,

Revisi UU Pesisir Berpotensi Makin Sulitkan Masyarakat Nelayan

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak DPR tak membahas revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK) No 27 Tahun 2007, karena draf perubahan usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan malah berpotensi menyulitkan masyarakat nelayan. Draf revisi UU ini justru membuka peluang pengkavlingan dan privatisasi wilayah pesisir dan kriminalisasi terhadap nelayan.

Kiara juga meminta, Presiden SBY mengevaluasi kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan karena draf revisi UU bertolak belakang dengan amanah UUD 1945. “DPR jangan melangsungkan pembahasan revisi UU ini karena hanya akan menghamburkan anggaran negara dan mengulangi kesalahan,” kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, Selasa (12/4/13).

Padahal, seharusnya revisi UU PWP-PPK ini untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi oleh Kiara dan delapan organisasi masyarakat sipil bersama-sama dengan 27 nelayan tradisional. Putusan MK,  telah dibacakan pada 16 Juni 2011, antara lain membatalkan keseluruhan pasal-pasal terkait dengan hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3).

Sayangnya, draf revisi UU PWP-PPK mengubah 14 pasal yang dibatalkan MK, yakni perubahan HP-3 menjadi konsep perizinan: izin pemanfaatan perairan pesisir (IP-3) dan izin pemanfaatan ruang perairan pesisir (IPRP-2). Ini secara prinsip mengubah pendekatan hak menjadi perizinan. (lihat tabel)

Halim menjelaskan,  IP-3 dan IPRP-2 sebagai izin lokasi yang menunjukkan bagian tertentu dari kawasan perairan pesisir sebagai lokasi tempat kegiatan usaha. “Ini memberikan kewenangan dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan penunjukkan lokasi kegiatan usaha,” ujar dia.

Setelah mendapatkan IP-3 dan IPRP-2, izin usaha atau hak atas tanah pada perairan pesisir untuk kegiatan usaha tertentu bisa keluar. Izin ini meliputi perikanan budidaya, bangunan terapung (perumahan, rumah makan, dan bagan), sumber tenaga gelombang laut, kawasan konservasi, pemanfaatan sumber daya keindahan laut dan wisata bahari.

Draf revisi UU ini jugu potensi mengkriminalisasi subyek pemanfaat perairan pesisir yang berkegiatan usaha tanpa ada IP-3 sah dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda Rp300 juta.

Kiara berpandangan, prinsip pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah open acces (akses terbuka) dan common property (milik bersama). Dengan ada IP-3 dan IPRP-2 akan mengkapling wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu. Izin itupun akan mengeksploitasi wilayah pesisir dengan memberikan kepada subyek hukum baik individu atau badan hukum.

Akibatnya, kata Halim,  akan terjadi penggusuran dan peminggiran nelayan tradisional yang berhak atas sumber daya pesisir. “IP-3 dan IPRP-2 prinsipnya tidak jauh berbeda dengan HP-3 yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dipertegas Mahkamah Konstitusi.”

Bukan itu saja, draf revisi UU ini tak menempatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Proses perizinan ini, tak menempatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir.

“Hingga akan bersaing dengan swasta untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dengan ada pembatasan akses. Caranya, mengkriminalkan usaha pemanfaatan sumber daya pesisir yang duluan ada  tetapi tidak memiliki IP-3 atau IPRP-2.”

Dalam draf revisi UU ini masih terjadi konsep penguasaan lokasi pesisir lewat penunjukan dalam izin-izin  itu. Konsep penguasaan lokasi pun berpotensi terjadi pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Belum lagi, pemegang IP-3 dan IPRP-2 dapat melakukan pembebasan kegiatan usaha yang sudah ada yang terletak di wilayah IP-3 dan IPRP-2. “Penguasaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat terjadi dengan peminggiran atau pemberian kompensasi bahkan kriminalisasi pemanfaat sumber daya pesisir yang tak memiliki IP-3 dan IPRP-2.”

Untuk itu, Kiara mendesak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mengedepankan prinsip dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan empat tolak ukur, yakni,  kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, pemerataan sumber daya alam bagi rakyat, partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Pemerintah harus memberikan perhatian kepada masyarakat nelayan pesisir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, penduduk miskin pada 10.666 desa pesisir tersebar di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se- Indonesia. Mereka ini  berjumlah 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional 31,02 juta jiwa.

Pusat Data dan Informasi Kiara (2013) mencatat, sedikitnya 17 kabupaten dan kota pesisir di Indonesia, menerapkan kebijakan reklamasi pantai. Lalu, menempatkan nelayan tradisional sebagai pihak tergusur dan dipaksa beralih profesi. Lebih parah lagi, praktik ini dilegalisasi Presiden SBY melalui Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sumber: Kiara
Sumber: Kiara
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,