Tiga Orangutan Kembali ke Habitat Mereka di Hutan Tropis Kalimantan Timur

Pada hari Minggu 14 April 2013, Yayasan Borneo Orangutan Survival memulai proses pelepasliaran tiga orangutan yang terdiri dari satu jantan bernama Leo dan dua betina bernama Juminten dan Titin,. Sang jantan, Leo, dibawa dengan helikopter dari program raintroduksi Orangutan, Samboja Lestari Kaltim, ke hutan Kehje Sewen di Kutai Timur. Sementara Juminten dan Titin melintasi jalan darat menuju lokasi transit di PT Kaltim Prima Coal untuk kemudian juga diangkaut naik helikopter hari ini Senin 15 April 2013. Semua orangutan akan langsung dilepasliarkan di daerah Sungai Lembu.

Pelepasliaran kali ini merupakan pelepasliaran keduakalinya setelah sebelumnya yayasan BOS telah melakukan pelepasliaran orangutan yang dilakukan oleh enam menteri pada akhir tahun 2012 lalm. Pelepasliaran kali ini, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April mendatang.

Ketua Dewan Pembina Yayasan BOS Bungaran Saragih mengatakan, pelepasan orangutan merupakan tugas pemerintah, namun LSM disini hanya membantu. Untuk itu perlu keterkaitan antara pemerintah dengan LSM serta pihak swasta. “Kalau kerjasama dengan pemerintah sudah biasa, yang penting itu kerjasama dengan pihak swasta untuk melepasliarkan orangutan,” kata Bungaran.

Kisah Juminten, Titin, dan Leo 

Juminten, bersiap kembali ke alam bebas. Foto: Hendar

Juminten 

Diselamatkan dari hutan Industri milik PT Surya Hutani Jaya (SHJ) di Sebulu, sekitar perbatasan Taman Nasional Kutai. Juminten ketika itu baru berusia 6-7 tahun. Diusianya itu orangutan liar yang hidup di alam bebas sejak lahir bisa dianggap sudah remaja karena mereka sudah lepas dari ibu mereka.

Juminten, merupakan orangutan betina remaja yang ditemukan dalam blok tanaman industry akasia dan dibawa ke pusat rehabilitasi yayasan BOS di Samboja Lestari pada 12 April 1998. Berdasarkan pemeriksaan kesehatan awal, saat itu Juminten memerlukan perawatan medis.

Pada tahun 2010, Juminten di pindahkan ke Pulu Pra-pelepasliaran dimana dia bertemu dengan orangutan jantan bernama Leo yang juga akan dilepasliarkan. Sudah beberapa waktu ini, keduanya menjalin hubungan .

Sebuah catatan menarik tentang Juminten, dia sering terlihat merawat bayi orangutan betina lain dengan penuh kasih ketika ibunya sedang sakit. Juminten yang cantik kini berusia 21 tahun dan semakin berperilaku liar sebagaimana seharusnya. Dan tibalah pada waktunya untuk kembali kerumahnya di hutan.

Leo, satu-satunya jantan yang akan dilepaskan dalam pelepasliaran kali ini. Foto: Hendar

Leo

Leo adalah orangutan jantan yang diselamatkan saat masih berumur 4-5 tahun dari Sebulu, salah satu kawasan di Kaltim yang telah musnah oleh kebakatan hutan pada tahun 1997/1998. Orangutan ini dibawa ke Wanariset Samboja (Kini Samboja Lestari) pada 26 September 1997.

Leo menunjukan tingkah laku yang sangat liar, akibat tidak pernah atau jarangnya berhubungan dengan manusia. Setelah beberapa lama ditempatkan dalam kandang sosialisasi, Leo akhirnya dipindahkan ke pulau pra-pelepasliaran yakni Pulau tiga di Samboja Lestari tahun 2009. Leo sangat senang tinggal di pulau. Dia menyesuaikan diri dengan cepat, memanjat pohon, membuat sarang dan menunjukan usahanya mencari makanan hutan secara aktif.

Titin, bersama dengan Juminten diangkut lewat perjalanan darat sebelum dilepaskan di alam bebas dan bergabung dengan dua rekannya. Foto: Hendar

Titin

Titin adalah orangutan betina yang tiba di Samboja Letari pada anggal 9 Maret 1994. Dia diselamatkan dari ibukota Kalimantan timur, Samarinda pada usia 4-5 tahun. Pada tahun 2000, Titin melahirkan bayi laki-laki, Titin yang tinggal bersama ibunya sampai usia 7 tahun. Setelah Titin dipindahkan untuk bersama orangutan lain seusianya, pada 2008, Titin melahirkan bayi kedua – kali ini bayi perempuan – yang dinamai Tina Toon. Pada akhir 2010, Titin dan putrinya Tina Toon dipindahkan ke sebuah pulau pra-pelepasliaran, bergabung dengan Leo dan Juminten.

