, , ,

Penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir Pinggirkan Nelayan Tradisional

Penyusunan rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil implementasi dari UU nomor 27 tahun 2007 , di Gorontalo, mendapat sorotan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) karena dinilai tak melibatkan nelayan tradisional yang bergantung hidup di kawasan itu.

Ahmad Bahsoan, Ketua Japesda mengatakan, penyusunan rencana strategis itu berpotensi merugikan nelayan tradisional di wilayah pesisir Gorontalo. Sebab, sebagian besar hanya membahas potensi sumber daya pesisir dan ancaman bencana, sedang kelangsungan hidup nelayan tradisional di laut tidak mendapat tempat.

“Belum lagi sosialisasi penyusunan rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diselenggarakan di hotel berbintang itu tidak melibatkan perwakilan nelayan tradisional,” katanya, di Gorontalo, Minggu (28/4/13).

Ahmad menduga, penyusunan rencana strategis wilayah pesisir itu memiliki agenda terselubung. Terkesan, keberpihakan kepada investasi berizin ketimbang masyarakat nelayan tradisional atau pun masyarakat adat di wilayah pesisir.

Dari pemanfaatan ruang laut sesuai sosialisasi itu, hanya mengakomodir perkotaan dan industri, wisata bahari, budidaya laut, pertanian, kawasan konservasi, mineral dan energi, pelayaran, dan penangkapan ikan. “Tidak gamblang menjelaskan posisi nelayan tradisional.”

Apalagi, dari pengertian rencana zonasi sesuai UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK) pasal 1, sangat merugikan nelayan tradisional. Rencana zonasi sesuai pasal itu berbunyi,” rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.”

Dari pasal itu, bisa ditafsirkan pada perusahaan bisa beroperasi karena mendapat izin, namun jelas bisa mengkriminalisasi nelayan tradisional—yang dianggap beroperasi tak berizin. Di Gorontalo, tahun 2005, pernah ada nelayan tradisonal yang mencari ikan ditangkap karena dituduh mencuri kerang mutiara milik perusahaan asal Jepang.

Subandono Diposaptono, Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan, tujuan sosialisasi penyusunan rencana strategis ini untuk menumbuhkan rasa kepemilikan stakeholder terhadap rencana yang ada di daerah.

“Target siapa saja. Namun utama kepada pemanfaatan ruang pesisir dan pengambil kebijakan di dalam ruang  itu, seperti eksekutif, legislatif, masyarakat di pesisir, lembaga swadaya masyarakat, juga perguruan tinggi.”

Menurut dia, sosialisasi ini penting guna menghindari konflik ke depan. “Agar memenuhi rasa keadilan, memenuhi aspirasi dan sesuai konteks sosial budaya masyarakat, serta menjunjung tinggi supremasi dan kepastian hukum.”

Subandono menjelaskan, pengertian zona dalam rencana zonasi ini adalah ruang dengan pengguna disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan ditetapkan status hukumnya. “Rencana zonasi ini implikasi spasial atau keruangan untuk kebijakan-kebijakan rencana strategis.”

Zona menurut UU ini yaitu, untuk kawasan pemanfaatan umum zona pariwisata, pemukiman, pelabuhan, pertanian, hutan, pertambangan, perikanan, budidaya, perikanan tangkap, industri, dan infrastruktur umum. Zona pemanfaatan terbatas,  sesuai karakteristik biogeofisik lingkungan.

Untuk kawasan konservasi, zonanya kategori konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, maritime dan atau sempadan inti. Zonanya adalah inti, pemanfaatan terbatas, dan pemanfaatan lain. Untuk kawasan strategis nasional tertentu di zona pertahanan keamanan, situs warisan dunia, perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar. “Untuk kawasan alur laut zona di alur pelayaran, alur sarana umum, dan alur migrasi ikan, serta pipa dan kabel bawah laut.”

Menurut Subandono, problematika dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan tata ruang laut ini antara lain, belum ada kesamaan pola pikir dan cara pandang para eksekutif dan legislatif. “Baik di Pusat maupun daerah dalam penataan ruang perairan laut.”

Daerah, belum memahami rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai instrumen penataan ruang di perairan laut. “Belum lagi terbatasnya sumber daya manusia.”

Irwandi Idris, dari Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia menjelaskan, jangka waktu berlaku rencana zonasi ini 20 tahun dan bisa ditinjau kembali setiap lima tahun. Rencana zonasi ini ditetapkan dengan peraturan daerah, diserasikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau kabupaten dan kota.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,