Kata hijau, green, ramah lingkungan, pembangunan berkelanjutan, mulai menjadi tren dalam beberapa tahun belakangan ini, meskipun ia bukan barang baru. Istilah inipun ikutan tren di lingkup pemerintahan. Green economy atau ekonomi hijau pun digadang-gadang pemerintah sebagai ‘arah pembangunan ekonomi” Indonesia. Benarkah sudah ‘hijau’ atau masih hijau-hijauan alias hijau label? Terlebih, jika melihat fakta masih begitu banyak kehancuran hutan, alam dan pencemaran lingkungan.
Belum lagi, posisi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) di negeri ini, yang seolah hanya kementarian kelas C alias kementerian tak penting. Ia seakan ada dan tiada. Kementerian ini ada terkesan hanya stempel agar ada lembaga yang mengurusi lingkungan, tetapi tanpa diberikan ‘gigi’ yang kuat.
Untuk membahas ‘hijau’ di lingkup pemerintahan, implementasi di lapangan dan ‘kementerian kelas C’ ini, Mongabay Indonesia, berbincang dengan Imam Hendargo Ismoyo, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Berikut petikannya:
Mongabay Indonesia: Pelabelan hijau muncul bak jamur. Ada di mana-mana, termasuk pemerintahan. Bagaimana seharusnya konsep kebijakan yang sensitif lingkungan itu?
Imam Hendargo: Jadi, perlu men-setting pengambil kebijakan tak hanya berpikir ekonomi tapi mengubah mainset pengambil keputusan untuk memperhatikan aspek lingkungan. Tak hanya lingkungan fisik, tapi juga sosial. Bagaimana masyarakat lokal, adat dan pesisir, itu juga dipertimbangkan dan masuk dalam bagian pembangunan. Tak boleh dipisahkan. Dalam UUD 45 itu ada, pembangunan tak boleh memisahkan mereka.
Kenyataan, kondisi Indonesia di lapangan seperti ini. Luar biasa kerusakan lingkungan, pengurasan sumber daya alam (SDA). Eksploitasi SDA besar-besaran, padahal ini, untuk pembangunan masa depan. Seperti Kalimantan, terjadi perubahan tutupan kawasan hutan luar biasa. Kalau lari ke Maluku, di sana ada gunung botak karena ekslpoitasi besar-besaran. Di negara lain, tak semua dieksploitasi. Harus pikirkan kapasitas dan kemampuan alam serta kesejahteraan masyarakat.
Bukan berarti tak boleh eksploitasi tapi harus ada kaidah-kaidah bagaimana tahap perencanaan sampai pasca operasi harus mempertimbangan aspek-aspek lingkungan. Hingga masyarakat jadi bagian perencanaan sampai pelaksanaan. Masyarakat jadi terbantu.
Mongabay Indonesia: Bukankah sebenarnya sudah diatur, seperti prosedur perizinan yang harus memperhatikan lingkungan?
Imam Hendargo: Izin lingkungan sejak 1986 coba dikenalkan agar usaha ada dokumen lingkungan agar rakyat tak terzolimi. Agar terpantau secara rutin. Ini sejak 26 tahun lalu, tetapi sampai saat ini banyak usaha yang tak ada amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Dalam UU Lingkungan dibuatlah sanksi, tapi masih banyak juga yang menyimpang. Dampak tentu pada masyarakat dan alam.
Mongabay Indonesia: Dampak penyimpangan itu berbuntut pada konflik-konflik dengan masyarakat. Bagaimana menurut Anda?
Imam Hendargo: Karena saat konsultasi, publik tidak dilibatkan. Saat bisnis masuk, harus dikembangkan bagaimana masyarakat berpartisipasi aktif. Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) keterlibatan masyarakat ada, dalam proses amdal juga sudah masuk. Cuma bagaimana kita kawal agar masyarakat betul-betul dilibatkan.
Sebenarnya, tak ada suatu pemerintahan yang ingin abaikan kesejahteraan untuk masyarakat. Dari masyarakat untuk rakyat. Namun, bagaimana menjaga implementasi itu. Tidak hanya pemerintah, tapi juga dunia usaha, NGO, organisasi massa dan media massa.