Setelah Tina Toon meninggalkan ibunya untuk menjalani sekolah hutan, Titin terlihat banyak kemajuan, terutama keterampilan hutannya yang berkembang jauh lebih cepat. Meskipun ia tidak begitu dominan seperti Juminten, Titin adalah orangutan nomor dua yang disegani di pulau.

Meski demikian, Titin tidak menunjukan perilaku represif terhadap orangutan muda di Pulu. Pada umumnya, dia adalah tipe orangutan  yang ramah dan juga memiliki ketertarikan kepada Leo, pacar Juminten. Namun Juminten kelihatannya tidak keberatan sama sekali, Kehidupannya di pulau begitu indah dan berharga, Dan kini di usianya yang ke-23 tahun Titin akan segera memulai perjalanan pulang kerumahnya di hutan aslinya.

Dua orangutan, Titin dan Juminten yang melalui perjalanan darat sebelum dialnjutkan dengan helikopter. Foto: Hendar

Membutuhkan 30 Ribu Hektar Untuk Lepaskan Orangutan 

Sekitar 230 orangutan yang berada di Samboja Lestari, membutuhkan lahan sekitar 30.000 Hektar hutan untuk dilepasliarkan. Karena target pemerintah Indonesia pada tahun 2015, semua orangutan yang sehat harus kembali ke alam. Sementara itu pada tahun 2013 ini Yayasan Orangutan Borneo (BOS) mentargetkan akan melepasliarkan sebanyak 30 orangutan.

Hal ini dikatakan Chief Executive Officer Yayasan BOS Jamartin Sihite. “Di tahun 2013 ini kami targetkan 30 orangutan di Kaltim yang akan kami lepaskan. Dari kalteng 100 orangutan. Kenapa kami kejar itu, karena kami membantu pemerintah, untuk mencapai target 2015 bahwa semua orangutan yang sehat harus kembali ke alam. Dan untuk Kaltim masih membutuhkan sebesar 30.000 hektar hutan untuk semua orangutan,” kata Jamartin, Minggu 14 April 2013 saat melakukan pelepasliaran tiga orangutan ke Hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kertanegara.

Saat ini masih ada 230 orangutan di Samboja Lestari dan diantaranya 173 orangutan rehabilitasi yang sehat dan memenuhi syarat untuk pelepaliaran dan saat ini mereka menunggu untuk dilepasliarkan kembali ke habitat alami mereka. Namun selain itu ada sekitar 59 orangutan yang tidak bisa dilepasliarkan karena cacat atau sakit dan sedang menunggu alokasi daerah suaka sehingga mereka juga bisa hidup di alam liar.

Jamartin menambahkan, mereka tidak pernah  berpikir untuk mengabaikan kondisi orangutan‑orangutan yang menjadi korban konflik dengan manusia. “Akan tetapi, kami juga harus jujur dalam melihat kemampuan dan kapasitas kami yang saat ini sudah mencapai batas maksimum, baik dari sisi ketersediaan kandang yang layak, sumber daya manusia, maupun dari sisi pendanaan dan berbagai faktor lainnya. Memaksakan untuk menyelamatkan orangutan dalam kondisi seperti ini berarti kami mengkompromikan kesejahteraan orangutan‑orangutan yang sudah ada di pusat rehabilitasi kami,” tambahnya

Dua pusat rehabilitasi milik Yayasan BOS di Samboja Lestari, Kalimantan Timur dan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, saat ini merawat dan merehabilitasi sekitar 850 orangutan dengan tujuan akhir melepasliarkan mereka di habitat aslinya di hutan yang aman.

Pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan bahwa pusat‑pusat rehabilitasi di Indonesia harus melepasliarkan semua orangutan yang memenuhi syarat pelepasliaran paling lambat pada tahun 2015 mendatang.  “Sebuah target yang tampak sulit dipenuhi jika jumlah orangutan yang menjadi korban konflik dengan manusia semakin meningkat dan melebihi kemampuan pusat‑pusat rehabilitasi untuk menampung, merehabilitasi dan melepasliarkan mereka,” kata Jamartin.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,