LAPS: Penjinakan Burung Pemangsa Bukan Aksi Konservasi

Bubarkan Raptor Club Indonesia, selidiki MoU BKSDA Jogja dengan RCI, hentikan perdagangan satwa dan elang, hentikan eksploitasi elang atas nama konservasi. Indonesia tidak mengenal falconary, biarkan elang bebas dialam liar. Cabut MoU BKSDA Jogja dengan RCI, Bubarkan RCI, bubarkan RCI.”

Berbagai tuntutan aksi disuarakan lantang oleh masa aksi, salah satunya oleh Dessy Zahara Angelina Pane atau yang akrab disapa Ina dari Animal Friends Jogja. Panas terik matahari tidak menyurutkan, replika burung elang berputar diareal lokasi aksi. Mereka yang tergabung dalam Liga Anti Perdagangan Satwa (LAPS) terdiri dari JAAN, WCS, Suaka Elang, IAR, ProFauna Indonesia, LASA, COP, AFJ, FHK, PPSC, ASTI sebagai kumpulan berbagai organisasi peduli satwa di titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Kamis, 11 April 2013.

Menurut Ina, dalam orasinya, akhir-akhir ini semakin marak komunitas yang menggunakan satwa dilindungi dengan mengatasnamakan konservasi dan salah satunya yang terkenal adalah Raptor Club Indonesia. Komunitas tersebut memiliki sistem keanggotaan dimana masing-masing anggotanya memiliki minimal satu ekor satwa dilindungi. “Hal ini bisa dibayangkan berapa jumlah satwa dilindungi yang ada di komunitas tersebut, yang mengatasnamakan konservasi, tapi yang terjadi malah eksploitasi,” kata Ina.

Tandatangan menentang pemeliharaan burung pemangsa sebagai hobi. Foto: Tommy Apriando

Selain itu, mereka juga sering mendapatkan pengaduan dari masyarakat tentang semakin sering dijumpai komunitas tersebut mengadakan gathering dengan membawa satwa tersebut dengan melakukan berbagai atraksi satwa. Hal ini menyebabkan bias dalam pemikiran masyarakat, yang akhirnya muncul anggapan bahwa jika ingin aman memelihara elang di rumah maka mereka bisa bergabung dalam komunitas tersebut. Hal tersebut menyebabkan dalam beberapa tahun terakhir, tingkat penangkapan dan perburuan elang untuk perdagangan satwa semakin marak dengan target pasar adalah para penghobi atau pelaku falconry.

Selain itu, Asman Adi Purwanto  dari Raptor Indoesia  kepada Mongabay Indonesia, menanggapi ekploitasi dengan mengatasnamakan konservasi mengatakan sebuah ironi, apabila tujuan dari falconry di Indonesia adalah untuk tujuan konservasi karena beberapa hal yang penting untuk diketahui, Indonesia tidak memiliki budaya dan sejarah falconry, karena kedekatan masyarakat Indonesia dengan elang lebih cenderung pada kedekatan semiotika. Hampir sebagian besar satwa yang dijadikan falconry adalah satwa yang diambil dari alam. Apabila kegiatan ini masih terus dilanjutkan, maka dampak dari introduksi budaya dari luar dalam hal ini budaya atau hobi atau olahraga Falconry semakin menambah berat beban upaya konservasi elang dan habitatnya di Indonesia. “Semakin tingginya tingkat penangkapan dan perburuan satwa untuk diperdagangkan dengan pangsa pasar pelaku falconry atau falconer,” kata Asman.

Asman menambahkan dalam orasinya, bahwa salah satu permasalahan dalam pelepasliaran kembali satwa ke habitatnya adalah elang tersebut terlalu jinak atau terlalu dekat dengan manusia, sedangkan inti dari falconry adalah “memanusiakan” dan “mendekatkan” elang dengan tuannya. Sehingga, proses untuk mengembalikan elang kembali ke habitatnya memerlukan sumber daya yang besar dan waktu rehabilitasi yang cukup lama.  Untuk memenuhi kebutuhan para falconer dari hasil penangkaran tidaklah semudah yang dibayangkan karena Indonesia belum memiliki kapasitas dalam program penangkaran elang, serta dibutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tidak sedikit.

Elang ular bido (Spilornis cheela) yang diserahkan oleh warga beberapa waktu silam kepada BKSDA Yogyakarta. Keberadaan burung raptor, menjaga keseimbangan siklus dalam ekosistem alam. Foto: Aji Wihardandi

Dari sisi fungsi ekologisnya, elang sebagai top predator punya fungsi utama penyeimbang rantai kehidupan lingkungan. Contoh kecilnya, dengan banyaknya populasi hama, ular, tikus, disatu wilayah artinya keberadaan elang dikawasan tersebut sudah tidak ada atau hilang. Elang juga bisa dijadikan bio indikator, kebersihan suatu wilayah sudah terkontaminasi zat kimia atau belum, bahkan kebersihan air bisa diukur dengan keberadaan elang diwilayah tersebut. Jika wilayah tersebut sudah terkontaminasi zat kimia, maka elang akan pergi dari wilayah tersebut. Secara populasinya, Asman menambahkan, saat ini di Indonesia ada 70-80 spesies elang. Sedangkan 2 spesies seperti elang Jawa dan elang ular Bawean saat ini berstatus terancam punah. Data yang dihimpun Raptor Indonesia dari tahun 2005 hingga 2011 jumlah elang jawa hanya berkisar 325 pasang. “Artinya jika perburuan raptor, perdagangan raptor masih terus terjadi, kami prediksi tahun 2025 elang Jawa akan punah,” kata Asman.

Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 menjelaskan secara tegas dan jelas bahwa semua jenis Elang dilindungi dan bahkan beberapa jenis elang menjadi simbol nasional atau simbol daerah, termasuk Elang Jawa yang dijadikan satwa langka nasional Indonesia. Sanksi hukum dalam aturan tersebut adalah maksimal pidana penjara 5 ( lima) tahun dan atau maksimal denda Rp. 100 juta rupiah bagi siapa saja yang menyimpan, memiliki, memelihara, dan memperniagakan satwa dilindungi.

Penjinakkan burung pemangsa bukan sebuah gerakan konservasi. Foto: Tommy Apriando

Terhadap berbagai bentuk pembiaran dari aparat berwenang terhadap maraknya komunitas satwa dilindungi atau terkesan melindungi terhadap komunitas tersebut membuat komunitas seperti RCI semakin tidak terkendali keanggotaannya hingga ke berbagai daerah. Sehingga, LAPS meminta tindakan tegas untuk segera dilakukan oleh Kepolisian Daerah Yogyakarta. Saat ini Polda DIY sudah mengamankan seorang pelaku komunitas elang atau Raptor Club Indonesia beserta barang bukti 3 (tiga) ekor Elang dan sampai sekarang proses terus berlanjut. “Oleh karenanya, kami mendesak pemerintah daerah Yogyakarta untuk membubarkan komunitas yang mengatasnamakan konservasi,sekaligus mendesak proses hukum terus berlanjut, dan meminta Pemda DIY untuk mencabut perjanjian kerjasama antara BKSDA Yogyakarta dan RCI,” tutup Asman.

Dalam aksi tersebut juga dilakukan penggalangan tanda tangan dari kalangan masyarakat Jogja sebagai bentuk dukungan untuk melakukan Stop eksploitasi elang mengatasnakan konservasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,