Teluk Balikpapan: Demi Kawasan Industri, RTRW Singkirkan Keragaman Hayati Mangrove

Pagi itu suasana terasa sejuk di sebuah pelabuhan di kawasan Kampung Baru, Balikpapan. Air laut tenang menemani angin yang berhembus. Dari atas perahu berukuran 10 papan atau sekitar 2 meter dengan panjang sekitar 7 meter kami pun bergerak meninggalkan pelabuhan menuju Teluk Balikpapan.

Suasana perairan kawasan Kampung Baru telah ramai dengan aktivitas nelayan dan kapal-kapal besar berlalu lalang, termasuk kapal ponton pengangkut batubara dari Teluk Balikpapan. Saat itu menunjukan pukul 08.30 Wita. Mongabay-Indonesia bersama rekan dari Center for Orangutan Protection (COP) dan tiga rekan media lainnya melakukan perjalanan menuju kawasan teluk Balikpapan.

Dengan kecepatan sedang, kawasan pertama yang kami singgahi adalah pelabuhan peti kemas Kariangau, yang beberapa waktu lalu diresmikan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kami pun berlanjut memasuki kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Selok Pudo.

Lokasi reklamasi yang dilakukan oleh Pelindo di DAS Selok Puda, Balikpapan. Foto: Hendar

Di kawasan ini kami menelusuri DAS Selok Pudo yang mengalami proses reklamasi oleh perusahaan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo). “Sepengatahuan saya, batas untuk melakukan reklamasi yakni sekitar 150 meter dari surut terendah, namun yang terlihat  mangrove nya habis di reklamasi,” ujar Darman sambil menujuk dengan tangannya kawasan yang telah dilakukan reklamasi.

DAS Selok Pudo memiliki tiga anak sungai. Ketiga anak sungai ini saling menyambung dan di lokasi ini menjadi daerah tangkapan ikan para nelayan di kawasan teluk Balikpapan. Namun saat ini, tiga anak sungai tersebut tertutup oleh pembanguann dan pengembangan pelabuhan peti kemas.

Pabrik pengolahan kelapa sawit ini berada diluar wilayah yang diperuntukkan untuk industri. Foto: Hendar

“Di Selok Pudo ini para nelayan yang sering mencari ikan dan kawasan ini merupakan salah satu tempat favorit bagi para nelayan untuk mencari ikan, kepiting, dan udang. Apalagi di Selok Puda ini menjadi andalan nelayan mencari ikan kakap. Saat ini kurang lebih sekitar 5 hektar yang telah di reklamasi sejak Januari 2013 lalu,” lanjut Darman.

DAS di kawasan pesisir barat kota Balikapapan ini yaitu Sungai Puda, Tengah, Berenga, Tempadung, Baruangin dan Kemantis. Sekitar satu dasawarsa silam, di awal 2000-an kondisi alamnya masih dalam kondisi yang baik. Namun saat ini kawasan mangrove di sepanjang pesisir barat kota Balikpapan ini telah terancam dengan pembangunan Kawasan Industri Kariangau (KIK) dengan adanya perubahan RTRW di tahun 2013-2015 dari 2.189 hektar menjadi 5.130 hektar.

Pesut yang masih bisa ditemukan di kawasan sekitar perairan di Balikpapan. Jumlahnya semakin menyusut akibat habitat yang terus terancam ekspansi industri. Foto: Hendar

Pembangunan di kawasan teluk Balikpapan begitu pesat belakangan ini. Ditandai maraknya pertumbuhan industri di kawasan tersebut. Sedikitnya ada sekitar 10 perusahaan yang berada di kawasan teluk Balikpapan, terutama di kawasan  RTRW 2.189 hektar atau saat ini tepatnya terletak di pembangunan pelabuhan peti kemas Kariangau

Usai melihat perluasan pembangunan pelabuhan peti kemas oleh PT Pelindo yang menutup tiga anak sungai DAS Selok Puda, perjalanan di kawasan Teluk Balikpapan kembali dilanjutkan masih di seputaran kawasan  teluk Balikpapan. Hari semakin siang, matahari telah berada di tas kepala, tepatnya sekitar pukul 11.00 Wita.