Mongabay Indonesia: Mengapa terjadi pelalaian melibatkan masyarakat?
Imam Hendargo: Masyarakat banyak tak dikutsertakan. Saya mau kembali tanya, mengapa masyarakat sulit dilibatkan? Padahal, kita ini hidup dalam ekosistem yang sama. Cara berpikir harus seperti itu. Satu ekosistem. Kalau sekarang, masih ada kepentingan politik dan kepentingan golongan. Bukan politik tidak bagus, tapi jangan sampai satu orang makan orang lain. Mana folosofi kita sebagai bangsa?
Bangsa ini harus berpikir dan memedulikan orang lain. Tak hanya lips service. Peraturan udah banyak, mulut sampai berbusa-busa. Hati ini yang harus bermain. Bangsa ini sudah kehilangan hati. Hanya sibuk euforia politik. Hati nurani yang hilang. Yang penting hati kita berniat baik.
Mongabay Indonesia: Termasuk salah satu program pemerintah, MP3EI yang jadi jualan sebagai penggerak ekonomi berlabel ‘hijau’. Namun, di lapangan, baru akan memulai saja sudah menuai konflik dengan masyarakat. Bagaimana menurut Anda?
(Porgram ini) harus hijau dan benar-benar memperhatikan aspek lingkungan. Masyarakat diberi pengertian bahwa mereka bagian dari pembangunan dan akan mendapatkan manfaat dari sana. Kalau memang proyek itu benar-benar memberi manfaat mengapa harus ada kriminalisasi? Jadi harus ada transparansi dari semua pihak. Kalau terjadi kontra, mengapa kontra. Misal lingkungan, lingkungan yang bagaimana? Jadi harus jelas. Informasi ini harus disampaikan kepada semua pihak. Jadi, masyarakat benar-benar dapat informasi transparan, tak hanya eksploitasi. Tak hanya jual kayu.
Mongabay Indonesia: Pemerintah sendiri, menurut Anda, apakah saat ini sudah benar-benar menjalankan konsep green?
Imam Hendargo: Kita harus akui sejak 60 tahun merdeka, baru ada kata-kata pro environment baru ada di kabinet II ini. Legitimasi ini baru 2009. Suka ga suka, kita harus akui, mau ga mau memang secara resmi dalam label kabinet 2009. Walaupun institusi lingkungan ada sejak 1978. Tapi baru resmi masuk dalam tagline kabinet pada 2009.
Kedua bagaimana isu-isu lingkungan diperhatikan, dalam kementerian itu baru klise. Harusnya, institusi lingkungan hidup ditempatkan dalam posisi kuat. Saat ini, di kelas C harusnya masuk dalam kelas B –kementerian penting. Ini akan berimplementasi pada anggaran dan kapasitas yang kuat. Saat ini, baru hanya stempel.
Mongabay Indonesia: Jadi benar Kementerian Lingkungan Hidup seakan tak bergigi?
Imam Hendargo: Itu kembali lagi pada political will. Apakah lembaga lingkungan akan ditempatkan pada posisi memadai agar bisa memaksakan semua pihak berpikir tentang ekonomi, lingkungan, dan sosial. Kalaupun lingkungan rusak, ada pemulihan dan masyarakat ada bimbingan. Jadi perusahaan harus sebagai trigger. Kalau tidak, hanya keuntungan bagi perusahaan. Jadi, ga hanya pengusaha yang maju. Pemerintah yang harus mengatur itu, pemerintah harus berpihak. Setiap unsur pemerintah harus berpikir seperti itu. Lingkungam sosial dan ekonomi harus tak bisa dipisahkan.
Mongabay Indonesia: Krisis lingkungan di Indonesia sudah terjadi, apakah masih ada peluang perbaikan?
Imam Hendargo: Saya optimis. Masih banyak anak muda bahkan, orangtua yang berhati. Yang menganggap jabatan itu amanah. Kita diberi akal pikiran. Masih banyak jalan yang bisa dilalui.