,

Media dan Lingkungan di Gorontalo Sama-sama Terdegradasi

Perusakan lingkungan di Gorontalo mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, lebih banyak diangkat media setempat sebagai sebuah peristiwa hanya permukaan. Akar masalah praktis tidak tersentuh. Media-media di Gorontalo, lebih senang meliput isu politik dan kriminal dibandingkan lingkungan. “Media di Gorontalo dan persoalan lingkungan, sama-sama mengalami degradasi,” kata Syamsul Huda Muhamad Suhari, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, kepada Mongabay, Selasa, (30/4/13).

Pernyataan Syamsul Huda itu diungkapkan saat pengajian jurnalistik bertajuk “Media dan Krisis Lingkungan di Gorontalo” di Universitas Muhamadiyah Gorontalo, diinisasi AJi Kota Gorontalo, Burung Indonesia, dan Perkumpulan Tanggomo, Selasa (30/4/13).

Isu lingkungan di Gorontalo, katanya, masih dianggap kurang menarik dibandingkan isu politik dan kriminal. Bahkan, di media-media cetak tidak menyediakan rubrik lingkungan dan lebih banyak berita-berita seremonial pejabat hampir di setiap halaman koran. “Ini salah satu bukti media tidak berpihak terhadap keadilan lingkungan. Artinya media juga mengalami degradasi.”

Syamsul mengatakan, sikap masa bodoh masyarakat Gorontalo terhadap persoalan lingkungan di daerah justru dipelihara media. Masuknya perusahaan tambang, perkebunan sawit yang merusak hutan dan privatisasi wilayah pesisir serta penghancuran hutan mangrove melalui alih fungsi hutan menjadi tidak diketahui masyarakat. Sebaliknya, media memberitakan perusahaan tambang dan perkebunan sawit baik-baik dan tidak mengedukasi masyarakat.

“Masyarakat tidak tahu dampak negatif dari masuknya perusahaan-perusahaan yang memiliki izin mengeksploitasi hutan dan wilayah pesisir di Gorontalo. Karena porsi pemberitaan tidak ada.”

Ahmad Bahsoan dari Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, saat berbicara dalam diskusi itu mengatakan, media harus lebih sering menyuarakan persoalan sawit dan tambang serta alih fungsi hutan mangrove menjadi kawasan tambak di hutan-hutan konservasi. Kerusakan hutan di Gorontalo, disumbang aktivitas perkebunan skala besar juga pertambangan.

Sejak 2000 hingga kini, banjir di Gorontalo minimal tiga kali setahun. Keuntungan ekonomi yang selalu digaungkan pemerintah daerah dengan investasi dari pertambangan dan perkebunan, hanya menutupi bencana yang sering terjadi. “Ketika terjadi bencana, itu sudah menjadi urusan pemerintah. Sedangkan perusahaan pasti lepas tangan dan lingkungan sudah pasti rusak. Pemerintah salah urus dalam mengelola sumber daya alam di Gorontalo.”

Farid Zulfikar, dari Burung Indonesia memaparkan, hutan yang menjadi habitat berbagai macam spesies burung endemik Sulawesi di Gorontalo akan hilang kala perusahaan perusak lingkungan itu mengeksploitasi. “Dengan begitu, burung-burung pun ikut terancam. Bahkan sekarang di Gorontalo, sudah tidak ditemukan lagi kakatua putih.”

Menurut Farid, Burung Indonesia bekerja menjaga keragaman burung Indonesia dan habitatnya, serta masyarakat untuk mencapai pembangunan lestari. “Ini didasari upaya membangun apresiasi, pemahaman, kepedulian, serta kecintaan pada burung dan lingkungan.”

Terry Repy, akademisi dari Universitas Muhamadiyah Gorontalo, mengungkapkan, saat ini kurikulum di bangku kuliah justru mengajarkan mahasiswa mengeksploitasi lingkungan. “Bukan belajar menempatkan lingkungan sebagai sebuah ekosistem tempat manusia tinggal berdampingan dengan alam sekitar.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,