Pada awalnya, dalam masterplan Kawasan Industri Kariangau (KIK) yang diusulkan oleh KAPET SASAMBA Kaltim (Kawasan Pengelolaan Terpadu Samarinda Samboja dan Balikpapan) selaku konsultan di pemerintahan propinsi Kaltim, kawasan KIK direncanakan seluas 2.189 hektar (dari teluk Kariangau hingga Teluk Waru) pada tahun 2004.

Namun terlihat dengan mata kepala, secara nyata, batas pembangunan di kawasan KIK yang hanya sampai di pelabuhan peti kemas, ternyata masih ditambah dua perusahaan  pengolahan minyak sawit mentah yang saat ini salah satu pabrik bahkan telah membangun pabrik untuk pengemasan yang berada di kawasan pembangunan jembatan Pulau Balang. Perusahan tersebut yaitu PT Mekar Bumi Andalas (MBA) dan PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI). Kawasan tersebut berada diluar kawasan Industri yang telah ditetapkan.

Sehingga terjadi perubahan rancangan dimana area yang hanya 2.189 ha diusulkan untuk tahun 2013-2015 menjadi 5.130 ha ke arah hulu, hingga pulau Balang dan ini ternyata telah diakomodir dalam revisi RTRW Kota Balikpapan 2011-2031. “Kami selaku masyakarat yang berada di kawasan teluk Balikpapan berusaha untuk menanyakan perubahan tersebut ke pemerintah kota, namun tidak ada jawaban,” kata Darman.

Darman merupakan nelayan yang tinggal di wilayah Gersik Penajam Paser Utara, dan hingga usia menginjak 45 tahun ini, pak Darman selalu mencari ikan di kawasan teluk Balikpapan, hal yang sama juga terjadi dengan rekannya. Namun hingga saat ini, tidak pernah telihat lagi aktivitas nelayan yang seperti dulu.

Seperti salah seorang nelayan yang kami temui di kawasan teluk adalah Yusuf. Pria tua yang tinggal di Pantai Lango ini kami temui saat memancing di kawasan Pulau Balang. Bersama tiga rekannya ia menaiki sebuah kapal kecil. Saat itu ia hanya mendapatkan satu ember ikan tanda-tanda (sebutan warga setempat). “Ikan yang kami dapat hanya segini, kalau kesini paling menghabiskan 15 liter solar,” kata Pak Yusuf, sambil menunjukan hasil tangkapannya kepada kami.

Ular yang ditemui di kawasan mangrove di sekitar Teluk Balikpapan. Foto: Hendar

Hari semakin siang, kami pun melintasi Pulau Balang, yang menjadi lokasi pembangunan jembatan yang menghubungkan antara Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU). Pembangunann ini merupakan merupakan proyek multiyears. Hingga saat kami menyaksikan pembangunan masih difokuskan di PPU dan Pulau Balang dengan progress sekitar 20 persen.

Kawasan mangrove di teluk Balikpapan memiliki keragaman hayati yang sangat unik, seperti Bekantan, yang menurut Stan Lotha, salah satu peneliti lingkungan asal Republik Ceko yang lama menetap di Balikpapan, bahwa hingga penelitian terakhir sekitar tahun 2003 lalu, diperkirakan bekantan tersisa tinggal 800 ekor. “Ada kemungkinan bekantan yang tersisa di teluk Balikpapan hanya mencapai sekitar 800 ekor, dengan adanya pembangunan industri di teluk Balikpapan,” ungkap Stan melalui surat elektronik yang disampaikannya.

Sementara pesut air laut, di perkirakan masih ada sekitar 80 ekor di kawasan teluk Balikpapan. Menurut Darman, nelayan asal Gersik Penajam Paser Utara, pesut paling banyak ditemukan di kawasan Sungai Rico dan di kawasan pulau Balang. “Kalau mau lihat pesut tinggal menunggu air tenang di kawasan Pulau Balang, beberapa kelompok pesut mereka bermain di air, saat air tenang,” kata Darman.

Namun ekspansi industri, hingga kini nampaknya masih dinilai lebih membawa kelanjutan hajat hidup manusia ketimbang keseimbangan ekosistem yang menjamin keselamatan manusia dari perubahan iklim dan bencana di masa mendatang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,