penebangan hutan alami di negara-negara tropis seperti Indonesia dan Brasil.

Salah satu dampak dari ekspansi kelapa sawit di Indonesia, yaitu hilangnya habitat satwa-satwa dilindungi. Orangutan ini dievakuasi dari habitatnya yang dibuldoser oleh perusahaan kelapa sawit PT Bumitama Gunajaya Agro. Foto: International Animal Rescue

Dala situs mereka, Yum! telah berkomitmen untuk membuat pembungkus makanan mereka menjadi lebih berkelanjutan sebagai prioritas program mereka. “Terkait dengan besarnya volume penggunaan pembungkus dalam produk kami, Yum! memiliki posisi yang unik untuk menyediakan materi pembungkus yang lebih ramah lingkungan bagiseluruh konsumen kami di seluruh dunia, untuk menekan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.”

Dalam menerapkan kebijakan baru ini, pihak perusahaan makanan ini akan menjalin kerjasama dengan penyuplai yang menggunakan kertas yang memiliki standar lingkungan yang jelas, termasuk yang bersertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) dan PEFC (Program for Endorsement of Forest Certification) yang memberikan kriteria sumber tanaman, hak-hak masyarakat dan high conservation value forest.

Sementara dari Eropa, Neste Oil, sebuah perusahaan energi dari Finlandia telah mengumumkan kebijakan baru dalam penggunaan minyak kelapa sawit mereka. Sebagai salah satu pembeli terbesar minyak kelapa sawit dunia, mereka telah menerima berbagai kritik dari berbagai aktivis lingkungan terkait kebijakan pembelian kelapa sawit mereka selama ini yang dinilai berkontribusi dalam kerusakan yang terjadi di hutan hujan tropis dan lahan gambut di Asia Tenggara.

Perkebunan kelapa sawit berskala besar. Foto: Rhett A. Butler

Lewat kebijakan baru ini, Neste berkomitmen untuk tidak membeli kelapa sawit dari perkebunan yang telah membabat hutan tropis, lahan gambut dan tidak membeli dari sumber yang dialihfungsikan dari padang rumput sejak Januari 2008.

“Sebagai salah satu pembeli terbesar minyak kelapa sawit kami sadar akan tanggung jawab yang kami miliki terhadap dampak langsung dan tidak langsung atas operasi perusahaan yang kami lakukan,” ungkap Senior Vice President untuk Program Keberlanjutan Neste Oil, Simo Honkanen dalam pernyataannya. “Kerjasama kami dengan The Forest Trust adalah sebuah kelanjutan dari upaya awal kami untuk membantu menekan laju deforestasi dan membantu membangun dialog yang proaktif dengan mitra kerja kami. Sebagai salah satu perusahaan terkemuka, kami memiliki kesempatan untuk mendukung praktek pembangunan yang berkelanjutan di bidang minyak kelapa sawit.”

Kebijakan dan komitmen Neste ini akan dimonitor oleh The Forest Trust (TFT), sebuah konsultan lingkungan yang baru-baru ini menandatangani kerjasama dengan Golden-Agri Resources, salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, dan Asia Pulp and Paper, perusahaan penghasil kertas terbesar ketiga di dunia.

Tabel: Permintaan terhadap pulp and paper Indonesia Hingga 2020.

Dalam komitmen lingkungan mereka, Neste menyatakan hanya akan membeli biofuel dari sumber yang terpercaya, mereka juga akan mendukung prinsip Free, Prior and Informed Consent yang memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di tanah adat mereka, menghindari konversi lahan di wilayah yang memiliki kandungan karbon tinggi dan hutan yang masuk dalam kategoti high conservation value forest.

Dengan standar yang ditetapkan oleh Neste saat ini, maka perusahaan ini telah bergerak lebih jauh dibandingkan standar yang dianut oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) saat ini. RSPO adalah lembaga yang memberikan koridor dan mengawasi aktivitas perusahaan kelapa sawit di seluruh dunia agar bergerak di dalam standar yang ramah lingkungan, namun menurut Direktur Eksekutif TFT, Scott Pynton, pihaknya telah megkritisi RSPO terkait lemahnya standar ‘tanpa deforestasi’ mereka.

“Dibawah RSPO anda akan tetap bisa menebang hutan sekunder, dan anda akan tetap diizinkan menebang lahan gambut,” ungkap Poynton kepada REDD-Monitor. “Kendati banyak perusahaan mengatakan kami hanya akan membeli minyak kelapa sawit berstandar RSPO, namun anda akan tetap bisa menebang hutan, lahan gambut, dan hutan sekunder.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,