Melestarikan Hutan Rakyat di Selatan Yogyakarta

Sabtu, 13 April 2013, waktu menujukkan pulul 09.00, rumah Joglo di pedukuhan Waru, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta sudah ramai dipenuhi warga, dan para relawan Earth Hour Jogja dan pengurus lembaga Arupa.  Kedatangan mereka ingin melakukan penanaman pohon dan mendapatkan edukasi tentang pengelolaan hutan rakyat dari Petani pengelola hutan rakyat Arumjati. “Kita akan menanam disekitar telaga Ngurik,” kata Kepala Dukuh Waru, Suwardi.

Pepohonan Jati menjadi pemandangan menuju lokasi penanaman. Berjarak berkisar 500 meter dari rumah Joglo menuju Telaga Ngurik. Suwardi kepada Mongabay Indonesia menjelaskan, luar hutan rakyat lestari ini berkisar 454 hektar. Pohon yang tertanam diantaranya, jati, mahoni, akasia, kayu besi, sengon, melinjo, petai dan kelapa. Hutan rakyat Arumjati digagas sejak tahun 2005, dan sudah dua kali mendapatkan sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyrakat Lestari (PHBML). Pertama tahun 2006 dan tahun 2012 lalu kembali mendapat Sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Menariknya, di sekitar hutan rakyat terdapat beberapa telaga, dan telaga Ngurik satu diantaranya yang masih berfungsi.

Berpose sejenak usai melakuka penanaman. Foto: Tommy Apriando

“Telaga Ngurik saat ini dijadikan digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak, serta tempat budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama,” Suwardi menambahkan.

Sekitar 210 tanaman, diantaranya pohon beringin dan akasia sudah siap ditanam.  Lubang-lubang sudah disiapkan warga. Para relawan sudah mulai memegang tamanam, dan mengkubur akar tanaman. Felix Krisnugraha, Koordinator Earth Hour Jogja kepada Mongabay Indonesia mengatakan, penanaman ini adalah bagian dari agenda 30 hari setelah Earth Hour. Berbagai relawan ikut berpartisipasi dan mendukung penanaman pohon ini. “Harapannya dengan penanaman ini bisa menjadikan lestari kawasan telaga dan hutan rakyat di Dukuh Waru, Desa Girisejar ini,” harap Felix.

Menanggapi pengelolaan hutan rakyat lestari, Dwi Nugroho, Direktur Arupa kepada Mongabay Indonesia mengatakan,”Di Pulau Jawa, hutan rakyat ada sejak lama berkisar tahun 1963.  Selama ini pengelolaan hutan rakyat banyak diperdebatkan, umpamanya saja, pertanyaan kalau sudah disertifikasi, status hutan rakyat lestari bisa apa? Inilah yang menjadi tantangannya sekarang, seperti bagaimana lembaga pendamping dan pemerintah menyadarkan masyarakat tentang manfaat dari pengelolaan hutan rakyat.”

Tantangan globalnya adalah bagaimana produk yang sudah bersertifikasi ini punya nilai  jual lebih. Pada sektor hasil hutan, kayu belum punya nilai lebih, ini berbanding terbalik dengan hasil pertanian yang sudah bersertifikasi organik misalnya. Sehingga saat ini, pemerintah daerah seharusnya mendukung pengembangan Hutan Rakyat Lestari (HRL). Bentuk dukungan yang bisa dlakukan adalah mengembangkan dan mendorong masyarakat agar melakukan pengelolaan hutan rakyat lestari dengan menyediakan dana APBD setiap tahunnya. Selain itu, untuk setiap 4 tahun atau 5 tahun sekali bisa menganggarkan dana untuk surveillance atau penilikan ulang. ‎Dinas kehutanan memang sudah mendorong hal itu, misalnya dengan pengembangan Kebun Bibit Rakyat (KBR). Tapi masih banyak yang belum mendorong untuk mendapatkan pengakuan atau sertifikasi. “Beberapa daerah yang sudah menganggarkan untuk sertifikasi, dan yang sudah lama berjalan adalah Gunung Kidul dan rencana tahun ini Tegal,” kata Nugroho.

Selain itu, Nugroho menambahkan, yang tidak kalah penting adalah pendampingan intensif terhadap kelompok atau unit manajemen hutan rakyat itu sendiri. ‎Untuk jumlah luasan pengelolaan hutan rakyat lestari untuk pulau Jawa dan Madura, berdasar data terahir tahun 2012 berkisar 17.353 hektar, sedangkan untuk seluruh Indonesia luasnya berkisar 28. 738 hektar. “Pengelolaan hutan rakyat lestari ini harus terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dan terus mendorongnya untuk menjaga kelestarian hutan,” tutup Nugroho.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,